Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.
Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.
Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Skripsi
Suara ketikan keyboard terdengar berirama di ruang belajar asrama. Achazia duduk membungkuk di depan laptopnya, matanya mulai buram karena terlalu lama menatap layar. Di sisi lain, Ciara duduk di kamarnya dengan headphone terpasang, sesekali mendesah frustasi.
Sudah dua minggu mereka begadang demi menyelesaikan skripsi. Topik yang awalnya terdengar menarik, kini terasa seperti labirin tanpa ujung. Pagi ini mereka memutuskan untuk mengerjakan skripsi bersama di asrama Achazia.
“Ciara, aku stuck di bab tiga. Data survei aku gak sinkron sama teori,” keluh Achazia sambil mengacak rambutnya.
Ciara melepas headphone-nya, menatap Achazia dengan lelah. “Zia, aku juga stuck. Bab empat aku kayak ditolak hidup-hidup sama dosen pembimbing.”
Mereka tertawa kecil, namun tawa itu cepat pudar digantikan keheningan. Kelelahan, tekanan, dan kecemasan mulai menggerogoti.
Achazia menatap Ciara. Ia sadar, belakangan mereka mulai sering diam-diaman. Bukan karena marah, tapi karena masing-masing tenggelam dalam tekanan.
“Ciara… kamu capek ya?” tanya Achazia pelan.
Ciara menghela napas panjang. “Banget, Zia. Tapi aku gak mau marah ke kamu. Aku tahu kita sama-sama lagi hancur. Aku cuma takut kita malah renggang gara-gara skripsi ini.”
Achazia tersenyum tipis. “Aku juga takut, Ra. Tapi aku gak mau kehilangan teman lagi. Udah cukup satu orang yang hilang kabar… aku gak mau tambah kamu.”
Ciara tersenyum, matanya memerah. Mereka saling menatap, lalu tertawa kecil.
“Kita aneh banget sih. Baru skripsi aja udah drama,” kata Ciara sambil menepuk tangan Achazia.
“Emang. Tapi lebih baik stress bareng daripada stress sendirian,” balas Achazia.
Mereka lalu melanjutkan skripsi mereka masing-masing. Dari pemilihan judul sudah mereka lalui. Begitu susahnya dapat ACC judul saja. Apalagi mengerjakan bab 3 sampai seterusnya. Untung saja kepala mereka tidak pecah.
Malam itu, mereka memutuskan untuk break sejenak, membuka grup chat yang sudah lama tak seramai dulu — Masa SMA Paling Chaos 🌀. Grup itu telah menambah satu anggota yaitu Ciara.
Kaivan: “Oi para pejuang skripsi, masih hidup kah?”
Brianna: “Kalau udah gila, kabarin. Aku siap video call buat ketawa bareng.”
Achazia: “Hidup sih, tapi hampir gila. Skripsi ini kayak pacar posesif yang nyuruh revisi tiap hari.”
Ciara: “Aku yang bukan member asli grup ini ikutan ya. Skripsi ku juga toxic.”
Kaivan: “Woi Ciara! Anggap aja kamu udah jadi honorary member!”
Percakapan itu berlangsung ringan, tapi cukup untuk membuat Achazia dan Ciara merasa tidak sendiri. Tapi anehnya dua tahun itu Elvareon tidak mengirimkan pesan apapun bahkan tidak membaca chat grup itu. Entah dia sibuk atau ada hal lain, tapi itu merasa aneh bagi Achazia.
Di sela obrolan, Achazia memandangi foto profil Elvareon di ponselnya. Ia belum pernah memberitahu Elvareon kalau dirinya sedang skripsian. Bukan karena ingin menyembunyikan, tapi karena Elvareon sendiri menghilang tanpa kabar.
“Elvareo, aku mau kamu tahu… aku tetap melangkah, meski kamu gak ada di sini,” bisiknya pelan.
Hari demi hari berlalu, mereka terus berperang dengan skripsi. Hubungan Achazia dan Ciara perlahan membaik, bahkan lebih erat karena melewati stres bersama.
Suatu malam, saat mereka tengah sibuk mengedit, Achazia menerima pesan voice note dari Brianna.
Brianna: “Zia, aku bangga banget sama kamu. Meski Elvareon gak ada di sampingmu, kamu tetap jalan terus. Aku tahu itu gak mudah. Tapi aku dan Kaivan selalu di sini. Kita gak akan ninggalin kamu.”
Achazia tersenyum, matanya memanas. Ia menatap Ciara yang juga tersenyum menguatkan.
“Kita pasti lulus, Ra,” kata Achazia yakin.
Ciara mengangguk. “Iya, Zia. Kita bakal lulus, bareng-bareng.”
Setelah berminggu-minggu penuh perjuangan, akhirnya mereka berhasil mengumpulkan skripsi tepat waktu. Hari itu, mereka berdua berdiri di depan gedung administrasi, memegang berkas skripsi dengan senyum lelah tapi lega.
“Zia, thank you ya… udah mau berjuang bareng aku. Aku gak tahu kalau kamu gak ada, mungkin aku udah nyerah,” ucap Ciara.
Achazia tersenyum. “Aku juga. Kita sama-sama penolong toxic satu sama lain.”
Mereka tertawa, lalu saling high five.
Di grup chat, Kaivan mengirim voice note.
Kaivan: “WOI SELAMAT! Kalian keren banget. Tinggal tunggu wisuda, abis itu kita rayain!”
Brianna: “Ciara, kamu harus ikut acara chaos kita nanti ya. Kamu udah resmi jadi member kacau.”
Ciara: “Dengan senang hati. Aku udah siap mental.”
Malam itu, Achazia kembali membuka foto lama di galerinya foto berempat bersama Elvareon, Kaivan, dan Brianna saat masa SMA. Perasaan rindu menggelayut, tapi ia tahu, langkahnya tidak boleh berhenti.
“El, aku mau kamu bangga nanti saat aku wisuda. Meski kamu gak tahu, aku berjuang sampai sini karena kamu juga.”
Achazia ingin menuliskan nama Elvareon diskripsinya tapi hatinya menolak. Dia mengerjakan skripsi ditemani oleh Ciara, Brianna dan Kaivan bukan dengan Elvareon.
Keesokan paginya, mereka dalam acara yudisium. Ciara berpakain rapi dengan rambut terurai setengah. Dia menjadi motivator bagi teman-temannya. Dia lah mahasiswi yang memiliki segudang prestasi.
Dia membaca pidatonya. Pidato yang berisi semangat dan motivasi. "Ini masih awal dari kita. Kita bersama-sama menggali ilmu hingga kita berhasil mendapatkan gelar itu. Gelar yang sudah kita impikan selama ini"
Banyak orang yang terharu dengan pidato Achazia termasuk Ciara. Setelah selesai berpidato dia kembali ke tempat duduknya. Nama dipanggil secara bergiliran, saling menjabat tangan dengan dekan dan kaprodi. Itu membuat Achazia merasa senang.
Yudisium tanpa orang tuanya. Dua hari lagi akan menjelang wisuda. Disitu lah orang tuanya akan datang. Dia senang dia telah lulus dan ingin melanjutkan impiannya menjadi MUA profsional.
Namun, dihatinya masih janggal. Dia ingin Elvareon hadir acara wisudanya besok. Tapi, saat dia skripsian aja Elvareon tidak tahu. Dia ingin memberi kabar Elvareon.
"Astaga, sudahlah! Kamu jangan bersedih karena Elvareon tidak datang." ucap Ciara
Achazia mengangguk dan memaksakan diri untuk tersenyum walau hatinya sakit. Saat acara yudisium selesai, dia kembali ke asramanya dan Ciara kembali pulang menaiki bus. Dia masih bersedih, dia tak menyangka kenapa bisa jadi selemah ini. Kenapa harus Elvareon yang menjadi penyemangatnya.
Dia meneteskan air matanya. Menatap kembali surat-surat yang tak pernah dikirim itu. Menatap kembali foto nya berdua bersama Elvareon. Dia selalu berharap Elvareon akan mengirimkan pesan padanya tapi itu tak terjadi. Pesan-pesan yang menjadi akhir baginya. Grup yang seharusnya menjadi tempat ternyamannya tapi kini tidak lagi. Hanya ada Brianna, Kaivan dan Ciara yang hidul di grup itu. Baginya tanpa Elvareon tetap saja grup itu sepi. Dia ingin Elvareon kembali lagi kepadanya menjadi penyemangatnya.