Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.
Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.
Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.
Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.
"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ular yang Terinjak
Zhao berlari sekuat tenaga. Paru-parunya terasa terbakar, kakinya lemas. Dia tidak menoleh ke belakang, tetapi dia bisa merasakannya.
Getaran di tanah.
DUM. DUM. DUM.
Setiap langkah pengejarnya terdengar seperti palu godam yang menghantam bumi. Itu bukan langkah manusia. Itu langkah raksasa.
"Sialan! Sialan! Sialan!" umpat Zhao. Dia merogoh saku jubahnya, mengeluarkan segenggam paku tabur yang dilapisi racun lumpuh.
Dia menaburkannya di sepanjang lorong sempit di belakangnya.
"Makan itu, Iblis!"
Dia berbelok tajam ke kiri, memanjat dinding batu dengan kait talinya, berharap bisa bersembunyi di atas.
Dari posisinya di atas dinding, Zhao mengintip ke bawah.
Liang Wu muncul dari tikungan. Dia tidak melambat sedikitpun. Kakinya yang telanjang menginjak paku-paku beracun itu.
Kring. Kring.
Suara logam beradu dengan logam.
Paku-paku itu tidak menembus telapak kaki Liang Wu. Justru paku-paku itu yang bengkok, rata dengan tanah. Kulit kaki Liang Wu yang telah ditempa oleh jembatan bara dan Qi Api kini lebih keras dari besi kualitas rendah.
Mata Zhao membelalak. "Monster..."
Liang Wu berhenti tepat di bawah tempat persembunyian Zhao. Dia tidak melihat ke atas. Dia hanya meninju dinding batu tempat Zhao berpijak.
TAPAK VAJRA: RUNTUHNYA GUNUNG.
BUMMM!
Dinding batu vulkanik itu retak, lalu hancur berantakan.
"Waaaa!"
Zhao kehilangan pijakan. Dia jatuh berguling di antara puing-puing batu tajam. Debu mengepul.
Saat debu menipis, Zhao melihat sepasang kaki berdiri di depannya. Kaki yang hitam, berotot, dan penuh urat yang menonjol.
Zhao mendongak.
Liang Wu berdiri menjulang. Darah serigala yang melumurinya mulai mengering, membentuk kerak merah yang membuat penampilannya semakin mengerikan. Topeng kulit di wajah kirinya sudah robek sebagian, memperlihatkan sedikit daging merah asli di bawahnya.
"K-kau..." Zhao merangkak mundur, punggungnya membentur dinding buntu. "Jangan bunuh aku! Aku punya uang! Aku punya koneksi! Ayahku adalah pedagang senjata di Kota Yan! Dia bisa memberimu senjata pusaka!"
Liang Wu tidak menjawab. Dia hanya melangkah maju.
"Tunggu! Tunggu!" Zhao panik. "Mandor Besi! Dia yang menyuruhku! Dia bilang kau ancaman! Aku cuma ikuti perintah!"
Liang Wu berhenti satu langkah di depan Zhao.
"Aku tahu," kata Liang Wu. Suaranya berat, parau karena efek samping memakan terlalu banyak inti api. "Tapi kau melihatku makan."
Wajah Zhao memucat. Dia mengerti. Di dunia persilatan, melihat rahasia kultivasi seseorang adalah hukuman mati. Terutama teknik sesat seperti memakan inti monster mentah.
"Aku tidak lihat apa-apa! Sumpah demi ibuku! Aku buta! Mataku rabun!"
Liang Wu berjongkok.
"Ular tidak butuh mata untuk mematuk," bisik Liang Wu. "Ular harus dipotong kepalanya."
Zhao menjerit, mencabut belati tersembunyi dari sepatu botnya dan menusuk ke arah leher Liang Wu. Serangan terakhir seekor binatang yang terpojok.
Ting.
Liang Wu menangkap bilah belati itu dengan dua jari. Jari telunjuk dan tengahnya menjepit baja itu.
Krak.
Dia mematahkan belati itu.
Kemudian, tangan Liang Wu bergerak ke leher Zhao.
Tidak ada teknik. Tidak ada seni. Hanya cengkeraman murni.
Jari-jari tembaga Liang Wu mencengkeram tenggorokan Zhao. Dia mengangkat tubuh pria kurus itu ke udara dengan satu tangan.
Zhao meronta, kakinya menendang-nendang udara. Wajahnya berubah ungu. Matanya menatap horor ke dalam mata tunggal Liang Wu.
"Sampaikan salamku pada Tuan Gou di neraka," kata Liang Wu.
KREK.
Liang Wu meremas. Leher Zhao hancur seketika. Kepala pria itu terkulai miring dengan sudut yang tidak wajar.
Liang Wu menjatuhkan mayat itu ke tanah seperti membuang sampah.
Dia berdiri diam sejenak, mengatur napasnya. Qi Api di dalam tubuhnya perlahan mulai tenang, diserap sepenuhnya oleh tulang dan ototnya. Warna kulit tembaganya mulai meredup sedikit, kembali ke warna hitam kusam.
Dia memeriksa mayat Zhao. Dia mengambil kantong penyimpanan kecil yang tergantung di pinggang Zhao—benda mahal bagi murid luar. Dia juga mengambil lencana peserta Zhao.
Sekarang, dia harus membersihkan diri.
Liang Wu mengambil jubah luar Zhao yang masih cukup bersih. Dia merobeknya, menggunakannya untuk menyeka darah di tubuhnya. Dia kemudian menggosokkan debu batu ke seluruh kulitnya yang terbuka untuk menyamarkan kilau logam yang tersisa.
Dia mengenakan sisa pakaian Zhao yang robek untuk menutupi tubuh bagian atasnya.
Terakhir, dia memungut kepala Serigala Alpha yang tadi dia ikat di pinggangnya.
Liang Wu berjalan menuju gerbang keluar Labirin Batu.
Di luar sana, sorak-sorai penonton terdengar. Gong penanda akhir turnamen berbunyi.
Gerbang besi terbuka perlahan.
Cahaya matahari sore menyilaukan mata Liang Wu.
Dia melangkah keluar.
Ratusan pasang mata menatapnya. Mandor Besi, Tetua Sekte, dan para peserta lain yang selamat (hanya sekitar dua puluh orang yang lari ketakutan).
Liang Wu berjalan sendirian. Dia menyeret langkahnya, berpura-pura terluka parah dan kelelahan.
Dia berjalan menuju podium Tetua Sekte.
Di belakangnya, jejak darah menetes dari kepala serigala yang dia tenteng.
Dia sampai di depan podium. Dia melempar kepala Serigala Alpha itu ke kaki Tetua.
Bruk.
Kepala monster itu berguling, matanya masih melotot buas.
Hening.
Tetua Sekte berdiri. Matanya berbinar melihat kepala Alpha itu.
"Siapa namamu, Nak?" tanya Tetua itu.
Liang Wu berlutut dengan satu kaki, menundukkan kepalanya yang bercaping.
"Tie," jawabnya.
Mandor Besi di samping Tetua itu melongo. Dia melihat ke arah pintu labirin, mencari Zhao. Tidak ada tanda-tanda.
Mandor itu menatap Liang Wu dengan campuran rasa takut dan takjub. Anak buahnya mati, tapi 'anjing' petarungnya menang besar.
"Bagus," kata Tetua Sekte, tersenyum lebar. "Sangat bagus. Mulai hari ini, kau adalah Murid Dalam Sekte Besi Hitam. Dan kau... kau akan ikut aku ke Sekte Induk bulan depan."
Liang Wu menyeringai di balik bayangan topinya.
Pintu gerbang musuh telah terbuka lebar.
Alurnya stabil...
Variatif