Aluna gadis yatim piatu berusia 21 tahun, menjalani hidupnya dengan damai sebagai karyawan toko buku. Namun hidupnya berubah setelah suatu malam saat hujan deras, ia tanpa sengaja menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya. Di sebuah gang kecil ia melihat sosok pria berpakaian serba hitam bernama Darren seorang CEO berusia 35 tahun yang telah melenyapkan seorang pengkhianat. Bukannya melenyapkan Aluna yang menjadi saksi kekejiannya, Darren justru membiarkannya hidup bahkan mengantarnya pulang.
Tatapan penuh ketakutan Aluna dibalik mata polos yang jernih menyalakan api obsesi dalam diri Darren, baginya sejak malam itu Aluna adalah miliknya. Tak ada yang boleh menyentuh dan menyakitinya. Darren tak ragu melenyapkan semua yang pernah menyakiti Aluna, entah itu saat sekarang ataupun dari masa lalunya.
Ketika Aluna perlahan menyadari siapa Darren, akankah ia lari atau terjatuh dalam pesona gelap Darren ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mantan Perawat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.2
©MALAM GELAP PENUH TANYA : PERASAAN TAK TERTAHAN ©
Aluna terhuyung-huyung bangkit dari lantai, tubuhnya masih basah kuyup, tetapi rasa takut yang menyelimuti lebih kuat daripada dinginnya hujan yang menempel di tubuhnya. Tangannya gemetar saat mendorong meja dan kursi, mencoba mengganjal pintu kostnya. Pintu itu seperti tak cukup kuat untuk menahan kegelisahan yang kini menderanya. Rasa takut dan kebingungan bercampur aduk di dalam dada, membuat setiap detik terasa semakin berat.
Dengan tubuh yang masih basah, Aluna merangkak ke kamar tidurnya. Ia tak peduli dengan air yang menetes ke lantai, pikirannya hanya dipenuhi dengan wajah pria itu, pria yang menyentuh pipinya, yang mencium wajahnya, dan yang tak memberi ampun pada pria tak bernyawa di gang tadi.
"Kenapa... kenapa dia tidak membunuhku?" gumamnya pelan, tubuhnya semakin terasa dingin. "Kenapa malah... malah dia..."
Air mata kembali mengalir, tapi kali ini lebih karena ketakutan yang semakin dalam. Ia berjalan perlahan ke kamar mandi, membuka lemari pakaian dengan tangan yang tak bisa berhenti gemetar. Setelah memilih pakaian ganti, ia masuk ke kamar mandi, melepas pakaiannya yang basah dan menggantungnya
di belakang pintu.
Sambil menggigil, Aluna membuka keran air panas dan membiarkan tubuhnya terendam dalam aliran air hangat. Rasanya hampir menyakitkan, tapi setidaknya ia merasa sedikit lebih tenang. Saat ia membilas tubuhnya, pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan pria itu. Tatapannya, matanya yang penuh ancaman, dan senyum kecil yang tak dapat ia lupakan.
"Aluna," bisiknya pada dirinya sendiri. "Apa yang terjadi padamu? Apa yang akan terjadi padamu sekarang?"
Setelah selesai mandi, Aluna mengeringkan tubuhnya dengan handuk besar yang baru diambil dari lemari. Ia mengenakan pakaian ganti dengan gerakan pelan, berusaha menenangkan diri. Namun, setiap kali ia menutup mata, bayangan pria itu kembali muncul. Ketakutannya malah semakin kuat, seolah malam ini tidak akan pernah berakhir.
Dengan tubuh yang lelah dan pikiran yang kacau, Aluna akhirnya berbaring di kasurnya. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kamar dengan kosong. Ia ingin tidur, tapi rasa takut itu terus menghantuinya.
Kenapa pria itu melepaskannya? Mengapa dia tidak membunuhnya?
"Apa yang dia inginkan dariku?" Aluna bergumam, suara hatinya hampir tak terdengar. "Kenapa aku? Kenapa harus aku yang melihat semuanya? Kenapa aku harus pulang lewat gang tadi ? Aku bodoh,kalau saja aku tidak lewat gang tadi,mungkin tidak akan seperti ini."
Di luar kamar, hujan masih turun deras, dan suara gemuruhnya hanya menambah ketakutan di dalam hati Aluna. Pipi chubby-nya yang basah oleh air mata menempel di bantal, saat ia menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya, seolah berharap bisa melindungi dirinya dari apa pun yang akan datang.
© DI UJUNG JALAN : DIA MILIKKU©
Sementara itu, di ujung jalan, pria itu sudah berada di dalam mobil. Pengawalnya, yang duduk di kursi depan, melirik ke belakang sekilas, memeriksa apakah pria itu masih dalam keadaan tenang. Pria itu, dengan ekspresi datar, menatap keluar jendela mobil, matanya yang tajam merenung, mengingat setiap detil kejadian tadi.
"Mayat sudah dibereskan, bos," ujar pengawalnya dengan suara tenang. "Tidak ada jejak yang tertinggal."
Pria itu mengangguk pelan, lalu bersandar di kursi, matanya terpejam. Pikirannya kembali terbang ke Aluna, gadis yang baru saja ia temui. Gadis itu, dengan pipi chubby yang menggemaskan, mata yang penuh ketakutan, dan tubuh yang lemah. Aluna benar-benar berbeda. Biasanya, seseorang yang menjadi saksi seperti itu akan langsung dia lenyapkan detik itu juga dari dunia ini, tapi untuk Aluna, ia merasakan sesuatu yang... berbeda.
Ia menyentuh bibirnya, mengingat kecupan kecil yang ia berikan pada pipi Aluna. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan pada gadis mana pun, bahkan setelah berinteraksi lebih lama.
"Kenapa aku melakukan itu?" gumamnya pada dirinya sendiri, seolah mencoba menjawab pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya.
Di sampingnya, pengawalnya yang mengendarai mobil melirik lewat kaca spion, tetapi memilih untuk tetap diam.
"Semuanya aman, bos," ucapnya hati-hati, "Tapi... gadis itu... dia sudah melihat semuanya. Apa yang harus kita lakukan?"
Pria itu membuka mata, menatap pengawalnya dengan tatapan tajam yang membuat udara di dalam mobil terasa semakin berat. "Jangan ganggu dia. Dia urusanku."
Pengawalnya terdiam, lalu mengangguk cepat. "Tentu, bos."
Mobil itu melaju melalui jalan yang sepi dan gelap, hujan yang semakin deras mengaburkan pandangan dari luar. Pria itu kembali berpikir tentang Aluna. Tentang pipi chubby-nya yang begitu lembut, tentang matanya yang begitu polos dan penuh ketakutan.
"Dia menggemaskan... terlalu menggemaskan," bisiknya, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. "Gadis itu akan menjadi milikku... tak akan ada yang mengganggu dia, selain aku."
Pria itu mengerling ke luar jendela mobil, lalu menutup matanya, berusaha merasakan sensasi pipi Aluna yang masih terasa di bibirnya.
"Gadis manis yang menarik..." gumamnya lagi, menambahkan suara bisikan yang hampir tak terdengar. "Aluna."
Senyum misterius muncul di wajahnya, dan meskipun tubuhnya tegap dan dingin, hatinya merasa sedikit lebih hangat. Dia sudah memutuskan, Aluna akan menjadi bagian dari dunianya, tak peduli apa yang harus dia lakukan.
©KAMAR KOST : BISIKAN HATI ©
Di dalam kostnya, Aluna terjaga sepanjang malam, matanya terpejam, tetapi pikirannya terus terjaga, membayangkan pria itu. Tubuhnya masih gemetar, namun ia tak bisa mengalihkan pikirannya dari apa yang telah terjadi. Ia merasa dunia di sekelilingnya menjadi semakin sempit, dan tak tahu lagi apa yang akan terjadi padanya setelah ini.
"Semoga Tuhan melindungiku," bisiknya pelan, berdoa pada dirinya sendiri, berharap semuanya akan segera berakhir.
Aluna masih terjaga. Jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, namun matanya tetap terbuka lebar, menatap langit-langit kamar dengan kosong. Selimutnya semakin ia tarik menutupi tubuh mungilnya, seolah bisa melindunginya dari teror yang terus menghantuinya.
Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan pria bertopeng itu muncul. Tatapan matanya yang tajam, belati berlumuran darah, dan tubuh tak bernyawa yang tergeletak di gang. Dadanya naik turun cepat, napasnya tersengal. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis yang tak juga berhenti mengalir.
"Kenapa dia tidak membunuhku?" pertanyaan itu terus menggerogoti pikirannya.
Aluna menarik lututnya ke dada, memeluk dirinya sendiri.
"Aku harus melupakannya... ini cuma mimpi buruk... hanya mimpi buruk..." bisiknya pelan.
Namun, tidak peduli seberapa keras ia meyakinkan dirinya, kenyataan tetap menghantamnya dengan kejam. Ini bukan mimpi. Ia melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri. Dan pria itu… pria bertopeng yang membunuh tanpa ragu, justru membiarkannya hidup.
Hujan di luar masih turun deras, menciptakan ketukan ritmis di jendela kamarnya. Aluna menenggelamkan wajahnya di bantal, berharap suara hujan bisa menenangkan pikirannya.
©MARKAS BESAR: OBSESI YANG MENGUAT©
Sementara itu, pria bertopeng itu sudah tiba di markasnya. Bangunan megah itu berdiri kokoh, dikelilingi pohon-pohon tinggi yang menjulang seperti bayangan kelam.
Tanpa banyak bicara, ia berjalan masuk ke dalam, melewati beberapa anak buahnya yang langsung menundukkan kepala dengan hormat.
Pengawalnya mengikuti dari belakang, lalu berbisik kepada rekannya.
"Kenapa bos membiarkan gadis itu hidup?" tanya Hernan pelan.
Pengawal yang lain,Arga meliriknya sekilas sebelum menjawab dengan nada rendah. "Jangan ikut campur. Jika bos sudah memutuskan, itu bukan urusan kita. Kau tahu apa yang terjadi kalau ada yang melanggar perintahnya,aku tidak mau mati mengenaskan."
Pengawal pertama menelan ludah. Ia tahu benar betapa mengerikan bos mereka. Jika mereka mencoba melawan perintahnya, nyawa mereka sendiri yang akan menjadi taruhannya.
Mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya diam, kembali berjaga di posisi masing-masing.
Pria itu berjalan menuju kamarnya, lalu masuk ke kamar mandi. Ia berdiri di depan cermin, menatap refleksinya. Dengan gerakan lambat, ia melepaskan topeng yang sejak tadi menutupi wajahnya, membiarkan wajah dinginnya terlihat jelas. Bau anyir darah masih menempel di tubuhnya.
Tanpa ekspresi, ia melepas pakaiannya, lalu melangkah ke bawah shower. Air dingin mengguyuar tubuhnya yang kekar, namun ia tidak bereaksi. Pikirannya terlalu sibuk memikirkan satu hal,atau lebih tepatnya, satu orang.
'Aluna'
Ia menutup matanya sejenak, membiarkan bayangan gadis itu muncul dalam pikirannya. Ketakutan di matanya, tubuhnya yang gemetar, dan pipi chubby-nya yang lembut saat disentuh.
"Kenapa aku membiarkannya hidup?" pikirnya.
Lima menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi, mengenakan jubah mandi dan berjalan menuju lemari pakaian. Setelah berpakaian, ia duduk di kursi ruang kerjanya, menyalakan laptop. Jemarinya mengetik cepat di kolom pencarian media sosial, mencari nama yang sejak tadi berputar di kepalanya,'Aluna'.
Beberapa nama muncul, tapi matanya segera menangkap satu profil yang tepat : ' Aluna Prameswari'. Ia mengkliknya, lalu mulai melihat setiap detail yang terpampang di sana.
Aluna Prameswari. Lahir: 11 Januari 2004. Usia: 21 tahun.
"Hmm..jadi dia baru saja ulang tahun kemarin.Menarik,masih sangat muda." gumamnya,senyumnya semakin lebar,usia Aluna jauh lebih muda dari dirinya,terpaut 14 tahun. Matanya kembali memperhatikan setiap foto yang Aluna unggah.
Ia berhenti pada satu foto. Aluna berdiri di dekat rak buku, tersenyum sambil memegang buku di tangannya. Caption-nya tertulis: 'Toko Buku Bukit Pelangi,surga kedua bagiku.'
Pria itu tertawa kecil. Menarik.
"Jadi kau bekerja di toko buku? Gadis manis yang lugu dan penakut, tapi kau memilih tempat yang penuh ketenangan… menarik."
Matanya kemudian tertuju pada satu postingan lain. Foto Aluna bersama kedua orang tuanya, dengan tulisan yang menyertainya:
"Langit kelabu bagiku, cahaya hidupku telah pergi. Aku sendirian. Yang tenang di surga sana, untuk Ayah dan Ibu tersayang. Aku akan selalu merindukan kalian, aku berjanji akan baik-baik saja. Aku yakin kalian melihatku dari surga sana."
Pria itu membaca kalimat itu berulang kali.
"Jadi dia yatim piatu..." bisiknya pelan.
Ia menghela napas panjang, lalu menutup matanya sejenak. Gadis itu tidak punya siapa-siapa. Tidak ada yang akan mencarinya jika ia menghilang bisiknya dalam hati.
Pria itu mulai mengunduh semua foto Aluna, menyimpannya dalam satu folder di laptopnya. Tangannya bergerak dengan tenang, seolah ini adalah sesuatu yang sangat wajar baginya.
Setelah beberapa menit, ia mencetak salah satu foto Aluna.Saat foto itu keluar dari printer, ia mengambilnya, lalu mendekatkannya ke wajahnya. Ia menghirup aroma kertas itu, seolah berharap bisa menangkap wangi Aluna di dalamnya.
"Gadis kecil yang menggemaskan..." gumamnya sambil menyeringai.
Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mendongakkan kepala sambil memejamkan mata.
"Aluna."
Ia mengucapkan nama itu pelan, seolah itu adalah mantra yang harus ia ulangi.
©KAMAR KOST: TAKUT YANG TAK BERUJUNG©
Aluna masih belum bisa tidur.
Ia memeluk erat selimutnya, tubuhnya menggigil meskipun kamarnya tidak dingin. Air matanya masih mengalir, dan hatinya terus bertanya-tanya.
"Apa yang akan terjadi padaku?"
Ia teringat tatapan pria bertopeng itu. Tatapan yang membuat tubuhnya membeku di tempat. Tatapan yang seakan menelanjangi ketakutannya dan menikmatinya.
"Kenapa dia membiarkanku hidup?"
Semakin ia memikirkan itu, semakin hatinya berdegup kencang. Bukan karena perasaan suka,tidak mungkin. Ini adalah rasa takut murni.Aluna menggigit bibirnya, menenggelamkan wajahnya di bantal.
"Semoga Tuhan melindungiku..." bisiknya, suara hatinya hampir tak terdengar.
Di luar sana, hujan masih mengguyur deras, membawa suasana mencekam yang seolah tidak akan pernah berakhir.
Sementara itu, di markasnya, pria itu masih duduk di ruang kerjanya, matanya menatap foto Aluna dengan pandangan tajam.
Ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan.
Ia tidak akan membiarkan gadis itu pergi. Tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya.
Dia sudah memutuskan,Aluna adalah miliknya seorang.Dan cepat atau lambat… Aluna juga akan menyadarinya.