NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 1: Aroma Senja dan Pedang yang Tumpul

Senja menurun perlahan di atas lembah yang sunyi. Cahaya terakhir matahari menembus celah dedaunan bambu, menciptakan semburat keemasan di antara kabut tipis yang menggantung di atas tanah basah.

Di lembah itu berdiri Desa Hijau, tempat yang terlindung oleh pegunungan tua dan rimbun pepohonan yang seakan enggan membiarkan dunia luar menyentuhnya. Sungai Jernih mengalir lembut di sisi timur desa,

suaranya menyerupai bisikan waktu yang tak pernah berhenti. Bau tanah basah bercampur dengan aroma kayu bakar dari tungku-tungku kecil di setiap rumah, melahirkan rasa damai yang hampir terlalu sempurna untuk menjadi nyata.

Desa Hijau adalah sebuah gelembung kristal, tenang dan rapuh. Dunia kultivasi yang keras dan penuh darah seolah enggan menoleh ke tempat di mana Energi Samawi hanya berdesir tipis, terlalu lembut untuk menumbuhkan ambisi.

Penduduknya hidup sederhana, menanam, menenun, menempa, dan berdoa pada langit yang jarang menjawab. Mereka percaya kedamaian adalah anugerah, padahal dunia hanya sedang menahan napas sebelum badai.

Di sudut desa itu, seorang pemuda tengah duduk di depan gubuk kecil yang dindingnya terbuat dari bambu tua. Di tangannya tergenggam sebuah arit, dan di pangkuannya sebatang batu asah yang sudah aus. Liang Chen menggerakkan arit itu dengan gerakan berulang,

lambat dan penuh kesabaran. Suara gesekan logam

di atas batu berbaur dengan desir angin senja, menghasilkan ritme yang menenangkan. Setiap gerakan tangannya terukur, seolah dunia di sekelilingnya mengikuti tempo napasnya.

Ia tidak mengasah pedang, melainkan alat tani. Namun di mata yang bening itu tersimpan fokus yang jarang dimiliki anak berusia lima belas tahun. Dalam kilatan matanya ada keteguhan yang seolah lebih tua daripada tubuh mudanya.

Saat bilah arit itu memantulkan cahaya jingga matahari, tampak seolah sinar senja menari di permukaannya, namun di dasar pantulan itu, ada bayangan kelam yang nyaris tak terlihat.

Seekor ayam berlari kecil di dekat kakinya, mematuk tanah mencari sisa biji-bijian. Liang Chen tersenyum kecil, berhenti sejenak, lalu menabur segenggam beras di tanah. “Makanlah, kalian lebih rajin daripada sebagian manusia di luar sana,” gumamnya.

Ucapannya sederhana, tapi ada kelembutan yang tak dibuat-buat. Ia hidup di dunia kecil ini dengan hati yang lapang, tak tahu bahwa langit sedang menulis nasibnya dengan tinta darah.

Dari dalam rumah, suara ibunya memanggil lembut. “Chen’er, cuci tanganmu. Ayahmu sudah pulang.”

Ia berdiri, menepuk-nepuk bajunya yang berdebu, lalu masuk ke dalam. Rumah itu hangat, beraroma sup sayur dan asap kayu. Di tengah ruangan,

ayahnya duduk sambil membersihkan keringat di dahi. Pria itu bertubuh kekar, kulitnya legam oleh matahari, matanya ramah namun menyimpan sisa kerasnya kehidupan.

“Bagaimana ladang hari ini?” tanya Liang Chen sambil menuangkan air ke cawan tanah liat.

“Tanahnya keras, tapi hujan beberapa hari lagi akan     melunakkannya,” 

jawab sang ayah sambil tertawa kecil. “Kau tahu, aku mendengar kabar dari pedagang keliling. Di kota timur, Klan Lei telah memamerkan teknik petir mereka di depan para tetua Sekte Pedang Murni. Katanya, cahaya petir itu bisa membelah gunung.”

Liang Chen menatap ayahnya dengan mata berbinar. “Mereka sungguh bisa melakukan itu?”

“Sungguh,” jawab ayahnya, setengah berbisik seperti menceritakan legenda.

“Namun untuk mencapai tingkat itu, seseorang harus membuka seratus meridian dan menaklukkan badai dalam dirinya. Dunia para kultivator bukan untuk kita, anakku. Kita hanya pengrajin dan petani.”

Ibunya tersenyum lembut sambil meletakkan mangkuk di atas meja. “Biarkan anakmu bermimpi, suamiku. Bukankah setiap api besar bermula dari bara kecil?”

Ayahnya tertawa, nada suaranya bergema hangat di ruangan bambu. “Kau benar juga. Tapi aku lebih suka bara itu tidak membakar rumah kita.”

Liang Chen ikut tertawa, namun matanya masih terpaku pada jendela di mana cahaya senja merembes perlahan. Di balik langit yang lembut itu, ia membayangkan kota megah, sekte-sekte agung, dan orang-orang yang berjalan di atas awan.

Dalam hatinya ada keinginan kecil, sederhana tapi murni: melihat dunia yang lebih luas, dunia yang selama ini hanya hidup di kisah ayahnya.

Ketika mereka makan malam, ibunya memperhatikannya dengan penuh kasih. “Chen’er, matamu itu… kadang seperti menatap sesuatu yang tidak kita lihat. Seolah-olah menembus kabut.”

Ayahnya menimpali sambil tersenyum.

“Anak ini memang punya mata tajam. Mungkin ia bisa melihat apa yang tersembunyi dari orang lain.”

Mereka tertawa ringan, tidak menyadari bahwa di balik kata-kata sederhana itu tersembunyi takdir kelam yang sedang berputar perlahan menuju Liang Chen.

Malam itu turun perlahan, meninggalkan langit berwarna ungu tua. Di kejauhan, suara seruling kayu terdengar dari rumah tetangga,

mengalun lembut. Desa Hijau bersiap tidur dalam ketenangan yang telah menjadi kebiasaannya selama puluhan tahun. Namun ketenangan, seperti segala hal di dunia ini, selalu menipu.

Ketika fajar berikutnya datang, tiga sosok asing berjalan menyusuri jalan tanah menuju desa. Mereka mengenakan pakaian hitam dengan lambang kecil berbentuk naga di dada kiri.

Langkah mereka lambat namun pasti, mata mereka menatap setiap rumah dengan sikap congkak. Penduduk desa yang melihat segera menunduk dan bergegas menjauh.

Liang Chen yang sedang membantu ayahnya di bengkel kecil menatap mereka dengan rasa ingin tahu. “Siapa mereka, Ayah?”

Ayahnya menghela napas. “Orang-orang dari cabang sekte lokal. Mereka datang menagih upeti lagi.”

“Upeti?”

“Batu spiritual murahan, hasil panen, apa pun yang mereka mau. Katanya untuk perlindungan, tapi aku tidak pernah melihat mereka melindungi siapa pun.”

Tiga orang itu berhenti di tengah desa. Pemimpinnya, seorang pria bertubuh tinggi dengan luka di pipi, berbicara dengan suara keras.

“Penduduk Desa Hijau, saatnya kalian membayar rasa terima kasih pada sekte yang menjaga wilayah ini. Serahkan batu spiritual dan hasil panen tambahan, atau jangan salahkan kami bila energi langit menjauh dari desa kalian.”

Orang-orang desa berbisik ketakutan. Seorang wanita tua mencoba menjelaskan bahwa panen tahun ini sedikit, tapi salah satu preman menepisnya kasar hingga ia terjatuh.

Liang Chen refleks bergerak, namun ayahnya menahan lengannya. “Jangan, Chen’er. Mereka bukan orang yang bisa kau lawan.”

Namun ketika preman itu menendang ember air dan menertawakan tangisan anak kecil, Liang Chen tak lagi mendengar kata ayahnya. Ia melangkah maju, tubuhnya menegang.

“Cukup,”ucapnya dengan suara bergetar namun tegas.

Ketiga preman itu menoleh, menatap anak muda kurus dengan pakaian lusuh. “Apa katamu?”

Liang Chen menatap lurus pada mereka. “Ini desa kami. Kalian tidak berhak mempermalukan orang di sini.”

Tawa kasar menggema. Pemimpin mereka mendekat, menepuk bahunya keras hingga Liang Chen terhuyung. “Kau ini apa? Anak petani tanpa meridian yang berani menentang kultivator?”

Liang Chen menggenggam tangan. “Aku tidak peduli siapa kalian. Pergilah.”

Suara tawa berhenti seketika. Pemimpin itu mengangkat tangannya, energi samar berwarna biru kehijauan berkilat di sekelilingnya. Batu di tanah bergetar,

lalu melayang dan menghantam dada Liang Chen dengan kekuatan yang tak mampu ia lawan. Tubuhnya terlempar jatuh ke tanah, napasnya terhenti sejenak. Nyeri membakar dadanya, tapi lebih perih dari luka fisik adalah rasa tak berdaya yang mencengkeram hatinya.

Ia mencoba bangkit, namun lututnya gemetar. Di sudut matanya, ia melihat wanita tua tadi menangis di tanah. Preman-preman itu tertawa puas. “Hanya sampah tanpa meridian yang berani melawan kami. Tunggu saja, suatu hari kau akan mati di desa kotor ini.”

Sebelum mereka pergi, ayah Liang Chen datang dan menunduk rendah sambil menyerahkan kantong kecil berisi dua batu spiritual. “Maafkan anak saya. Ia masih muda.”

Pemimpin itu menatap dengan senyum menghina, lalu meraih kantong itu dan meludah di tanah. “Didik anakmu, pandai besi. Dunia ini tidak punya tempat untuk orang bodoh yang bermimpi di bawah

lumpur.”

Mereka tertawa dan meninggalkan desa dengan langkah berat, meninggalkan udara yang seolah membeku.

Ayahnya berlutut di samping Liang Chen. “Kau baik-baik saja?”

Liang Chen mengangguk pelan, menahan nyeri di dadanya. “Ayah, mereka memperlakukan kita seperti hewan.”

Sang ayah menatap langit yang mulai kelabu. “Kadang, bertahan hidup lebih penting daripada

melawan.”

“Tapi apa gunanya hidup jika harus diam?”

Ayahnya terdiam lama, lalu menepuk bahunya. “Kau akan mengerti suatu hari nanti.”

Malam tiba lebih cepat dari biasanya, seolah langit pun enggan melihat apa yang telah terjadi. Liang Chen duduk sendirian di tepi Sungai Jernih. Air mengalir tenang di bawah cahaya bulan,

tapi di matanya yang redup, ketenangan itu terasa seperti ejekan. Ia menggenggam batu kecil dan melemparkannya ke sungai. Riaknya memantulkan wajahnya yang masih muda, namun di balik pantulan itu, ada sesuatu yang lain.

Tangannya bergetar, bukan karena takut, melainkan amarah yang ia tak tahu harus ke mana diarahkan. Ia menatap langit malam, di mana bintang-bintang berkilau jauh dan dingin. Cahaya mereka indah, tapi tak satu pun turun untuk menolong dunia di bawah. Dalam diam, ia berbisik pada dirinya sendiri.

“Aku akan menjadi kuat. Aku akan melindungi mereka. Tidak akan ada yang menindas Desa Hijau lagi.”

Suara angin menjawab lirih, membawa daun-daun gugur menari di sekitar tubuhnya. Cahaya bulan menyentuh wajahnya, lembut namun mengandung makna yang tak disadarinya.

Di bawah kulit mudanya, di urat nadinya yang tenang, sesuatu bergetar samar. Sebuah percikan kecil, hitam dan merah, seperti bara di bawah abu. Ia tidak melihatnya, tidak merasakannya, tapi langit melihat.

Di ketinggian, awan tipis bergerak perlahan menutupi bintang-bintang. Cahaya di Desa Hijau masih bersinar, namun di balik sinar itu, bayangan mulai tumbuh, menunggu saatnya untuk menelan cahaya itu bulat-bulat.

Liang Chen belum tahu bahwa sumpah malam itu akan menggema sepanjang hidupnya. Kekuatan yang ia dambakan tidak hanya akan melindungi cahayanya, tetapi juga mengancam untuk memadamkannya selamanya.

------------------------------------------------------------------------

...Tingkatan Kultivasi ...

...1. Pembukaan Meridian...

...2. Pondasi Besi...

...3. Inti Berputar...

...4. Lapisan Jiwa...

...5. Transformasi Ruh...

...6. Raja Langit...

...7. Sovereign Abadi...

...8. Maharaja Langit...

...9. Kaisar Langit...

...10. Penerbangan & Transcendensi...

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!