Semua berawal dari rasa percayaku yang begitu besar terhadap temanku sendiri. Ia dengan teganya menjadikanku tumbal untuk naik jabatan, mendorongku keseorang pria yang merupakan bosnya. Yang jelas, saat bertemu pria itu, hidupku berubah drastis. Dia mengklaim diriku, hanya miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusi Fitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 1
Aku mematut sekali lagi penampilanku di depan cermin, adakah yang kurang? Hari ini aku memakai dress berwarna baby blue dengan dipadukan sweater rajut berwarna putih.
"Perfect!" ucapku seraya tersenyum kecil.
Sebelum keluar, aku memakai sepatu sneakers berwarna putih, tak lupa dengan slingbag kecil dengan warna yang senada.
Melihat ponselku yang sedari tadi berdenting, buru-buru aku keluar apartement, sepertinya pria itu sudah menungguku cukup lama, oleh sebab itu ia agak bawel xixixi.
"RIKIIII," Aku berteriak sambil melambaikan tangan pada pria yang bersandar di mobil jazz berwarna putih. Yang dipanggil menoleh sembari memasang wajah masam.
"Udah lama yaa?" sambungku setelah berdiri di depannya.
"Menurutmu?" Riki membalas ketus. "Cepat masuk!"
Aku mengangguk patuh, daripada harus membuat pria tersebut bertambah kesal. Ketika aku ingin membuka pintu di samping kemudi, tiba-tiba jendelanya terbuka dan menampilkan seorang wanita cantik berambut blonde yang sedang duduk manis disana.
"Si, kamu duduk di belakang dulu yaa... Aku mau mengantar Victoria dulu."
Lagi, aku hanya mengangguk kemudian bergegas masuk kedalam mobil. Perlahan, kendaraan beroda empat itu keluar dari pekarangan apartementku.
"Siapa namamu?"
"Sisi!"
Wanita tersebut mengangguk singkat, "Kau kekasih Fernando?"
"Fernando?" Sejenak aku berfikir, lalu tak sengaja mataku bertemu dengan mata Riki yang menatapku lewat kaca di depannya. Oh aku mengerti, yang dimaksud Victoria adalah Riki Fernando.
"Tidak, kami hanya berteman."
Victoria hanya berOh ria, tanpa bertanya apa-apa lagi. Sepertinya ia tipikal wanita yang cuek, apalagi terhadap orang asing sepertiku. Toh, siapa juga aku, bukan orang penting baginya.
Semakin lama, mobil yang dikendarai oleh Riki semakin memasuki kawasan hutan yang lebat. Seketika perasaanku menjadi tidak enak, kenapa Riki membawaku ketempat sepi seperti ini. Mungkin dia tau akan kekhawatiranku, Riki pun tersenyum kecil dari balik kaca.
"Kamu tenang saja. Aku tidak akan berbuat macam-macam. Lagipula tujuanku dari awal untuk mengantarkan Victoria."
Walaupun Riki sudah berbicara seperti itu, tak membuatku lega begitu saja. Apalagi semakin diperhatikan, mobil yang kami tumpangi semakin dekat dengan sebuah rumah bak istana.
Dan benar saja, gerbang yang tinggi menjulang terbuka, menampakkan pemandangannya di dalamnya.
Aku takjub, sungguh. Katakanlah diriku norak, tidak apa-apa. Karena untuk pertama kalinya aku melihat mansion yang begitu mewah dan besar. Daebakkk, seperti istana yang sering kutonton di film-film.
"Kamu tunggu disini saja, oke? Aku tidak akan lama. Jangan kemana-mana, nanti kamu nyasar dan malah merepotkanku."
Tanpa kusadari mobil sudah berhenti. Setelah mengatakan pesan tadi, Riki yang diikuti Victoria keluar dari mobil, dan menyisakan aku disana, sendirian.
"Ishh, menyebalkan!" Aku menggerutu kesal, sambil melipat kedua lenganku di dada. Tega sekali Riki, padahal kan aku juga pengen masuk.
Sudah 30 menit berlalu, tapi Riki tak kunjung kembali. Aku mulai bosan dan... Haus.
Rencananya hari ini Riki akan mentraktirku untuk menonton bioskop, sebagai bentuk rasa syukurnya atas jabatannya yang naik. Tentu saja aku tidak akan menyianyiakan kesempatan ini bukan? Kapan lagi aku akan nonton dan makan gratis kalo bukan hari ini hehe.
Aku mendesah panjang. Kuperhatikan pintu utama mansion itu, tapi tak ada tanda-tanda Riki atau siapapun yang keluar. Aku sungguh bosan menunggu.
"Maafkan aku, Riki." Aku bergumam pelan, kemudian membuka pintu mobil lalu melangkah keluar.
Kuhirup dalam-dalam udara segar ini. Aroma pohon-pohon yang mengelilingi mansion tersebut sangat menyegarkan.
Kepalaku celingak-celinguk bingung, aku harus kemana? Pikirku.
Karena tak tau arah, aku melangkah saja mengikuti jalan yang terpasang paving. Dalam hati aku bergumam, seberapa kaya orang yang memiliki rumah ini?
"Ehh, ada bunga." Aku berlari kecil untuk menghampiri berbagai macam bunga. Aku berdecak kagum, tak terasa tangan ini sudah menyentuh bunga-bunga tersebut.
Disaat mata ini masih fokus pada hamparan bunga di depannya, seseorang tiba-tiba menepuk pundakku hingga aku terkejut dibuatnya.
"Permisi, Nona. Anda siapa?" Kuperhatikan wanita paruh baya itu, dia sudah tua namun masih terlihat segar.
"Ah, maaf. Aku Sisi, teman Riki."
"Maksudmu Tuan Fernando?"
"Ah benar. Riki Fernando maksudku," Aku tersenyum canggung, rasa gugup dan takut menjalar di tubuhku.
"Apa kau ingin bertemu Tuan?"
Wajahku seketika menjadi bingung, "Tuan?"
"Iya, Tuan Elbarra."
'Siapa lagi itu?' batinku.
"Tidak, tidak. Aku tidak mengenalnya. Aku hanya menemani Riki, eh maksudku Fernando. Setelah ini, aku akan kembali kok."
Wanita itu tersenyum lembut, "Baiklah. Karena kau datang bersama Tuan Fernando, berarti kau juga tamu disini. Ayo ikut aku, aku akan menjamu-mu."
Dia begitu anggun dan sopan, ahh aku benar-benar beruntung bisa bertemu dengannya.
"Maaf, boleh aku tau namamu?" tanyaku setelah menyamai langkah kakinya.
"Aku Mia, pelayan senior dirumah ini."
Aku berOh ria, tanpa ingin bertanya lebih lanjut. Ternyata Mia membawaku kebelakang, tepatnya dapur.
"Della, siapkan beberapa cemilan dan minuman untuk nona ini." Setelah mengatakan hal tersebut, Mia mempersilahkanku untuk duduk.
Ini dapur, tapi tampak bukan dapur. Ada meja makan kecil, bahkan televisi disini. Dapur saja bisa seluas ini, apalagi dengan yang lainnya.
"Aku sudah memperhatikanmu sejak tadi. Kulihat kau berdiam diri di dalam mobil milik Tuan Fernando. Tak berselang lama, kulihat kau keluar dan melangkah seperti orang bingung."
Mendengar itu, aku jadi malu. Aku hanya makan cemilan yang dihidangkan seraya menunduk. Tak kusangka ada yang memperhatikanku sejak tadi.
"Oh ya Mia, apakah Fernando masih lama?" tanyaku memberanikan diri.
Mia tak langsung menjawab, ia bergeming sejenak. "Mungkin sebentar lagi urusannya selesai."
Aku mengangguk iyakan, tak lagi ada percakapan diantara kami. Sampai, sebuah teriakan dan tangisan membuat kami yang berada di dapur jadi saling pandang.
"Suara siapa itu?" Aku bertanya, sayangnya Mia enggan menjawab.
Aku hendak bangkit untuk mencari sumber suara, tapi Mia lebih dulu menghentikan.
"Itu suara dari salah satu pelayan kami. Mungkin saat ini dia sedang di hukum karena melakukan kesalahan."
'Benarkah? Tapi mengapa suaranya begitu menyedihkan?' Aku tak berani mengatakannya secara langsung, takut mengganggu privasi dirumah ini.
Mendadak suara tangisan dan teriakan tadi menghilang, kulirik Mia yang tersenyum kearahku.
"Mia, aku sepertinya harus kembali. Aku takut Fernando mencariku," Aku bangkit sembari merapihkan pakaian.
"Baiklah," Dia tidak menahanku, aku bersyukur untuk itu.
Mia lalu mengantarku menuju mobil Riki melalui jalan yang tadi kami lewati. Aku ingin bertanya sesuatu, tapi sungkan. Aku merasa ada yang aneh dirumah ini, termasuk Mia yang seperti menyembunyikan sesuatu.
Dari kejauhan, aku dapat melihat Riki yang sedang mengobrol dengan seorang pria. Dia sudah keluar dan berada di teras rumah itu.
"Rikiii..." Aku memanggilnya dan hendak menghampiri, namun langsung dipelototi oleh pria itu.
"Ada apa dengannya?" gumamku pelan. Mataku beralih tertuju ke pria yang ada dihadapan Riki, Oh God, Dia... sangat tampan.
Eh tunggu, apa aku tidak salah lihat? Pria tersebut tersenyum kearahku. Bukan senyum ramah, tapi senyum yang menakutkan. Melihatnya, aku jadi bergidik ngeri.