Riski adalah pria yang problematik. banyak kegagalan yang ia alami. Ia kehilangan ingatannya di kota ini. Setiap hujan turun, pasti akan ada yang mati. Terdapat misteri dimana orang tuanya menghilang.
Ia bertemu seorang wanita yang membawanya ke sebuah petualangan misteri
Apakah Wanita itu cinta sejatinya? atau Riski akan menemukan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apakah ia menemukan orang tuanya?
Ia pintar dalam hal .....
Oke kita cari tahu sama-sama apakah ada yang mati saat hujan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Maaf Rizal
18:10 - Dalam Toko
Bela menelusuri ruangan itu . Langkahnya berayun-ayun. Menggema di seluruh ruangan.
Trak... trak... suara berderak muncul ketika Bela menginjak serpihan kayu-kayu yang tergeletak di lantai ruangan.
Tiba-tiba , dari atas
Brukkk ..!! Seekor tikus jatuh mengenai bahu Bela.
"Aaah..." Bela menjerit—ia pun tersentak. Setelah mendengar suara itu, para pria pemabuk itu pun menatap tajam ke sumber suara. Mata mereka merah. Dan bau mulut mereka busuk dan tercium aroma menyengat dari Alkohol.
"Wihhh ada suara perempuan, cuy..." ucap pria bertato.
"Tunggu apa lagi, gaslah... 😏" pria kurus langsung bergegas menuju sumber suara. Wajahnya terlihat sinis dan senyuman menyeringai ( Pokoknya mengerikan sekali jika saya bayangkan sendiri hehe.)
Mereka mempercepat langkahnya. Terlihat dari jauh siluet Bela yang yang berjalan seraya mencari jalan keluar.
"Haii, Nona manis......!!!" Terdengar suara dari kejauhan menggema di seluruh ruangan. Sungguh mengerikan.
Bela kaget, matanya melotot melihat dua orang pria mendekat. Dari kejauhan mereka mengejar Bela. Bela pun mulai berlari ketakutan. Keringat Bela bercucuran, napasnya tersengal-sengal, tangan gemetaran. Ia bingung apakah yang harus ia lakukan. Akhirnya ia memutuskan terus untuk lari ke arah depannya.
Bela berlari sejadi-jadinya, tak memperdulikan sekitarnya. Dus-dus bekas yang berserakan menghambat pergerakan Bela.
Setibanya di lorong sempit toko terbengkalai, para pria itu kehilangan jejak. Jejak kaki Bela tak terlihat jelas karena penerangan yang minim. Ia pun bersembunyi di tumpukan dus.
"Ma... ma... huuuhuu..." Bela menangis. Ia menutup mulutnya sendiri dengan tangan agar isak tangisnya tak terdengar. badannya gemetar hebat. Ia hanya bisa meringkuk di antara dus yang berserakan.
Di sisi lain, Riski dan Rizal menerobos masuk. Tak tak tak... suara kaki Riski dan Rizal menggema di seluruh ruangan. Deru hujan masih menghiasi area luar toko. Tak jauh dari situ mereka pun berhenti dan terdiam sesaat. Tampak di depan mereka bayangan yang seperti menjauh.
"Ris... hantu kah itu? Atau pocong mungkin?"
"Hantu? Pocong? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak." Riski menjawab dengan Ringan, tapi itu tak menurunkan kewaspadaannya. Matanya tetap awas dan liar mengawasi area itu
"Wehh, kita mau bagaimana ini? Saya takut untuk maju. Tapi Bela ada di sana..." Rizal menatap Riski dengan wajah yang terlihat pucat pasi, lututnya gemetaran.
"Hantu kan, bukan mayat. Kenapa harus takut? Kita maju saja. Apa pun yang terjadi, itu urusan belakangan. Yang penting Bela pulang dengan selamat."
"Sumpah, kalau saya tahu mau begini jadinya saya tidak akan iyakan dia untuk ikut. Tapi memang salahku karena saya balap-balap tadi." Rizal tertunduk sejenak, tangannya mengepal.
"Sudah, tidak ada yang tahu jalan hidup kita akan bagaimana. Mau salahkan dirimu sendiri juga semua sudah terlanjur. Kita laki-laki, harus berani...!"
" Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Okey, saudaraku." Riski mnepuk pundak Rizal yang terlihat rapih "Ayo kita lanjutkan sahabatku..."
Rizal mengangkat kepalanya, ia menenangkan napasnya. "Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Meski saya mati pun tak apa."
"Yakin? Memangnya amal dan dosamu sudah kamu tahu?"
"Emmm hehe, tidak. Jangan dulu mati lah, hehe..." Rizal tersenyum tipis, sembari menggaruk kepalanya.
Mereka berdua berlari ke arah bayangan itu. Semakin mendekat, siluet itu semakin jelas.
"Hah... woiiii kalian!" teriak Riski.
Kedua orang pria terlihat di hadapan mereka. "Apa?" pria bertato itu menatap tajam ke arah Riski.
Bau minuman keras menyeruak dari kedua pria itu. "Busuknya mulutmu, cih..."
"Mereka sepertinya belum mandi," Rizal mendekat ke Riski dan berbisik.
"Coba kau ulangi, brengsek!" pria kurus itu menunjuk ke Rizal .
"Mereka sepertinya belum mandi?" Rizal mengernyitkan dahinya.
"Yang sebelumnya!!!" matanya menatap tajam ke Rizal .
"Yang sebelumnya?" ucap Rizal sembari menaikkan bahunya.
"Ko cari mati betul ya, anak kecil."
Tingkah mereka membuat Riski pusing sampai geleng-geleng kepala. Sesekali Riski menarik napas dalam-dalam. "Mundur, Rizal. Kita itu harus berbicara dengan kepala dingin." Tangan Riski menepuk pundak Rizal sembari mendekati kedua pria itu.
"Yaa sudah dingin, dari tadi kita basah kuyup karena hujan."
"Dek, itu temanmu?" pria bertato itu menunjuk ke arah Rizal .
"Seandainya bisa aku jual, mungkin dia sudah dijual di toko online." Riski pun heran dengan sikap temannya ini.
Riski berhadapan dengan kedua pria itu. "Jadi begini, Om, kalian lihat seorang wanita masuk ke sini?"
"Apa urusanmu?" pria bertato itu menyipitkan matanya.
"Bisa tolong dijawab saja?" Riski mendekat ke telinga pria bertato itu.
"Cari mati memang kalian dua ini."
Tiba-tiba pria bertato itu mendorong badan Riski dengan kencang. Riski pun terdorong mundur. Tubuhnya terhuyung.
"Om, bisakah—"
Blakk...!!!
Sepersekian detik berlalu, tiba-tiba pria kurus itu melancarkan tendangan ke Riski. Tendangan itu mendarat ke ulu hati Riski.
Riski pun tertunduk lesu. Dadanya terasa sesak—dan serasa tercekik. Ia merasa seperti dadanya terbakar karena terlalu sesak. Pandangannya seketika buram. Ia mencoba menarik napas. Sementara tangannya menahan nyeri di dada, pria itu lanjut melancarkan tendangan ke kepala Riski.
Rizal yang melihat itu langsung sigap maju dan menahan dengan kedua tangannya. Tapi, tendangan itu terlalu kuat. Napasnya tertahan. Jantungnya berdetak kencang. Tapi, tendangan itu terlalu kuat. Kedua tangannya pun tetap mengenai kepala Riski. Badannya menghantam keras Ke lantai bangunan itu. Riski pun jatuh tersungkur
"Ahhkk..." suara batuk terdengar dari mulut Riski.
Keheningan pun seketika menyelimuti tempat itu.
Rizal menatap tubuh Riski yang tergeletak.
Segalanya jadi buram, kecuali suara batuk itu—dan rasa dingin yang merayap perlahan ke tengkuknya.
"Ini orang benar - benar mabuk kah? . Awalnya hanya ingin ajak berdamai. Tapi tidak kusangka mereka bisa berbuat sejauh ini" Kalimat itu terucap dalam benak Riski.
"Hah anak kecil, minta tolong sana sama mamamu." Ucap Pria Bertato itu seraya tertawa terbahak-bahak.
"Lebih baik pulang saja... " pria kurus itu tertawa terbahak-bahak.
"Ehh om, tolong wehh . Sudah mi jangan kalian lanjutkan. Kasihanilah temanku ini. " Rizal dalam keadaan bimbang.
"Suruh saja temanmu, pulang. Atau Minta tolong sama mamanya, suruh jemput. " Ucap Pria bertato itu sambil menunjuk-nunjuk Riski.
Riski masih terdiam. Ia mengulur waktu sebisa mungkin agar bisa pulih seperti sediakala.
"Ini bukan kali pertama. Kau terlalu naif" Ucap Riski kepada dirinya sendiri. Kalimat itu berputar terus menerus dalam pikirannya.
"Mungkin tidak bisa pulang karena orang tuanya tidak ada yah . " Kedua pria itu tertawa terbahak-bahak. Mendengar ucapan itu, Riski teringat mamanya. Ia selama ini hidup sendiri...
"Rizal... Maaf." Suara Riski terdengar sedikit serak.
Mata Riski menatap tajam ke arah mereka berdua. Tatapan yang dingin. Tak ada senyum, tak ada ucapan lagi. Darah dalam tubuh Riski mengalir dengan kencang.
"Riski? .. Rizal merasakan ada hal aneh dalam pandangan temannya itu. Tapi Riski masih tak bergerak.