Arumi menikah dengan pria yang tidak pernah memberikan cinta dan kasih sayang padanya, pria yang selalu merasa tak pernah cukup memiliki dirinya. Kesepian dan kesunyian adalah hal biasa bagi Arumi selama satu tahun pernikahannya.
Raka— suami Arumi itu hanya menganggap pernikahan mereka hanya sekedar formalitas semata dan bersifat sementara. Hal ini semakin membuat Arumi menjadi seorang istri yang kesepian dan tidak pernah bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Bukan Tak Pantas, Tapi Tak Diinginkan
Perjalanan menuju ke rumah orang tua Raka hanya diisi dengan keheningan, tak sedikit pun Raka memuji penampilan Arumi, padahal Arumi sudah berdandan semaksimal mungkin.
Mobil melaju dengan mulus di jalanan kota, jalanan kini dipenuhi dengan banyaknya lampu jalan yang membuat suasana terasa amat hidup. Sementara Arumi duduk tegak di kursi penumpang dengan kedua tangan saling menggenggam di pangkuannya.
Gaun yang dipilihkan Raka membalut tubuhnya dengan sempurna. Warnanya lembut dengan potongan yang anggun. Namun, Arumi tetap merasa seperti mengenakan pakaian pinjaman yang rapi, pantas, tapi bukan miliknya sendiri.
Rumah besar itu berdiri megah, jauh lebih hidup dibanding rumah mereka yang sunyi. Lampu-lampu menyala terang, beberapa pelayan terlihat berlalu-lalang. Begitu turun dari mobil, Arumi langsung merasa kecil.
Sangat kecil.
Seorang perempuan paruh baya menyambut mereka di depan pintu. Wajahnya cantik dengan riasannya yang sempurna, senyumnya terjaga dengan baik.
“Kamu Arumi?” tanyanya, menatap dari ujung kepala hingga kaki.
“Iya, Ma,” jawab Arumi dengan sopan sambil menunduk sedikit. Perempuan itu mengangguk singkat dan berkata tegas. “Masuklah.”
Tidak ada pelukan hangat, sambutan manja, atau keinginan untuk berkomentar mengenai kedatangan Arumi, semua terlihat seperti sebuah undangan formal biasa yang mana Arumi terlihat hanya seperti seorang tamu jauh.
Di ruang makan, Zafran sudah duduk di kursi utama. Tatapannya menyapu Arumi sekilas—tajam, penuh penilaian, lalu kembali pada Raka.
“Kalian terlambat,” ujar Zafran datar.
“Maaf, Pa. Tadi jalanan sedikit padat,” jawab Raka tenang.
Makan malam berlangsung dalam suasana yang canggung. Hidangan tersaji mewah, namun Arumi nyaris tak bisa menikmatinya. Tangannya gemetar halus saat memegang sendok.
“Kamu tidak bekerja?” tanya Shima— ibu Raka yang sangat tiba-tiba, suaranya lembut, tapi tajam.
Arumi tersenyum kecil. “Tidak, Ma. Aku hanya mengurus rumah saja.”
“Oh,” sahut perempuan itu, ia tersenyum tipis. “Pasti terbiasa hidup sederhana ya. Anak panti biasanya memang mandiri. Kemandirian yang sudah ada di dalam diri mereka sejak lama.”
Sendok Arumi berhenti di udara. Kalimat itu tidak diucapkan dengan nada menghina, Shima bahkan mengucapkan dengan kesan wajar dan sangat santai. Tetapi Arumi merasa kalau perkataan Shima barusan sedikit menyentil hatinya.
Raka tetap diam tanpa menyela sama sekali, dia bahkan tidak menunjukkan bahwa ia peduli terhadap istrinya sendiri.
Arumi menunduk, menelan ludahnya perlahan. “Iya, Ma. Kami memang sudah terbiasa mandiri sejak lama, bagaimana tidak, kami dibesarkan tanpa orang tua dan kami harus berdiri dengan kaki kami sendiri.” Arumi memberikan jawaban yang sedikit menohok, Shima terlihat tak suka.
Zafran menyela, “Raka tidak pernah membawamu ke acara bisnis. Apa kamu tidak suka keramaian?”
Sebelum Arumi sempat menjawab, Raka lebih dulu membuka suara. “Dia memang tidak nyaman di tempat seperti itu. Aku tidak ingin memaksanya. Aku sudah pernah bilang pada Papa, kan.”
Kalimat itu terdengar seperti pembelaan, tapi bagi Arumi, itu justru penegasan bahwa dirinya memang tidak pantas berada di dunia Raka. Raka sendiri sering pergi ke pesta bersama dengan sekretarisnya dan itupun tanpa seizin dari Arumi. Tak pernah sekali pun ia diajak oleh Raka ke mana pun.
“Oh begitu,” gumam Shima. “Sayang sekali. Istri rekan-rekan Papa Raka biasanya sangat aktif. Kita sebagai istri dari seorang pemilik perusahaan harusnya lebih membuka diri dan memperluas pertemanan. Tidak baik terlalu mengurung diri di rumah, kita ini manusia sosial, bukan katak dalam tempurung.”
“Aku bisa belajar untuk menerima keramaian, tapi sayangnya, kadang keramaian itu yang tidak mau menghampiriku atau lebih tepatnya, keramaian membatasi diri dariku,” jawab Arumi dengan senyuman yang kini terasa kaku di wajahnya.
Raka melirik tajam ke arah istrinya tapi tak diindahkan oleh Arumi. Jawaban dari Arumi cukup membuat Raka terpojok, Zafran sendiri langsung melirik putranya begitu pula dengan Shima.
Selama duduk di kursi tersebut, tak satu pun pertanyaan yang mengarah pada kesehatan, kebahagiaan, atau pun keadaannya saat ini. Semua pertanyaan dan pernyataan itu hanya berputar mengenai status dan pelengkap seorang istri bagi suaminya semata.
Saat makan malam usai, Arumi membantu membereskan piring— kebiasaan yang refleks ia lakukan sehari-hari. Namun seorang pelayan segera menghampiri.
“Tidak perlu, Nyonya,” katanya sopan. Arumi menarik tangannya kembali, tersenyum kikuk. Ia lupa. Di rumah ini, ia bukan pengurus.
“Mengurus piring kotor, menyiapkan makanan, mencuci pakaian, hingga membersihkan rumah adalah tugas dari seorang pelayan, Arumi. Bukan tugas dari seorang istri, terlebih istri dari keturunan Dewandaru.” Shima berujar sekaligus memberikan sebuah sindiran atas refleks yang dilakukan oleh Arumi tadi.
Dia melanjutkan kembali. “Atau kebiasaan ini kamu dapatkan dari panti asuhan, Rum?” Arumi tak menjawab, kalau dia tidak memikirkan perasaan Raka, dia akan menjawab bahwa kebiasaan itu adalah atas asuhan dari Raka sendiri.
...***...
Di perjalanan pulang, Raka menyetir dengan rahang mengeras.
“Kamu tahu tidak,” ucapnya tiba-tiba, suaranya rendah, “Papa dan Mama memperhatikan semua gerak-gerikmu.”
Arumi terdiam.
“Kamu terlalu kikuk. Jangan duduk seperti orang takut. Kamu bikin aku terlihat salah pilih istri. Kamu juga bikin aku terlihat seperti orang yang mengajarkan hal bodoh pada istri sendiri, jelas terlihat bahwa rumah tangga kita tidak baik-baik saja.” Kalimat itu menghantam lebih keras daripada bentakan bagi Arumi.
Apakah mengerjakan pekerjaan rumah itu adalah hal bodoh? Apa melakukan hal kecil di dalam rumah adalah hal bodoh? Kenapa Raka tega sekali berkata demikian?
“Aku sudah berusaha menjadi yang terbaik,” jawab Arumi lirih.
“Berusaha saja tidak cukup,” potong Raka. “Kalau tidak bisa membawa diri, setidaknya jangan mempermalukanku. Sial sekali aku, ini alasan kenapa aku tidak pernah menunjukkanmu pada publik. Kau sangat bodoh dan tidak mengerti apapun, Arumi. Tak ada yang mumpuni yang bisa kau lakukan, bahkan dalam memuaskan aku di ranjang pun kau tidak pernah bisa.”
Arumi tidak lagi menjawab, semakin dia mendebat Raka, maka semakin salah dirinya di depan suami sendiri. Bagi Raka, Arumi tidaklah layak untuk ada di sampingnya.
Lampu jalan memantul di kaca jendela. Arumi menatap bayangannya sendiri, duduk di dalam mobil mewah tak serta merta memegahkan hatinya yang kian hari kian terluka.
Memalukan? Apa iya aku ini sangat memalukan? Setidak pantas itu diriku untuknya, tapi aku merasa bukan tidak pantas, tapi aku ini sedari awal tidak pernah diinginkan. Batin Arumi dengan genangan air mata yang terus dia tahan.
Sesampainya di rumah, Arumi memasuki kamar terlebih dahulu dan segera membersihkan diri lalu mengganti pakaiannya. Gaun itu terasa berat di tubuhnya terlebih setelah apa yang sudah dia dapatkan dari rumah mertuanya sendiri.
Mereka mengundang makan malam bukan untuk menerima dirinya sebagai menantu, melainkan untuk melihat gerak-geriknya saja lalu melakukan penilaian serta memastikan tidak pernah ada cinta di hati Raka untuknya.
“Aku masih memiliki titik jenuh, tapi belum sampai ditahap itu. Sabar Arumi.” Ia bergumam pelan sembari mengurut dada.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
sama-sama kagak gunaaa/Hammer//Joyful/
istri sah : Ngabisin duit suami
pelakor : ngabisin duit buat ngabisin nyawa istri sah/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
pelakor sakit hati : cari pembunuh bayaran 🤣🤣 gak ada harga dirinya lu Dir