Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.
Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.
Lukisan itu baru. Sangat baru.
Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.
Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Gelombang yang Tak Terduga"
Kehamilan keduanya membawa warna yang berbeda—bukan hanya pada tubuh Luna, tetapi juga pada suasana batinnya. Jika kehamilan pertama dulu diwarnai kecemasan yang sunyi dan kewaspadaan berlebihan, kali ini justru datang dengan gelombang emosi yang naik turun tanpa aba-aba. Ada hari-hari ketika Luna merasa sangat kuat dan penuh syukur. Namun ada juga hari-hari ketika hal kecil terasa terlalu besar untuk ditanggung.
Pagi itu, Nathan pulang sedikit lebih lambat dari biasanya. Hanya dua puluh menit, tetapi bagi Luna—yang duduk di sofa sambil memeluk bantal—waktu terasa memanjang.
Begitu pintu terbuka, Nathan tersenyum lega. “Maaf, tadi rapat molor.”
Luna menoleh, senyumnya tipis. “Oh.”
Satu kata itu cukup membuat Nathan berhenti melangkah. Ia mengenal nada itu. Ia meletakkan tasnya perlahan, mendekat dengan hati-hati.
“Kamu kenapa?”
Luna mengangkat bahu. “Tidak apa-apa.”
Nathan tahu itu berarti ada apa-apa. Ia duduk di samping Luna, menjaga jarak sedikit agar tidak terasa mengintimidasi.
“Aku kirim pesan, kan?” katanya lembut.
Luna menatap lantai. “Iya. Tapi kamu biasanya tidak pernah telat.”
Kalimat itu sederhana, namun penuh makna. Nathan menarik napas. “Kamu cemas?”
“Tidak,” jawab Luna cepat—terlalu cepat. “Aku hanya… kepikiran.”
Nathan mengangguk. Ia tidak membantah, tidak membela diri. Ia meraih tangan Luna perlahan. “Aku di sini sekarang.”
Luna menepis tangannya pelan. Gerakan kecil itu membuat Nathan terdiam, namun ia tidak mundur.
“Maaf,” kata Luna beberapa detik kemudian, suaranya melembut. “Aku tidak tahu kenapa aku jadi begini.”
Nathan tersenyum kecil. “Karena kamu hamil,” katanya sederhana. “Dan itu tidak apa-apa.”
Namun hari-hari berikutnya menunjukkan bahwa ini bukan kejadian sekali dua kali.
Kadang Luna tersinggung hanya karena Nathan lupa membelikan camilan tertentu. Kadang ia menangis karena Nathan memilih duduk agak jauh saat menonton televisi. Di lain waktu, ia mendadak curiga—bukan dengan bukti, melainkan dengan perasaan yang datang tiba-tiba.
“Kamu bosan, ya?” tanyanya suatu malam.
Nathan mengernyit. “Bosan?”
“Iya. Sama aku yang begini terus. Sensitif. Manja.”
Nathan menatapnya lama, lalu menggeleng. “Tidak.”
“Jangan bohong,” kata Luna cepat. “Aku tahu aku menyebalkan.”
Nathan menghela napas pelan, lalu mendekat. “Luna, lihat aku.”
Luna menatapnya, matanya berkaca-kaca.
“Aku tidak bosan. Aku tidak pergi ke mana-mana. Kamu tidak menyebalkan,” katanya tegas namun lembut. “Kamu sedang membawa kehidupan baru. Tubuh dan hatimu bekerja lebih keras dari biasanya.”
Air mata Luna jatuh begitu saja. Ia menutup wajahnya, bahunya bergetar.
“Aku takut,” katanya lirih. “Takut kamu capek. Takut kamu menyesal.”
Nathan memeluknya—pelan, penuh kesadaran. “Aku di sini karena aku memilih. Setiap hari.”
Kehamilan kedua ini membuat Luna lebih manja, sesuatu yang dulu jarang ia izinkan pada dirinya sendiri. Ia ingin ditemani lebih sering, ingin dipeluk lebih lama, ingin didengar meski kata-katanya tidak selalu rapi. Dan Nathan—meski lelah—memilih bersabar.
Namun kesabaran itu juga diuji.
Suatu sore, Nathan pulang dengan wajah lelah. Ia duduk, melepas sepatu, lalu terdiam sejenak sebelum berdiri lagi untuk ke dapur. Ia lupa mencium kening Luna seperti biasanya.
Hanya itu.
Namun bagi Luna, rasanya seperti pengabaian besar.
“Kamu marah sama aku?” tanyanya tajam.
Nathan menoleh cepat. “Hah? Tidak.”
“Kamu bahkan tidak lihat aku,” lanjut Luna, suaranya meninggi. “Sejak kapan kamu jadi dingin?”
Nathan terdiam, mencoba memahami. “Aku cuma capek, Luna. Aku tidak bermaksud—”
“Jadi sekarang kamu capek sama aku,” potong Luna. “Kamu lebih nyaman di luar, ya?”
Kata-kata itu meluncur begitu saja, bahkan sebelum Luna sempat menahannya. Nathan terkejut, matanya sedikit membesar.
“Luna,” katanya pelan namun serius. “Itu tidak adil.”
Luna langsung menyesal, tapi emosinya sudah terlanjur menguasai. Ia berdiri, memeluk perutnya, napasnya memburu.
“Maaf,” katanya akhirnya, suaranya pecah. “Aku tidak tahu kenapa aku selalu berpikir yang buruk.”
Nathan mendekat, tidak menyentuhnya lebih dulu. “Aku di sini,” katanya. “Aku tidak akan pergi.”
Luna mengangguk, air mata mengalir. “Aku jadi berbeda.”
“Tidak,” jawab Nathan lembut. “Kamu jadi lebih terbuka. Itu bukan hal buruk.”
Malam-malam menjadi lebih penuh percakapan—kadang juga lebih penuh air mata. Nathan belajar satu hal penting: Luna tidak selalu membutuhkan solusi. Kadang ia hanya ingin diyakinkan. Kadang ia hanya ingin Nathan tetap di sana meski ia sedang sulit.
Amara pun memperhatikan perubahan itu dengan caranya sendiri.
“Mama sering sedih,” katanya suatu hari pada Nathan.
Nathan berjongkok, menyamakan tinggi badan. “Mama sedang belajar berbagi perasaan.”
Amara mengangguk serius. “Aku bisa bantu?”
“Kamu sudah membantu,” jawab Nathan tersenyum. “Dengan jadi kamu.”
Amara mulai lebih sering memeluk Luna tanpa alasan. Ia menggambar hati besar di kertas, menuliskan Mama kuat. Luna menyimpannya di samping tempat tidur.
Ada hari ketika Luna menuduh Nathan berpikir macam-macam—bahkan tanpa dasar. Ia bertanya apakah Nathan masih menganggapnya menarik, apakah Nathan membandingkannya dengan perempuan lain di luar sana.
Nathan tidak tertawa, tidak tersinggung. Ia menjawab dengan kesabaran yang sama setiap kali.
“Aku memilihmu,” katanya. “Dan aku tidak membandingkan.”
Luna sering terdiam setelah itu, menyadari bahwa ketakutannya lebih besar daripada kenyataan.
Suatu malam, setelah perdebatan kecil yang berakhir dengan keheningan, Luna duduk sendiri di kamar. Nathan mengetuk pelan sebelum masuk.
“Aku boleh duduk?” tanyanya.
Luna mengangguk.
Nathan duduk di lantai, bersandar di ranjang. “Aku tidak sempurna,” katanya jujur. “Aku bisa lelah. Aku bisa lupa. Tapi aku tidak pernah berniat menyakitimu.”
Luna menunduk. “Aku tahu.”
“Aku juga ingin kamu jujur saat merasa takut,” lanjut Nathan. “Bukan menyerang diri sendiri atau aku.”
Luna mengusap pipinya. “Aku sedang belajar.”
Nathan tersenyum kecil. “Aku juga.”
Kehamilan ini mengajarkan mereka bahwa cinta bukan hanya tentang kebahagiaan—tetapi tentang ketahanan. Tentang memilih untuk tetap tinggal bahkan saat emosi bergejolak. Tentang memahami bahwa perubahan bukan ancaman, melainkan bagian dari perjalanan.
Suatu pagi, Luna terbangun dengan perasaan lebih ringan. Ia menatap Nathan yang masih terlelap, lalu tersenyum kecil. Ada rasa syukur yang dalam—untuk kesabaran yang tidak dipamerkan, untuk kehadiran yang konsisten.
Ia tahu hari-hari sulit masih akan datang. Mood swing tidak akan hilang begitu saja. Akan ada lagi tuduhan yang tidak berdasar, air mata tanpa sebab, dan kecemasan yang muncul tiba-tiba.
Namun kini Luna tahu satu hal penting: ia tidak harus menanggungnya sendiri.
Dan Nathan—dengan segala kelelahan dan cintanya—akan tetap berdiri di sisinya, sabar, setia, dan hadir.