Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2
Setelah tangisnya mereda di kamar mandi, Anjani menghapus air mata yang membekas di pipinya. Ia menatap wajahnya di cermin. Pucat dan letih. Tapi seperti biasa, ia menguatkan diri dan keluar. Di rumah itu, ada empat perempuan—ibu mertua, dua ipar perempuannya, dan Anjani sendiri. Tapi entah kenapa, hanya Anjani yang dianggap bertanggung jawab atas semua pekerjaan rumah. Seolah menjadi menantu menjadikannya otomatis sebagai asisten rumah tangga.
Ia mulai dari menyapu lantai, mencuci piring, melipat cucian, hingga merapikan ruang tamu. Semua dilakukannya dalam diam. Tak ada yang membantunya, bahkan sekadar ucapan terima kasih pun tak pernah terdengar.
Setelah semua selesai, Anjani masuk ke kamar. Ia duduk di tepian ranjang dan menatap foto pernikahan mereka yang terbingkai rapi di atas meja kecil. Di dalam foto itu, Riki tampak tersenyum penuh bahagia, memeluknya dengan mesra. Anjani menatapnya dengan mata penuh harapan. Semua itu kini terasa seperti mimpi yang jauh.
Dua tahun lalu, saat masih tinggal di kontrakan kecil, kehidupan rumah tangga mereka terasa sederhana namun hangat. “Selamat pagi, sayang,” adalah kalimat yang selalu Riki ucapkan tiap pagi. Mereka bersama-sama membersihkan rumah, memasak, dan saling bercerita. Saat itu, Riki masih menjadi ojek online setelah di-PHK dari pekerjaannya di pabrik karena pandemi. Ibu dan ayah Riki mencemoohnya karena pekerjaan itu, menyebutnya tak punya masa depan. Tapi Anjani selalu mendukung.
“Aku bangga sama abang. Apapun profesi abang, yang penting halal,” ucap Anjani suatu malam saat Riki pulang lelah dan kecewa karena dimarahi ibunya. Ia bahkan sempat disebut pembawa sial karena Riki di-PHK sebulan setelah menikah. Tapi Riki selalu membela Anjani, membuatnya tetap kuat bertahan.
Pikiran Anjani melayang ke setahun yang lalu, di hari ulang tahunnya. Malam itu, ia gelisah. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi Riki belum juga pulang. Berkali-kali ia menelpon, tapi tak ada jawaban. Ia akhirnya tertidur di ruang tamu dalam gelap karena berhemat listrik.
Tiba-tiba, terdengar suara klik.
Lampu menyala. Anjani mengerjapkan mata.
“Selamat ulang tahun, sayang,” ucap Riki sambil tersenyum manis, masih mengenakan jaket ojolnya.
Anjani terharu, air matanya jatuh begitu saja. Di hadapannya, Riki berdiri dengan senyum lelah, membawa kue bolu kecil dengan lilin menyala. Jaket ojolnya masih melekat di tubuhnya. Rupanya ia pulang larut bukan karena lupa, tapi karena ingin memberi kejutan.
“Terima kasih, sayang,” ucap Anjani, memeluk Riki dengan hangat.
Riki lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru merah dari dalam tasnya. “Aku punya hadiah buat kamu.”
Anjani membuka kotak itu perlahan. Sebuah cincin emas dua gram bersinar lembut di dalamnya. Sederhana, tapi baginya itu lebih dari cukup. Ia tahu betul betapa keras Riki harus bekerja demi membelinya.
“Terima kasih, sayang. Aku harap kamu tetap menyayangiku sampai kita tua nanti,” bisik Anjani dengan suara bergetar.
Saking bahagianya, malam itu Anjani menelpon kakaknya, Reno, yang selama ini tinggal di kampung dan mengelola sawah peninggalan orangtua mereka. Anjani memang berasal dari keluarga berada, namun ia tak pernah membuka jati dirinya di depan keluarga Riki.
“Bang… Riki itu baik banget. Aku bahagia,” ucap Anjani di ujung telepon.
Reno terdiam sejenak, lalu berkata, “Kamu yakin? Dulu aku nggak setuju karena keluarga dia itu suka merendahkan orang.”
“Tapi Riki beda, Bang. Dia lembut, pekerja keras, dan nggak pernah mempermalukan aku,” Anjani meyakinkan.
Reno pun luluh. “Kalau begitu, tunggu saja. Nanti akan ada orang dari perusahaan yang menghubungi Riki.”
“Terima kasih, Bang. Tapi tolong… jangan bilang kalau itu dari abang. Aku nggak mau dia merasa dijadikan kasihan.”
“Kenapa?”
“Aku ingin Riki percaya bahwa dia mampu sendiri. Dia terlalu sering direndahkan keluarganya. Aku cuma ingin dia merasa berharga,” jawab Anjani pelan.
Seminggu kemudian, benar saja. Riki diterima di sebuah perusahaan ternama sebagai staf administrasi. Ia senang bukan main, dan Anjani pun ikut bahagia melihat semangat Riki yang kembali menyala. Malam-malamnya tetap hangat, walau pulang kerja makin larut.
Enam bulan kemudian, Riki dipanggil ke ruangan direktur dan diberi kabar bahwa ia diangkat sebagai manajer. Ia tidak tahu bahwa itu semua berkat campur tangan Reno—kakak Anjani—yang ternyata adalah salah satu pemegang saham di perusahaan tersebut.
Riki pulang dengan wajah berseri-seri. “Sayang, aku diangkat jadi manajer!”
Anjani memeluknya. Dalam diam, ia bersyukur. Tapi juga cemas. Ia tahu, kenaikan jabatan bisa mengubah seseorang, terutama jika lingkungan dan ego ikut campur.
Beberapa minggu setelah itu, Riki mulai berubah. Ia tak lagi pulang larut dengan senyum hangat. Ia mulai lebih sering serius, lebih sering diam. Lalu datanglah keinginan ibunya.
“Ni, Ibu minta kita tinggal bareng di rumah. Jangan di kontrakan lagi,” ujar Riki suatu malam.
Anjani diam sejenak. “Yah… apa sebaiknya kita cicil rumah sendiri, Bang? Biar mandiri. Aku khawatir kalau tinggal serumah… kita jadi nggak nyaman.”
Riki menatapnya, serius. “Aku nggak bisa menolak permintaan Ibu. Aku anak laki-laki satu-satunya.”
Anjani menarik napas panjang. “Kalau itu keinginanmu, aku ikut.”
Akhirnya, mereka pindah ke rumah Riki. Dan di situlah segalanya mulai retak.
Di rumah itu, Anjani tak pernah benar-benar dianggap. Ia direndahkan karena dianggap miskin, tak bekerja, dan berasal dari desa. Padahal Anjani bisa saja menunjukkan saldo rekeningnya. Ia punya uang. Sawah puluhan hektar peninggalan ibunya dikelola Reno dan hasilnya terus mengalir. Tapi ia memilih diam.
Anjani ingin melihat seperti apa sesungguhnya karakter keluarga Riki. Apakah mereka tulus menerima orang atau hanya menghargai status dan harta? Sampai hari ini, jawabannya perlahan-lahan terlihat—dan sungguh menyakitkan.
Riki pun perlahan ikut berubah. Lelaki yang dulu begitu lembut kini mulai enggan membelanya. Ia lebih sering diam ketika ibunya bicara kasar. Ia mulai mendahulukan restu ibunya daripada perasaan istrinya.
Dan Anjani? Ia hanya bisa diam, mengingat kembali hari-hari ketika Riki memanggilnya sayang sambil membawa kue bolu dan cincin dua gram itu. Lelaki yang dulu membuatnya yakin untuk melawan dunia kini terasa asing di sisinya.
“Brak, brak, brak!”
Pintu kamar Anjani digedor keras dari luar. Dengan cepat, ia menghapus air mata dan bangkit membuka pintu.
“Enak banget, ya, kamu di kamar terus! Cepat, siapkan makan siang!” bentak Bu Mirna dengan nada tinggi.
“Baik, Bu,” jawab Anjani lirih, menunduk tanpa perlawanan.
Menyesal dan menangis hanya akan membuatnya makin lemah. Jadi, ia memilih diam. Menyibukkan diri adalah satu-satunya cara agar pikirannya tak meledak.
Anjani memasak tanpa suara, menyiapkan lauk lengkap, menata meja, lalu menyetrika setumpuk baju yang seakan tak habis-habis. Tangannya cekatan, meski hatinya mulai lelah.
Mirna mengamati dari ruang tamu, matanya menyipit curiga melihat Anjani yang begitu tenang.
“Begitu dong, jangan disuruh terus baru gerak! Ini, masih ada baju lain,” katanya sambil melempar setumpuk pakaian ke arah Anjani.
Menjelang pukul empat sore, semua pekerjaan selesai. Anjani menyandarkan punggungnya sejenak, namun suara tawa menggema dari depan rumah. Ia menoleh. Bu Mirna, Pak Adi, Nina, dan Nani sudah berdandan rapi.
“Ibu mau pergi ke hotel, ya. Mau hadiri ulang tahun Lusi,” ucap Mirna sambil mengusap lipstiknya.
“Ya, Bu,” jawab Anjani singkat.
Hatinya mencelos. Bukan karena tidak diajak, tapi karena ia sadar—dirinya memang tak dianggap. Bahkan untuk acara ulang tahun Lusi, keluarga itu rela bersolek. Sementara dirinya? Dibiarkan di rumah, seperti bayangan yang tak penting.
pilih siapa yaa.. ikutan bingung 😆😆
Si Riki sama Ibunya biar nyaho.. wanita yg di elu-elu kan taunya adalah simpenen bapak/suami mereka 😜😜😜😆
Lanjuuttt kakakkkk....
Ditunggu kehancuran mantan suami Anjani...