Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.
Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.
Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.
Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.
Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: GEMA PADA MARMER IMITASI
Pukul 14.32.
Hujan baru saja berhenti, meninggalkan kota dalam lapisan jelaga basah yang berkilau sakit-sakitan di bawah langit yang sewarna beton mentah. Udara menempel di kulit, berat oleh bau knalpot dan ozon yang samar.
Rania menghentikan motornya di lobi *drop-off* Menara Kencana. Paket ke-21 hari ini. Sebuah kotak ringan berisi dokumen penting yang, ironisnya, mungkin akan berakhir di mesin penghancur kertas.
Dia mendorong helmnya ke belakang, mengusap wajahnya yang terasa kaku. Dia bisa merasakan getaran mesin motor yang mati di telapak tangannya. Pekerjaan ini—pekerjaan yang dia pilih karena "tidak perlu berpikir"—ternyata menuntut segalanya dari tubuhnya.
Dia melangkah masuk ke lobi. Dan, seperti biasa, arsitek di dalam kepalanya—bagian dirinya yang paling dia benci tapi tidak bisa dia matikan—langsung mengambil alih.
Lobi ini adalah sebuah kejahatan desain.
Dirancang untuk mengintimidasi, tapi dieksekusi dengan anggaran terbatas. Panel-panel marmer imitasi menutupi dinding, berusaha terlihat agung. Rania mendengus dalam hati. Matanya yang terlatih langsung menangkap polanya: cetakan *graining* digital yang sama berulang setiap tiga panel. Malas. Sambungan antara panel dan plafon gipsum ditutupi lis aluminium murahan.
Ruangan ini tidak "berbicara" apa-apa selain "kami mencoba menghemat uang".
Sambil berjalan ke meja resepsionis, dia melewati barisan lift berlapis *stainless steel* yang kusam. Dia melirik refleksinya sendiri. Pakaian kurir yang kebesaran, rambut hitam kusut yang keluar dari helm, dan mata yang terlalu lelah untuk usia dua puluh satu.
Dia mengalihkan pandangan.
Lalu, jantungnya seolah berhenti sepersekian detik.
Dia melihat lagi ke panel baja itu. Refleksinya menatap balik. Normal. Tapi sesaat tadi...
Rania berhenti melangkah. Dia menoleh tajam ke panel lift di sebelahnya. Refleksinya menoleh bersamanya. Dia menggeser kaki. Refleksinya ikut bergeser.
Dia mengerutkan kening. Sesaat tadi, Rania bersumpah, refleksinya di panel pertama *tertinggal*. Sepersekian detik *terlalu lambat* untuk meniru gerakannya. Seperti *lag* pada panggilan video yang buruk.
Rasa dingin yang aneh, yang tidak ada hubungannya dengan pendingin ruangan lobi yang menderu, menjalar di tengkuknya.
"Kurang tidur," desisnya pelan, membuang muka. "Terlalu banyak kopi. Terlalu sedikit bayaran."
Dia menyerahkan paket itu ke resepsionis yang nyaris tidak mendongak, mendapatkan tanda tangan digital di gawainya, dan berbalik pergi. Dia tidak menoleh lagi ke panel-panel lift itu.
Lima belas menit kemudian, motornya terparkir di gang sempit di samping "Kopi Titik Koma".
Kafe itu adalah satu-satunya tempat aman Rania. Sebuah bangunan tua era kolonial yang terjepit di antara ruko-ruko baru yang seragam. Tempat ini jujur. Dindingnya bata ekspos asli, retakannya nyata, dan bau kopi robusta-nya pekat.
Dia mendorong pintu kayu yang berat, bel kuningan di atasnya berdentang pelan.
"Kasih aku racun biasa, Za. Dobel," kata Rania, melempar tas selempangnya ke kursi kayu yang sudah goyang.
Reza, si barista, mendongak dari balik mesin espreso-nya. Dia seumuran dengan Rania, kurus, dengan kacamata berbingkai tebal dan senyum yang sama sinisnya.
"Wajahmu kelihatan lebih kusut dari denah bangunan yang gagal lelang," sahut Reza, suaranya nyaris tak terdengar di antara desisan uap *steamer*.
"Baru saja ketemu lobi yang didesain oleh komite," Rania merebahkan kepalanya di atas meja kayu yang dingin. "Dan kayaknya refleksiku sendiri baru saja mengajukan surat pengunduran diri."
Reza berhenti mengelap cangkir. Minatnya terusik. "Pengunduran diri? Aneh? Aneh gimana?"
Rania mengangkat kepalanya. Dia tahu tatapan itu. Reza adalah penggila sejarah lokal, mitos urban, dan segala sesuatu yang "janggal". "Aneh tipe 'kurang tidur', Za. Bukan aneh tipe 'hantu penunggu lift' kesukaanmu."
"Sayang sekali," kata Reza, kembali bekerja. "Padahal aku punya cerita baru soal Menara Kencana. Katanya, kalau kamu di lift sendirian saat jam tiga pagi, lift-nya kadang berhenti di lantai yang *tidak ada*."
"Itu namanya kerusakan tombol, bukan portal dimensi," Rania mendengus, tapi dia mengambil cangkir hitam pekat yang disodorkan Reza padanya. Kafein membakar tenggorokannya. Rasanya nyata. Membumi.
"Terserah," kata Reza, mengeringkan tangannya di celemek. "Ngomong-ngomong soal aneh... Aku punya 'pekerjaan' buatmu. Yang ini bukan dari aplikasi."
Rania mengangkat alis. "Aku lagi malas."
"Ini cocok buat orang malas yang butuh uang sewa. Klien misteriusku yang kemarin kuceritakan—si kolektor buku tua itu—minta tolong lagi. Dia mau ada paket yang diantar. Tunai. Bayarannya tiga kali lipat tarif normal."
Tiga kali lipat. Itu menarik perhatian Rania. Itu berarti dia bisa mengambil libur dua hari.
"Apa yang harus kuantar? Organ curian?"
"Lebih aneh lagi." Reza menunjuk ke sebuah kotak kardus kecil berlapis *bubble wrap* tebal di bawah meja kasir. "Dia mau kamu antar itu ke 'Toko Barang Antik Kuno Warisan'. Di Jalan Tembaga."
Rania mengerutkan kening. "Aku hafal sebagian besar jalan di kota ini. Aku belum pernah dengar Jalan Tembaga."
"Tepat!" Reza mencondongkan tubuh, matanya berbinar di balik kacamatanya. "Itu dia bagian serunya. Menurut arsip kota yang kucek, Jalan Tembaga itu... sudah tidak ada. Dihapus dari peta tahun 1970-an untuk pembangunan jalan layang. Tapi klienku bersikeras alamatnya di sana."
Rania menatap kotak itu. Lalu menatap Reza.
"Pekerjaan buat orang aneh, ya?"
"Dia bayar tiga kali lipat, Ra," ulang Reza.
Rania menghela napas panjang, menghabiskan kopinya dalam satu tegukan pahit. Idealismenya mungkin sudah mati, tapi pragmatismenya butuh uang sewa.
"Baik," katanya, berdiri dan meraih tasnya. "Aku ambil. Tapi kalau aku berakhir di dimensi lain gara-gara peta hantumu, kopi seumur hidupku jadi tanggunganmu."
Dia berjalan ke konter dan meraih kotak berlapis *bubble wrap* itu.
Kotak itu terasa berat untuk ukurannya. Dan dingin.
Rania berhenti. Bukan dingin karena AC kafe, atau dingin sisa hujan. Ini adalah dingin yang *padat*. Dingin yang kering, yang terasa seperti menyedot kehangatan dari telapak tangannya. Dingin yang terasa seperti baja yang dipoles, seperti marmer di makam.
Dia menatap Reza. Reza hanya mengangkat bahu, "Mungkin isinya patung kecil?"
Rania mengalihkan pandangannya ke kotak itu. "Pasti," gumamnya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Pasti cuma patung."
Dia menyelipkan kotak dingin itu ke dalam tas kurirnya, di antara paket-paket lain yang normal dan membosankan. Rasa dingin itu seakan menempel di kulitnya.
Dia mendorong pintu kayu, bel berdentang lagi, dan dia kembali melangkah ke jalanan kota yang basah dan abu-abu.