Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: KEJATUHAN MALAIKAT, BANGKITNYA IBLIS SURGAWI
Langit di atas Puncak Gunung Hua tidak hanya mendung; ia menghitam pekat seolah sedang berkabung. Awan kelabu bergulung tebal, meratap, memeluk puncak dingin tempat sebuah tragedi besar akan segera terjadi.
Di tengah altar batu yang dingin, Guang Lian berdiri setengah berlutut. Jubah putih kebesarannya—lambang kesucian Fraksi Ortodoks—kini hanya tinggal kain compang-camping yang berkibar menyedihkan, ditampar angin malam yang menusuk tulang. Putih itu telah tiada, berganti merah pekat oleh darahnya sendiri.
Tiga pedang baja dan satu tombak emas menancap di punggungnya, menembus hingga ke perut.
Pria itu terengah. Rambut panjangnya kusut masai menutupi wajah yang penuh luka sayatan. Setiap tarikan napas terasa seperti menelan bara api.
Pandangan Guang Lian berkunang-kunang. Di sekelilingnya, puluhan pasang mata menatap tanpa belas kasihan. Mayat-mayat prajurit berserakan di sekitar altar, darah kental mereka menggenangi lantai marmer putih, menciptakan aroma amis yang memualkan.
"Ugh..."
Guang Lian tersentak hebat. Darah hitam pekat menyembur dari mulutnya, memercik ke lantai batu. Kulit dadanya mulai membiru, racun itu menjalar cepat naik ke lehernya bagaikan akar tanaman liar. Tubuhnya bergetar tak terkendali.
"Racun... kenapa kalian..." Suara Guang Lian tercekat, serak dan basah oleh darah. Ia mendongak, menatap wajah-wajah di hadapannya dengan sorot mata tak percaya.
Wajah-wajah itu... ia mengenal mereka semua. Senyum yang dulu hangat, sapaan yang dulu ramah. Merekalah orang-orang yang dulu memujanya, menyebutnya sebagai 'Malaikat Fraksi Ortodoks', harapan masa depan dunia persilatan.
Namun sekarang, mereka berdiri mengelilinginya seperti sekumpulan serigala lapar. Niat membunuh yang mereka pancarkan begitu pekat dan dingin.
"Racun Kalajengking Lima Warna. Itu racun paling mematikan di seluruh Jianghu. Namun, dia masih sanggup bertahan dan membunuh puluhan orang..." bisik seorang prajurit di barisan tengah. Matanya tidak memancarkan kekaguman, melainkan ketakutan murni. Zirah di pundaknya hancur, darah menetes dari balik pelat baja itu.
"Demi keutuhan Ortodoks, kau harus mati, Guang Lian."
Seorang pria tua melangkah maju. Rambut putihnya disanggul rapi dengan tusuk konde giok, janggutnya memanjang hingga dada. Guang Zhi. Ia mengelus janggutnya perlahan, memancarkan aura bijak yang sangat kontras dengan kekejaman di matanya.
"Kenapa, Ayah?!" Teriak Guang Lian. Suaranya parau, dipenuhi kemarahan yang meledak-ledak. "Aku hanya mengungkap kecurangan! Salahkah jika aku ingin Fraksi ini benar-benar suci seperti yang kalian agung-agungkan?!"
Tujuh orang di barisan depan—para Tetua berjubah Hanfu sutra—seketika menunduk. Wajah mereka mengeras, memerah karena campuran rasa malu dan keangkuhan yang terusik.
"Kalian... para Tetua sialan... kalian benar-benar munafik!" Guang Lian meludah, menatap mereka dengan tatapan jijik.
'Anak ini... dia terlalu bersih. Terlalu jujur. Terlalu kuat,' batin salah satu Tetua berbadan besar dengan bekas luka di pipi. 'Dan yang paling menakutkan—dia tidak bisa dikendalikan.'
"Guang Lian…"
Sebuah suara berat, namun halus, menggema dari belakang kerumunan. Barisan prajurit membelah diri. Langkah kaki terdengar mantap namun ringan.
Seorang pemuda muncul. Ia mengenakan Hanfu klan yang sama, namun emblem perak berukir burung merak di dada kirinya berkilau tertimpa kilat. Sebuah pedang panjang tersarung indah di punggungnya.
Mata Guang Lian melebar. "Guang Wei…?" bisiknya lirih. "Jangan bilang… kau juga?"
Pemuda itu, kakaknya, tersenyum tipis. Senyum yang penuh penyesalan palsu.
"Maafkan aku, Adik. Tapi jalan kebenaran yang kau tempuh... terlalu terjal. Itu akan menghancurkan semuanya. Ayah... Fraksi... bahkan keseimbangan dunia Ortodoks." Guang Wei menggeleng pelan.
Guang Lian tertawa getir, darah kembali merembes dari sudut bibirnya. "Jadi, kau lebih memilih berdiri bersama para pengkhianat ini daripada berdiri bersama Kebenaran Sejati?"
Guang Wei mendekat. Hujan mulai turun rintik-rintik, membasahi altar batu dan menyamarkan air mata yang mungkin tak sempat jatuh. Guntur menggelegar, seakan langit memberi restu pada pengkhianatan keji ini.
"Kebenaran itu bisa diatur, adik kecil." Guang Wei membungkuk, membisikkan kalimat itu tepat di telinga adiknya. Dingin. Mencekam.
Guang Lian mendongak menatap langit kelabu. Harapannya hancur. Keyakinannya runtuh.
Ia tertawa. Tawa yang histeris, memilukan, dan gila.
"Baik... BAIK!" Teriaknya membelah hujan. "Jika kalian tidak suka malaikat yang lurus, aku akan menjadi iblis yang kejam!"
Ia terbatuk hebat, memuntahkan gumpalan darah. Nyawanya sudah di ujung tanduk, namun matanya—mata itu membara dengan api dendam yang takkan padam oleh kematian.
"Bahkan di kehidupanku selanjutnya, aku bersumpah... AKU AKAN MEMBUNUH KALIAN SEMUA!"
JDAAR!
Kilat menyambar tepat saat kalimat itu selesai.
Dan dalam kilatan cahaya itu, sebuah pedang menebas dari belakang. Cepat. Tanpa suara.
Srak!
"Khugh—!"
Pedang itu terasa dingin. Masuk begitu dalam, memutus leher dengan presisi yang mengerikan.
Pandangan Guang Lian berputar. Dunia terbalik.
"Kau tidak harus mengotori tanganmu sendiri, Tuan Muda Wei..."
"Aku tidak tahan mendengar ocehannya."
Suara itu terdengar menjauh.
Pandangan Guang Lian jatuh ke lantai, dan hal terakhir yang ia lihat adalah... tubuhnya sendiri. Masih berlutut, tertahan oleh tombak, namun... tanpa kepala.
Darah menyembur deras dari leher yang putus, membasahi jubah putih yang kini sepenuhnya merah.
'Ah... jadi begini rasanya mati?'
Gelap.
Dingin.
Sunyi.
Dunia fana menjauh. Suara-suara memudar. Kegelapan abadi menyambutnya dengan tangan terbuka.
Namun… sesuatu dalam jiwanya menolak untuk padam. Kebencian itu terlalu kuat untuk diredam oleh neraka sekalipun.
Hening.
Sakit itu perlahan menghilang.
Sedetik kemudian, atau mungkin seribu tahun kemudian, ia membuka mata.
Cahaya kuning remang-remang menusuk retina. Ia mengerjapkan mata, mencoba memfokuskan pandangan.
Bau apek menyeruak masuk ke hidung. Bau tanah basah, debu, dan... anyir darah kering.
"Ini... di mana?" gumamnya lirih. Suaranya terdengar asing di telinganya sendiri.
Ia mencoba bangun. Kepalanya terasa berat, seolah baru saja dipukul gada besi. Ia duduk, memegangi keningnya.
Sebuah ruangan sempit yang lusuh. Dinding kayu lapuk berlubang di sana-sini. Di lantai, ia duduk di tengah sebuah lingkaran ritual aneh berwarna merah tua—darah kering. Ada bangkai kucing hitam di sudut ruangan.
'Ritual terlarang?' batinnya.
Namun yang lebih mengejutkan adalah saat ia melihat tangannya.
"Apa ini?"
Tangan itu kecil. Kurus. Kulitnya kusam dan penuh memar. Tidak ada kapalan tebal akibat latihan pedang puluhan tahun. Tidak ada bekas luka pertempuran.
Ia meraba dadanya. Lubang tombak itu hilang. Rasa sakit racun itu lenyap.
Guang Lian membelalak. Ia menunduk, melihat tubuh yang ia tempati. Tubuh seorang remaja kurus kering, bertelanjang dada, dengan tulang rusuk yang menonjol.
'Tubuh ini lemah sekali... Aku bahkan tidak merasakan sisa Qi sedikitpun!'
Tapi, jantung di dalam dada kurus itu berdetak. Dug-dug. Dug-dug.
"Aku... tidak mati?"
Ingatan terakhirnya kembali menghantam. Pengkhianatan. Racun. Leher yang ditebas oleh kakaknya sendiri.
Rahang bocah itu mengeras. Urat-urat di leher kurusnya menegang. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.
"Guang Wei... Ayah... Para Tetua... Bajingan keparat!"
Tiba-tiba, rasa sakit yang luar biasa meledak di kepalanya.
"ARGH!"
Ia jatuh terguling, memegangi kepalanya yang serasa mau pecah.
Gelombang memori asing membanjiri otaknya secara paksa.
Seorang wanita cantik menatapnya dengan sedih... Pria gagah yang membuang muka... Tawaan... Hinaan... "Anak haram!"... Pukulan... Tendangan... Buku tua di bawah lantai kayu... Lilin merah dan keputusasaan...
Fragmen ingatan itu berputar cepat, menyatu dengan jiwanya.
Bocah ini bernama Mo Long. Seorang sampah klan yang tidak bisa berkultivasi. Seorang anak buangan yang mencoba melakukan ritual sesat karena putus asa ingin memiliki kekuatan, namun jiwanya justru hancur dan digantikan oleh Guang Lian.
"Mo Long..." bisiknya, napasnya memburu. "Jadi nama tubuh ini adalah Mo Long."
DOK! DOK! DOK!
Suara gedoran kasar di pintu kayu membuyarkan lamunannya.
"Mo Long! Keluar kau, Sampah!"
"Cepat buka atau kami hancurkan pintu ini!"
Suara-suara cempreng yang menyebalkan. Ingatan Mo Long memberi tahunya siapa mereka.
'Ah, tiga curut yang selalu menyiksa anak ini,' batin Guang Lian.
Matanya yang dulu jernih dan penuh wibawa, kini perlahan berubah. Sudut bibirnya terangkat, membentuk seringai yang tak pernah dimiliki oleh Guang Lian sang Malaikat, maupun Mo Long si Pecundang.
Seringai itu dingin. Kejam.
'Baiklah. Guang Lian sudah mati. Nama itu telah kubawa ke liang kubur. Sekarang... aku adalah Mo Long!'
BRAK!
Pintu kayu tua itu jebol.
Seorang bocah gempal berwajah beringas masuk dengan langkah lebar. Di belakangnya, dua pengikut setianya mengekor—satu kurus tinggi dengan mata licik, satu lagi pendek dengan wajah datar.
Mo Fei, Mo Shou, dan Mo Hu.
"Hei, Bisu! Apa-apaan tatapanmu itu, hah?!" Mo Fei si gempal langsung maju, menjambak rambut panjang Mo Long yang berantakan.
PLAK!
Tangan besarnya menampar pipi Mo Long dengan keras.
Kepala Mo Long tersentak ke samping. Rasa perih menjalar, tapi ia tidak berteriak. Ia justru menoleh kembali, menatap mata Mo Fei dengan tatapan kosong namun menusuk.
Mo Fei terkejut sesaat. Biasanya bocah ini akan menangis dan bersujud.
"Kau berani menatapku?!"
PLAK! PLAK!
Dua tamparan lagi mendarat. Sudut bibir Mo Long robek, darah segar mengalir.
Namun, Mo Long justru terkekeh. Ia meludah, membuang darah dari mulutnya.
"Hei, Babi Gendut," ucap Mo Long pelan, suaranya tenang namun mengintimidasi. "Pukulanmu lemah sekali. Apa kau belum makan?"
Hening.
Ketiga penindas itu ternganga.
"D-dia sudah gila..." Mo Shou, si kurus berkuncir kuda, bergumam. "Kak Fei, habisi saja dia."
Mo Hu, yang paling pendek, berjalan memutari ruangan dan memungut sebuah buku tua yang tergeletak di dekat lingkaran ritual.
"Rupanya ini yang membuatnya berani," Mo Hu menyeringai, mengangkat buku itu. "Teknik Kultivasi Ekstrem? Hei, Sampah, dari mana kau dapat buku rongsokan ini?"
"Kultivasi? Kau pikir dengan buku jelek ini kau bisa jadi kuat?" Mo Fei tertawa mengejek. Ia mengepalkan tangannya. Lapisan tipis energi hitam—Qi tingkat rendah—menyelimuti tinjunya. "Coba tahan ini!"
Mo Fei mengayunkan tinjunya ke arah wajah Mo Long.
Bagi Mo Long yang asli, pukulan ini tak terlihat. Tapi bagi jiwa Guang Lian, gerakan itu lambat seperti siput.
Sret.
Mo Long menggeser kepalanya sedikit ke kiri. Pukulan Mo Fei menghantam angin.
Sebelum Mo Fei sadar apa yang terjadi, Mo Long maju satu langkah. Siku kanannya melesat cepat, menghantam ulu hati si bocah gempal.
BUK!
"Hukh—!" Mata Mo Fei melotot, napasnya berhenti seketika.
Mo Long tidak berhenti. Ia memutar tubuh, telapak tangannya menghantam dagu Mo Fei dari bawah, lalu disusul tendangan memutar yang memanfaatkan momentum.
DUAGH!
Tubuh besar Mo Fei terangkat, lalu terhempas ke belakang, menabrak sisa pintu kayu hingga hancur berantakan.
"KAK FEI!"
Mo Shou dan Mo Hu terbelalak. Waktu seakan berhenti. Bagaimana mungkin si sampah Mo Long bisa melakukan gerakan secepat itu?
"Sialan kau!" Mo Shou bereaksi duluan. Kakinya yang dilapisi Qi hitam melesat, mengincar kepala Mo Long.
Mo Long tidak panik. Meski tubuh ini lemah tanpa Qi, teknik bela dirinya sudah mendarah daging selama puluhan tahun.
Ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang, menghindari tendangan maut itu, lalu menggunakan tangannya sebagai tumpuan untuk menyapu kaki tumpuan Mo Shou.
Krak!
"ARGH!"
Mo Shou jatuh berdebum. Belum sempat ia bangkit, tumit Mo Long sudah mendarat keras tepat di tulang keringnya.
"AAAAKH! KAKIKU!" Mo Shou berguling-guling memegangi kakinya yang patah.
Kini tinggal Mo Hu.
Bocah pendek itu berdiri mematung, memegang buku curiannya dengan tangan gemetar. Keringat dingin mengucur di pelipisnya. "Mo... Mo Long? Bagaimana bisa kau..."
Di mata Mo Long, wajah Mo Hu yang ketakutan perlahan berubah menjadi wajah Guang Wei—kakak pengkhianatnya.
Api amarah di dada Mo Long berkobar.
"Hei..." Mo Hu mundur selangkah demi selangkah. "Ki-kita sudahi saja, ya? Aku janji tidak akan mengganggumu lagi. Aku kembalikan bukumu..."
Mo Long maju perlahan. Aura membunuh yang ia keluarkan bukanlah aura seorang bocah remaja, melainkan aura seorang veteran perang yang telah membantai ribuan iblis.
"Setelah apa yang kalian lakukan padaku... kau pikir kata 'maaf' bisa menyelamatkan nyawamu?"
"JANGAN MENDEKAT!" Mo Hu melempar buku itu dan mencoba lari.
Terlambat.
Tangan Mo Long mencengkeram kerah baju Mo Hu, menariknya kembali, dan mengirimkan satu pukulan keras ke perut.
BUGH!
Mo Hu jatuh berlutut, memuntahkan isi perutnya.
"Kau..." Mo Long menjambak rambut Mo Hu, memaksanya mendongak.
BUK! BUK! BUK!
Tanpa ampun, tinju Mo Long menghantam wajah itu berulang kali. Hidung patah. Gigi rontok. Wajah itu tak lagi berbentuk.
"Ampun... tolong..."
Rintihan lemah itu akhirnya menyadarkan Mo Long. Bayangan wajah Guang Wei menghilang, digantikan wajah babak belur bocah ingusan.
Mo Long melepaskan cengkeramannya. Mo Hu jatuh terkapar, pingsan di samping dua temannya yang sudah tidak bergerak.
Napas Mo Long memburu. Tangan kurusnya gemetar, buku-buku jarinya lecet dan berdarah.
"Ini... nyata."
Ia melihat ketiga tubuh yang tak berdaya itu, lalu beralih menatap tangannya sendiri yang berlumuran darah.
Ia berjalan memungut buku 'Teknik Kultivasi Ekstrem' yang tadi dibuang. Ia membersihkan debunya, lalu menyelipkannya ke balik celana.
Langkah kakinya gontai namun pasti, keluar dari gubuk reyot itu menuju lorong sempit yang gelap.
"Heh... hehehe..."
Tawa kecil keluar dari bibirnya. Tawa itu makin lama makin keras, menggema di lorong batu yang dingin.
"Aku terlahir kembali!"
Mo Long tertawa lepas. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa Iblis yang baru saja lepas dari segel neraka.
"Jika Surga menolak Malaikat yang baik hati... maka lihatlah! Aku akan menjadi Iblis yang akan menginjak-injak Surga!"
Di ujung lorong, cahaya matahari pagi menerobos masuk. Mo Long menyipitkan mata, menatap dunia baru yang membentang di hadapannya.
Tidak ada lagi Guang Lian yang welas asih. Yang ada kini hanyalah Mo Long, sang Iblis pendendam.
"Tunggu aku, saudaraku... Akan kubawa neraka ini ke hadapanmu!"
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁