 
                            "Aku akan menghancurkan semua yang dia hancurkan hari ini."
Begitulah sumpah yang terucap dari bibir Primordia, yang biasa dipanggil Prima, di depan makam ibunya. Prima siang itu, ditengah hujan lebat menangis bersimpuh di depan gundukan tanah yang masih merah, tempat pembaringan terakhir ibunya, Asri Amarta, yang meninggal terkena serangan jantung. Betapa tidak, rumah tangga yang sudah ia bangun lebih dari 17 tahun harus hancur gara-gara perempuan ambisius, yang tak hanya merebut ayahnya dari tangan ibunya, tetapi juga mengambil seluruh aset yang mereka miliki.
Prima, dengan kebencian yang bergemuruh di dalam dadanya, bertekad menguatkan diri untuk bangkit dan membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekad Primordia
"Kamu sibuk banget akhir-akhir ini Prim, sampai tidak ada waktu untukku."
Suara William dari seberang saluran telepon terdengar mengeluh karena kekasihnya prima justru semakin sibuk di hari-hari menjelang pernikahan mereka.
"Bersabarlah sedikit Willy. Aku harus menyelesaikan urusanku sebelum kita menikah. Kau tak mau kan bulan madu kita terganggu dengan pekerjaanku yang belum selesai?"
Willy terdengar mendesah. Sudah lebih dari 3 hari ini ia kesulitan untuk bertemu dengan calon pengantinnya Primordia.
"Setelah selesai meeting, aku akan menemuimu. Kamu tunggulah saja di apartemen atau berkegiatan lah, apapun itu. Agar membuatmu tidak bosan. Atau kamu bisa pulang ke rumah ibumu nanti aku akan menemuimu di sana."
"Benar ya prim, janji ya. Baiklah, aku pulang ke rumah ibuku, kamu temui saja di sana. Jangan lama-lama ya."
Prima tertawa kecil, ah, bagaimana bisa ia menikahi laki-laki se kanak-kanakan Willy, batinnya.
"Iya, janji. Pulanglah. Aku juga sudah lama tidak mengunjungi ibumu."
"Oke sayang aku akan pulang ke rumah Ibu. Aku tunggu kedatanganmu."
Sambungan telepon terputus. Prima yang menjepit ponselnya dengan pundak menaruh kembali ponselnya ke atas meja. Sementara tangannya masih sibuk dengan berkas-berkas yang iya siapkan sejak kemarin. Semuanya harus selesai hari ini, batinnya.
"Dasar bayi tua, bisanya rewel saja."
Prima mengumpat kesal.
"Jadi kau sudah yakin akan menikahi laki-laki seperti William, Prim?
Runa, sahabat Prima yang sedari tadi terkekeh mendengarkan obrolan sahabatnya dengan calon pengantin pria di ponselnya, memang tidak ya tidak terlalu yakin dengan rencana pernikahan sahabatnya itu dari awal. Meskipun ia tahu bahwa Prima menikahi William, anak dari seorang komisaris William Group, sebuah perusahaan besar di kotanya, semata-mata karena cinta.
Namun Runa tidak pernah menyangka bahwa tekad Prima sebesar itu hingga ia mampu menahan diri menghadapi laki-laki ke kanak-kanakan seperti William.
"Ini bukan soal keyakinan Runa, ini adalah kewajiban."
"Tapi resiko yang kamu hadapi terlalu besar Prima. Aku harap kamu memikirkan ini baik-baik. Aku tidak mau kamu menghancurkan hidupmu hanya demi ambisimu."
Prima menghentikan kegiatannya memeriksa lembaran-lembaran berkas di atas meja. Ia menatap Runa dan mendekati sahabatnya yang duduk di sofa tamu di dalam ruangan kantornya.
"Run, aku sudah hancur sejak awal. Jadi tidak ada lagi yang bisa dihancurkan dariku. Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan berhati-hati."
"Aku tahu itu Prim. Aku hanya tidak mau kamu mempertaruhkan semuanya hanya untuk janji yang kamu ucapkan pada ibumu. Aku percaya kamu sudah mempersiapkan semuanya dengan baik. Tapi aku harap kamu tetap harus berhati-hati."
Runa menggamit tangan Prima yang ada di depannya. Walaupun jujur, ia tidak rela jika sahabatnya harus menikah dengan laki-laki tidak berkompeten seperti William, tetapi ia tahu tekad bulat sahabatnya sudah tidak bisa ia goyahkan lagi. Ia hanya berharap Prima akan baik-baik saja dengan segala rencananya.
"Aku janji Runa, aku pasti baik-baik saja. Kamu cukup diam di tempatmu, dan menjadi sumber kekuatanku itu sudah lebih dari cukup."
"Kamu bisa datang dan mengeluh padaku kapanpun kamu butuh, Prim. Jangan pernah ragu."
Prima mengangguk, keduanya tersenyum haru. Setelah ibunya meninggal dan ayahnya pergi entah ke mana, Prima memang tidak memiliki kerabat yang bisa diandalkan. Runa lah satu-satunya orang yang selalu hadir dalam setiap fase kehidupan Prima selama ini.
Prima bangkit dari duduknya lalu kembali menekuni berkas-berkas di atas meja.
"Ya sudah Prim, kamu lanjutkan pekerjaanmu.Aku juga harus segera pergi. Hari ini ibu mertuaku akan datang dari Ausi. Jasi aku harus berbelanja untuk menyambut kedatangannya."
"Oh jadi ibu mertuamu akan datang?"
"Ya malam nanti penerbangan dari ausi aku harus menyiapkan beberapa hal di rumah."
"Baiklah Runa pergilah telepon aku jika kau butuh bantuan. Aku juga sudah lama tidak bertemu dengan ibu mertuamu."
"Tidak Prima, kamu fokus aja dengan rencana pernikahanmu itu. Apalagi hari ini kau berjanji mau menemui Baby William di rumah ibunya bukan?"
Keduanya terkekeh mereka memang selalu punya sebutan unik untuk calon suami Prima William.
"Ah kalau soal itu bisa diatur. Kamu kayak nggak tahu aja William seperti apa. Pokoknya telepon aku kalau kamu butuh apapun aku akan segera meluncur."
"Ya ya baiklah aku pergi ya."
"Oke darling hati-hati di jalan."
Runa pergi meninggalkan prima yang masih berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di mejanya hari ini Prima akan bertemu dengan seseorang yang sangat penting dalam menjalankan misi besar terbesar dalam hidupnya.
Tok...tok...tok...
Pintu terbuka perlahan, Nadia sekretaris pribadinya muncul dengan senyuman khas di bibirnya.
"Permisi Bu, mobil sudah siap menunggu di bawah."
"Apakah tamuku sudah datang?"
"Sudah, beliau sudah menunggu Anda di mobil."
"Oke Nad, terima kasih. Ingat satu hal, jangan sampai hal ini bocor atau kepalamu yang akan bocor."
Nadia menelan ludah. Dia hanya bisa mengganggu cepat. Meskipun kata-kata itu terlontar dengan santai dari mulut Prima, akan tetapi Nadia tahu bahwa peringatan itu tidak main-main.
"Bu prima tidak perlu khawatir. Anda bisa mempercayakan semuanya kepada saya."
Prima mengangguk ia tahu bahwa sekretarisnya itu tidak akan mungkin mengacaukan rencananya. Sejak Prima berhasil mengambil alih anak perusahaan milik Ibu Kusuma Dewi, calon mertuanya, Nadia adalah orang pertama yang ia hubungi untuk menjadi orang kepercayaannya.
Bukan tanpa alasan Prima meminta Nadia untuk bekerja di perusahaan yang kini ia pimpin itu. Akan tetapi jasa besar ayah Nadia, yang dulu adalah sopir pribadi keluarganya, menjadi pertimbangan pertama bagi Prima untuk menerima Nadia bergabung dengannya.
"Aku berharap kesetiaanmu sama seperti kesetiaan ayahmu kepada keluargaku dulu."
Begitu yang diucapkan Prima saat ia menemui Nadia dan mengajaknya bekerja di perusahaan desain interior miliknya.
"Mengabdi lah kepada bu Prima sebagaimana ayah mengabdi kepada tuan Baskara, ayah Bu Prima dulu. Bagaimanapun Tuhan Baskara adalah orang yang paling berjasa terhadap keluarga kita."
Pesan pak Yusuf kepada putrinya. Pak Yusuf adalah orang kepercayaan ayah Prima sebelum ayahnya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya, hingga membuat seluruh perusahaan yang mereka miliki hancur, bahkan rumah tangganya pun ikut hancur.
Dan Pak Yusuf adalah orang terakhir yang berada di samping ibunya sebelum ibunya menghembuskan nafas terakhir.
"saya meminta Prima untuk bekerja dengan saya bukan karena saya menganggap keluarga bapak berhutang budi dengan keluarga kami, pak Yusuf. Saya hanya berharap kesetiaan Bapak kepada keluarga kami diwariskan kepada Nadia."
Pak Yusuf yang semakin menua menepuk-nepuk punggung Prima hari itu.
"Jadilah perempuan yang kuat dan tangguh, nak Prima. Bapak yakin kamu pasti akan berhasil meraih mimpimu."
Prima tersenyum trenyuh.
Harus pak Yusuf, aku harus berhasil. Bisik Prima dalam hati.