NovelToon NovelToon
Istri Terbuang

Istri Terbuang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Janda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: ummushaffiyah

Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 – Pertemuan yang Terlambat

Pagi itu udara Jakarta terasa berat, seperti ikut menahan sesuatu di dada Zahwa. Dua hari lagi presentasi besar di kantor Daniel, tapi pikiran Zahwa masih berkabut oleh surat cerai yang datang tanpa aba-aba. Ia sudah bicara pada Bu Rifda, sudah bicara pada Daniel… tapi ada satu hal yang belum ia lakukan.

Menghubungi Farhan.

Bukan untuk memohon.

Bukan untuk mempertahankan.

Tapi karena ia ingin menyelesaikan semuanya dengan cara yang layak, cara yang baik-baik. Jika pernikahan dimulai dengan akad dan harapan, ia berharap penutupnya pun tidak menjadi seperti benda yang dibuang begitu saja.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Zahwa membuka kontak Farhan. Ada keraguan, tapi ia paksa dirinya menekan tombol panggil.

Tut… tut…

Farhan mengangkat setelah nada ketiga.

Suaranya datar, jauh, seperti berbicara pada orang yang tidak lagi ia kenal.

“Ada apa, Zahwa?”

Tidak ada salam.

Tidak ada sapaan lembut seperti dulu.

Zahwa menelan ludah. “Aku… dapat surat dari pengacara. Tentang permohonan cerai.”

“Oh.”

Hanya itu. Satu huruf. Dingin.

“Farhan, aku tidak mengerti kenapa semuanya harus begini cepat… dan tanpa bicara dulu.”

Farhan menghela napas, terdengar tidak sabar. “Zahwa, aku pikir sudah jelas. Kita memang sudah nggak cocok. Kamu terlalu—”

Ia berhenti sebentar, seolah memilih kata paling sopan untuk menjadi tameng agar tidak kelihatan jahat.

“—terlalu pasif. Aku sudah bilang dari dulu. Kamu selalu iya sama semua hal. Aku merasa… bosen.”

Zahwa terdiam. Ia tahu kata itu akan muncul, tapi mendengarnya langsung tetap menusuk.

Namun ia tidak menangis.

“Kalau alasanmu itu… baik.”

Suaranya lembut, tapi ada ketegasan baru yang belum pernah muncul sebelumnya. “Aku tidak menolak. Aku hanya ingin kita bicara baik-baik. Bertemu.”

Farhan tertawa kecil, pendek dan sinis.

“Untuk apa? Bukannya kamu tipe orang yang selalu menerima apa pun? Ya sudah, terima aja. Nggak perlu ketemu.”

Ucapan itu menusuk. Tapi justru membuat Zahwa sadar betapa jauhnya Farhan yang dulu dengan Farhan yang kini.

“Farhan,” Zahwa kembali bicara, kali ini suaranya mantap, “aku mau menyelesaikan ini dengan terhormat. Kita pernah hidup bersama. Setidaknya—hormati itu.”

Ada jeda. Farhan tampak berpikir.

Akhirnya ia menjawab, “Oke. Ketemu di mana?”

Zahwa menyebutkan sebuah kafe kecil dekat kompleks lama, tempat yang dulu sering mereka datangi saat awal menikah. Ironisnya, Farhan hanya merespons, “Ya sudah,” tanpa menyinggung kenangan apa pun.

---

Dua jam kemudian…

Zahwa duduk di sudut kafe, mengenakan tunik pastel yang rapi. Tatapannya gelisah, tapi ia berusaha tegar. Ia harus selesai dengan cara dewasa, bukan tangis, bukan meledak-ledak.

Farhan datang lima belas menit terlambat.

Dengan kemeja kerja yang wangi parfum mahal, raut wajahnya menunjukkan ia lebih ingin cepat beres daripada benar-benar hadir.

“Jadi mau bicara apa?” tanya Farhan tanpa duduk tegap, tanpa senyum.

Zahwa memandangnya lama, mencoba menemukan sisa-sisa lelaki yang dulu mengajaknya membangun mimpi. Tapi tak ada. Yang ada hanya seseorang yang ingin bebas.

“Aku sudah baca surat itu,” Zahwa memulai. “Dan… kalau itu keputusanmu, aku tidak akan menghalangi.”

Farhan terlihat lega. Terlalu lega.

Seakan Zahwa baru saja membukakan pintu seluas-luasnya.

“Tapi,” Zahwa melanjutkan, “aku ingin kita selesaikan tanpa saling menyakiti. Tanpa perebutan. Tanpa tekanan.”

Farhan mengangkat alis. “Memang kamu mau minta apa? Harta gono-gini? Rumah itu?”

Zahwa langsung menggeleng cepat. “Aku tidak mau merebut apa pun. Aku hanya ingin pergi dengan cara baik. Itu saja.”

Farhan tampak heran. “Kamu tuh… selalu bikin bingung. Perempuan lain pasti ribut. Kamu malah… ya sudah, ya sudah.”

Nada meremehkan itu membuat Zahwa akhirnya tersenyum kecil—pahit, tapi kuat.

“Ya, mungkin itu salahku selama ini. Terlalu banyak ‘ya’. Tapi hari ini aku belajar, Farhan.”

Ia menatap dalam. “Belajar bahwa tidak semua kebaikan harus dibalas dengan bertahan.”

Kata-kata itu membuat Farhan terdiam sekejap, ia tidak menyangka Zahwa akan berkata senetap itu.

Zahwa meneruskan, “Aku tanda tangan nanti setelah aku konsultasi dulu. Aku tidak mau tergesa hanya karena kamu ingin cepat selesai.”

“Ya sudah. Terserah,” jawab Farhan. Bahkan sekarang pun ia tidak peduli.

Di momen itu, Zahwa merasa sesuatu di dalam dirinya… patah. Tapi patahan itu justru membuatnya berdiri lebih tegak.

Pertemuan itu singkat, tapi cukup untuk menutup bab lama dalam hidupnya.

Sebelum Farhan pergi dari kafe, Zahwa berkata pelan namun jelas:

“Terima kasih untuk tahun-tahunnya, Farhan. Semoga kamu dapat apa yang kamu cari. Dan semoga aku juga.”

Farhan hanya mengangguk singkat dan melangkah pergi tanpa menoleh.

---

Setelah Farhan benar-benar menghilang di balik pintu kafe, Zahwa duduk kembali. Napasnya gemetar, tapi ada rasa lega yang perlahan muncul.

Ia membuka ponsel. Ada satu pesan dari Daniel:

“Zahwa, jangan lupa makan siang. Dan istirahat cukup. Aku butuh kamu dalam kondisi terbaik untuk presentasi besok.”

Zahwa tersenyum.

Bukan karena perhatian berlebihan, tapi karena ada seseorang yang mengingatkannya untuk menjaga dirinya, bukan menuntutnya untuk memenuhi standar orang lain.

Hari itu, Zahwa keluar dari kafe bukan sebagai perempuan yang ditinggalkan.

Tapi sebagai perempuan yang sedang melangkah menuju hidup barunya.

1
Hafshah
terus berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!