NovelToon NovelToon
Dinikahi Sang Duda Kaya

Dinikahi Sang Duda Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Duda / Nikah Kontrak / Berbaikan
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.

​Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.

​"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.

​Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.

​Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 9: Perang Dingin di Meja Makan

​"Ini apa? Makanan burung?"

​Gavin menunjuk kotak makan bento kayu susun tiga yang baru saja dibuka Kiana di atas meja makan. Isinya memang terlihat 'sedih' bagi mata orang awam yang lapar: tiga potong asparagus rebus, seiris salmon panggang tanpa minyak, dan dua sendok nasi merah organik.

​Kiana tidak langsung menjawab. Dia sibuk menata serbet di pangkuannya, lalu mengambil sebotol kecil olive oil truffle dari tasnya dan menuangkannya sedikit ke atas salmon.

​"Ini namanya investasi tubuh, Pak Gavin," jawab Kiana tenang, lalu melirik piring Gavin dengan tatapan mencemooh. "Bukan seperti... itu."

​Di piring Gavin, tergeletak dua lembar roti tawar putih dengan olesan selai kacang yang tidak rata. Di sampingnya, segelas kopi hitam pekat mengepul. Sarapan yang menyedihkan untuk seorang konglomerat logistik.

​"Roti ini praktis. Kenyangnya sama, gizinya cukup buat saya mikir sampai siang," bela Gavin sambil menggigit rotinya kasar.

​"Gizi dari mana? Itu cuma tepung dan gula. Pantas kamu sering uring-uringan, gula darahmu pasti swing kayak yoyo," cibir Kiana. Dia menyuap asparagusnya dengan anggun. "Saya pesan katering ini khusus dari ahli gizi langganan artis. Harganya per porsi bisa buat bayar listrik rumah subsidi sebulan. Kamu mau?"

​"Nggak. Makasih. Saya nggak suka makan dedaunan yang rasanya kayak rumput direbus," tolak Gavin mentah-mentah.

​Suasana meja makan itu terasa seperti medan perang dingin. Meja makan marmer hitam yang sangat panjang itu memisahkan mereka. Gavin duduk di ujung utara, Kiana di ujung selatan. Di antara mereka terbentang hamparan meja kosong yang dingin.

​"Ngomong-ngomong soal 'investasi'," Gavin meletakkan rotinya, wajahnya berubah serius. "Saya lihat tumpukan kardus sepatu kamu masih menggunung di ruang tamu. Kapan mau dibereskan? Rumah ini punya aturan estetika, Kiana. Saya nggak mau tamu saya masuk dan merasa kayak lagi di gudang Tanah Abang."

​Kiana meletakkan sendoknya. Denting halus terdengar.

​"Estetika?" Kiana tertawa kecil, tawa yang meremehkan. "Rumah ini nggak punya estetika, Gavin. Rumah ini punya depresi. Tembok abu-abu, lantai hitam, perabot besi. Kamu mau buka krematorium atau tempat tinggal?"

​"Ini minimalis!" sergah Gavin.

​"Ini kaku!" balas Kiana tak mau kalah. "Rumah itu harusnya nyaman. Ada bantal empuk, ada warna selain hitam-putih-abu. Kursi makan kamu ini..." Kiana menepuk sandaran kursinya yang terbuat dari besi tempa. "...kerasnya minta ampun. Tulang punggung saya bisa encok kalau duduk di sini lama-lama. Sore ini saya bakal pesan sofa baru buat ruang tengah. Yang warna kuning mustard."

​Mata Gavin membelalak. "Kuning? Jangan berani-berani kamu masukkan warna norak itu ke rumah saya!"

​"Rumah kita, Gavin. Sesuai kontrak, saya punya hak pakai fasilitas. Termasuk hak visual," Kiana mengedipkan sebelah matanya jahil. "Kalau kamu nggak suka, kamu bisa pakai kacamata hitam di dalam rumah."

​Belum sempat Gavin membalas dengan semburan amarah, suara langkah kaki kecil yang diseret terdengar mendekat.

​Alea muncul di ruang makan. Wajahnya kusut, rambutnya acak-acakan, dan seragam sekolahnya terlihat kedodoran. Dia tidak menyapa siapapunl. Dia langsung menarik kursi di samping Gavin dengan kasar hingga berdecit nyaring di lantai.

​Sreett!

​Gavin menghela napas, mencoba menekan emosinya. Dia beralih mode dari 'rival bisnis' menjadi 'ayah'.

​"Pagi, Alea," sapa Gavin kaku. "Ayo sarapan. Bi Inah sudah buatkan nasi goreng kesukaan kamu."

​Bi Inah yang berdiri di pojok segera menyajikan piring berisi nasi goreng sosis dengan telur mata sapi setengah matang. Asapnya mengepul sedap.

​Alea menatap piring itu dengan tatapan benci.

​"Aku nggak mau nasi goreng," gumam Alea.

​"Kemarin kamu bilang mau nasi goreng," kata Gavin sabar. "Dimakan, Alea. Nanti kamu sakit perut di sekolah."

​"Nggak mau! Telurnya jelek! Kuningnya pecah!" Alea mulai mencari-cari alasan.

​"Rasanya sama saja, mau pecah atau bulat. Makan," perintah Gavin, suaranya mulai menajam.

​Alea menatap Gavin, lalu melirik Kiana yang sedang asyik makan salmon seolah tidak peduli dengan drama di sekitarnya. Kehadiran wanita asing di meja makan ini membuat mood Alea makin hancur. Dia merasa wilayahnya dijajah.

​"Aku bilang nggak mau!"

​PRANG!

​Alea menyapu piring nasi goreng itu dengan tangannya. Piring melayang jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Nasi goreng dan telur berhamburan mengotori lantai marmer yang mengkilap.

​Keheningan total menyelimuti ruang makan. Bi Inah menutup mulutnya karena kaget.

​Darah Gavin mendidih. Wajahnya merah padam. Urat di lehernya menonjol. Ini sudah keterlaluan. Membakar sekolah mungkin karena dia cari perhatian di luar, tapi melempar makanan di rumah adalah penghinaan terhadap disiplin yang Gavin junjung tinggi.

​"ALEA!" bentak Gavin menggelegar.

​Gavin bangkit dari kursinya, tangannya terangkat, siap menarik lengan Alea atau mungkin memukul meja. Alea memejamkan mata, takut tapi juga keras kepala.

​"Jangan kasar."

​Sebuah tangan halus tapi kuat menahan pergelangan tangan Gavin.

​Gavin menoleh. Kiana sudah berdiri di sampingnya. Tatapan Kiana tajam memperingatkan.

​"Lepas, Kiana. Dia harus diajar sopan santun. Dia baru saja buang makanan!" desis Gavin.

​"Teriak-teriak nggak bakal bikin nasi gorengnya balik ke piring," kata Kiana dingin. Dia melepaskan tangan Gavin, lalu mendorong pria itu pelan agar duduk kembali. "Duduk. Biar saya yang urus."

​"Kamu nggak ngerti cara didik anak..."

​"Dan cara kamu terbukti gagal total, kan? Lihat hasilnya," potong Kiana sambil menunjuk nasi goreng yang berserakan. "Kasih saya waktu dua menit. Kalau gagal, silakan kamu lanjut teriak-teriak sampai pita suaramu putus."

​Gavin mendengus kasar, tapi dia duduk. Napasnya masih memburu.

​Kiana berjalan memutari meja, menghampiri Alea. Dia tidak marah. Dia tidak melotot. Dia justru memberi isyarat pada Bi Inah untuk membersihkan kekacauan itu tanpa suara.

​Kiana menarik kursi di depan Alea, lalu kembali duduk menghadap makanannya sendiri. Dia mengabaikan Alea sepenuhnya.

​Kiana membuka lapisan kedua kotak bento-nya. Isinya adalah puding mangga sutra (silky pudding) berwarna oranye cerah dengan saus vla vanila yang kental. Wangi manis mangga harum menyebar di udara, menggelitik hidung siapa saja.

​Kiana mengambil sendok kecil, menyendok puding itu pelan-pelan. Teksturnya yang lembut bergoyang-goyang menggoda.

​"Hmm... enak banget," gumam Kiana, sengaja membesarkan suaranya sedikit. "Manisnya pas. Segar. Sayang banget kalau nggak habis."

​Alea, yang sebenarnya lapar karena semalam mogok makan, melirik puding itu. Jakun kecilnya bergerak menelan ludah. Puding mangga adalah favoritnya. Papa jarang membelikan yang seperti itu karena katanya terlalu banyak gula.

​Kiana menyuap satu sendok, memejamkan mata menikmati rasanya. "Duh, lembut banget."

​Lalu Kiana menatap Alea. Dia tersenyum manis—senyum yang penuh kelicikan bisnis.

​"Alea, kamu beneran nggak mau makan, kan?" tanya Kiana ramah.

​Alea membuang muka, gengsi. "Nggak!"

​"Oke, bagus," Kiana mengangguk setuju. "Tante malah senang. Soalnya Tante pesan jatah puding tambahan buat kamu tadi. Ada di kulkas. Tapi karena kamu mogok makan, berarti kamu nggak butuh energi, kan? Sayang kalau pudingnya dibuang."

​Kiana menoleh pada Gavin. "Mas Gavin, Alea nggak mau makan. Jadi puding jatah dia buat saya saja ya? Lumayan buat snack di kantor."

​Gavin yang mulai paham arah permainan ini, berdeham pelan. "Ya... terserah kamu. Daripada mubazir."

​"Asyik!" seru Kiana ceria. Dia memberi kode pada Bi Inah. "Bi, tolong ambilkan puding jatah Alea di kulkas. Masukkan ke tas saya. Alea lagi diet mogok makan hari ini."

​"Siap, Bu," Bi Inah yang cerdas langsung beranjak ke dapur.

​Mata Alea membelalak. Itu pudingnya! Jatahnya! Kenapa wanita menyebalkan ini yang mau memakannya? Enak saja! Itu hak milik Alea!

​Rasa kesal dan posesif mengalahkan rasa gengsinya. Alea tidak rela 'harta'-nya diambil musuh.

​"Tunggu!" teriak Alea.

​Kiana menoleh dengan wajah polos yang dibuat-buat. "Kenapa, Sayang? Mau minta air putih?"

​"Itu pudingku!" seru Alea garang.

​"Lho? Katanya nggak mau makan?"

​"Aku makan!" Alea menyambar sendok di meja (sendok Gavin yang belum dipakai), lalu menatap Bi Inah. "Bi! Ambilin nasi goreng lagi! Cepetan!"

​Bi Inah menahan tawa, buru-buru mengambilkan porsi baru.

​Begitu piring diletakkan, Alea langsung menyendok nasi goreng itu dengan lahap, seolah dia tidak makan tiga hari. Dia makan dengan cepat, matanya terus mengawasi Kiana, takut pudingnya diambil.

​"Habiskan nasinya dulu. Baru pudingnya keluar," kata Kiana santai, lalu kembali fokus pada salmonnya.

​Gavin ternganga. Dia menatap putrinya yang makan dengan lahap, lalu menatap Kiana yang makan dengan tenang.

​Tidak ada teriakan. Tidak ada drama berkepanjangan. Hanya manipulasi keserakahan sederhana.

​"Psikologi terbalik?" bisik Gavin pada Kiana tanpa menoleh.

​"Hukum dasar ekonomi," balas Kiana berbisik sambil mengunyah asparagus. "Orang akan lebih menghargai sesuatu saat mereka merasa barang itu akan diambil orang lain. Anak kamu itu pelit, Gavin. Manfaatkan sifat itu."

​Gavin menggeleng tak percaya. Dia harus mengakui, Kiana memang menakutkan.

​Setelah sarapan selesai dan puding mangga itu habis tak bersisa di mangkuk Alea, bocah itu langsung lari ke mobil jemputan tanpa pamit. Kenyang dan menang (menurut pikirannya).

​Kiana berdiri, merapikan blazernya.

​"Saya berangkat. Jangan kangen," kata Kiana pada Gavin.

​"Jangan mimpi," balas Gavin ketus, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat.

​Pagi itu, untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, Gavin berangkat kerja tanpa sakit kepala akibat teriakan Alea.

​Matahari sudah terbenam di ufuk barat, menyisakan langit Jakarta yang berwarna ungu gelap.

***

​Mobil sedan hitam mewah milik Gavin memasuki pekarangan mansion. Gavin menghela napas panjang, melonggarkan dasinya. 

Hari ini cukup melelahkan di kantor, tapi setidaknya tidak ada telepon dari sekolah Alea. Kiana benar-benar menepati janjinya soal "gencatan senjata" dengan Alea.

​Gavin merasa sedikit... optimis. Mungkin pernikahan kontrak ini tidak akan seburuk bayangannya. Mungkin dia dan Kiana benar-benar bisa menjadi partner yang baik. Kiana cerdas, logis, dan bisa diandalkan.

​Gavin turun dari mobil, menenteng tas kerjanya. Dia membayangkan akan masuk ke rumah yang tenang, mungkin mandi air hangat, lalu makan malam sederhana.

​Namun, begitu dia membuka pintu utama, atmosfer di dalam rumah terasa berbeda.

​Tegang.

​Hening yang mencekam.

​Bi Inah berdiri di tengah ruang tamu dengan wajah pucat pasi. Tangannya meremas celemeknya dengan gelisah. Dia tampak seperti orang yang baru saja melihat hantu.

​"Selamat malam, Pak..." sapa Bi Inah, suaranya bergetar hebat.

​Gavin mengerutkan kening. Instingnya langsung waspada. "Ada apa, Bi? Kenapa mukanya pucat begitu? Alea bikin ulah lagi?"

​"Bukan Non Alea, Pak. Tapi..." Bi Inah menelan ludah, matanya melirik takut-takut ke arah ruang tengah.

​"Tapi apa? Bicara yang jelas!" desak Gavin, rasa capeknya mendadak hilang digantikan kecemasan.

​"Ibu Kiana, Pak..." Bi Inah terbata-bata. "Tadi siang... Ibu Kiana menyuruh orang untuk membereskan ruang tengah. Dia..."

​"Dia apa?"

​Bi Inah menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap mata majikannya.

​"Ibu Kiana membuang semua foto mendiang Nyonya Sarah, Pak. Semuanya. Foto pernikahan, foto liburan, lukisan besar yang di atas perapian... semuanya sudah tidak ada di tempatnya."

​Dunia Gavin seakan runtuh seketika. Jantungnya berhenti berdetak sesaat, lalu memompa darah panas ke seluruh tubuhnya.

​Sarah. Istri tercintanya. Kenangan yang dia jaga mati-matian selama tujuh tahun. Barang-barang yang bahkan Alea tidak boleh sentuh sembarangan.

​Kiana membuangnya?

​"Di mana Kiana?" Suara Gavin terdengar sangat rendah, mengerikan, seperti geraman binatang buas yang terluka.

​"Di... di kamar atas, Pak."

​Tanpa bicara lagi, Gavin melempar tas kerjanya ke lantai.

​Brak!

​Dia melangkah lebar menuju tangga, setiap hentakan kakinya memancarkan amarah yang meledak-ledak. Optimisme yang tadi dia rasakan lenyap tak berbekas, digantikan oleh rasa dikhianati yang perih.

​Kiana sudah melewati batas. Dia boleh mengubah warna sofa, dia boleh menguasai dapur, tapi menyentuh kenangan Sarah adalah deklarasi perang.

​Gavin menaiki tangga dua-dua sekaligus. Matanya gelap. Malam ini, tidak akan ada negosiasi bisnis. Malam ini, Kiana harus membayar kelancangannya.

1
shenina
banyak bacot banget ni nenek sihir... astogeee ada ya org yg memuakkan begini.. najis bgt 😏
shenina
haishh.. jahat bgt si radit 😮‍💨
shenina
Alea; auntie Kiana is my superhero 👏😍
shenina
ceritanya bagus 👍👍🤩
shenina
kiana.... selamatkan gavin dari wewe gombel.... 🤣🤣🤣🤣
Nor aisyah Fitriani
lanjuttt
Savana Liora
mantap kak
Savana Liora
asiaaapp
Nor aisyah Fitriani
uppp teruss seharian cuma nungguin kirana
Nischa
yeayyy akhirnya kiana sadar juga dengan perasaan nyaaa, uhhh jadi ga sabar kelanjutannya😍
Savana Liora
😄😄😄 iya, mantap kiana ya
shenina
😍😍
shenina
woah badass kiana 👍👍
shenina
🤭🤭
Savana Liora: halo. terimakasih udah baca
total 1 replies
shenina
👍👍
Savana Liora: makasih ya 😍😍
total 1 replies
Savana Liora
hahahaha
Nor aisyah Fitriani
upp teeuss thorr baguss
Savana Liora: asiaaap kk
total 1 replies
Nischa
lanjut thorr, ga sabar kelanjutannya🥰
Savana Liora: sabar ya. lagi edit edit isi bab biar cetar
total 1 replies
Nischa
cieee udah ada rasa nih kyknya, sekhawatir itu sm Gavin😄
Savana Liora: hahahaha
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
upp kak cerita nya baguss
Savana Liora: bab 26 udah up ya kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!