NovelToon NovelToon
Sistem Kultivasi Dewa Jahat

Sistem Kultivasi Dewa Jahat

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Reinkarnasi / Sistem / Kelahiran kembali menjadi kuat / Budidaya dan Peningkatan / Toko Interdimensi
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: SuciptaYasha

Wang Cheng, raja mafia dunia bawah, mati dikhianati rekannya sendiri. Namun jiwanya bereinkarnasi ke dalam tubuh seorang tuan muda brengsek yang dibenci semua orang.

Tapi di balik reputasi buruk itu, Wang Cheng menemukan kenyataan mengejutkan—pemilik tubuh sebelumnya sebenarnya adalah pria baik hati yang dipaksa menjadi kejam oleh Sistem Dewa Jahat, sebuah sistem misterius yang hanya berkembang lewat kebencian.

Kini, Wang Cheng mengambil alih sistem itu bukan dengan belas kasihan, tapi dengan pengalaman, strategi, dan kekejaman seorang raja mafia. Jika dunia membencinya, maka dia akan menjadi dewa yang layak untuk dibenci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1 Kelahiran Kembali Seorang Mafia

Wang Cheng. Nama yang tak butuh banyak perkenalan di dunia bawah tanah. Ia bukan sekadar mafia—dia adalah momok, bayang-bayang gelap yang membuat para penghutang, pengusaha kotor, bahkan sesama kriminal bergidik ngeri.

Tubuhnya tinggi, kekar, berotot, dipenuhi tato-tato keji yang menceritakan kisah berdarahnya di jalanan. Wajahnya dihiasi luka lama, bekas sabetan parang yang tak pernah ia sembunyikan—justru dijadikan lambang kehormatan.

Rambutnya panjang sebahu, selalu disisir ke belakang, membiarkan dua helai menjuntai di sisi wajahnya seperti taring iblis yang siap mencabik-cabik mangsanya.

Dengan ratusan bawahannya, dan tongkat baseball berwarna merah darah yang tak pernah jauh dari genggamannya, Wang Cheng menguasai dunia kriminal layaknya taman bermain.

Ia dikenal kejam, brutal, tanpa ampun. Para penghutang? Wang Cheng akan datang sendiri jika perlu, dan satu kaki akan patah sebelum sempat minta maaf.

Narkoba, senjata ilegal, prostitusi, pencucian uang—semua telah disentuh oleh tangannya. Moral? Tidak ada dalam kamusnya.

Wang Cheng tak percaya pada Tuhan, apalagi pada hukum negara. Baginya, dunia adalah tempat berburu, dan dia adalah pemangsa paling haus darah yang pernah lahir di dunia itu.

Namun, bahkan raja di dunia kegelapan pun tak selalu abadi dalam kisahnya....

Malam itu dingin dan basah. Jalanan kumuh yang biasa ia kuasai kini terasa asing. Wang Cheng berjalan tertatih, satu tangan menekan perutnya yang tertembak timah panas. Darah mengalir deras, membasahi bajunya yang sudah sobek di beberapa tempat.

Suara sirene bergema di kejauhan—anjing keadilan akhirnya datang memburu sang raja kegelapan.

“Kalian... sialan... semua pengkhianat,” gumamnya pelan, napasnya berat ketika mengingat wajah orang-orang yang membocorkan lokasinya pada negara.

Mereka tidak menganggap ini sebagai penangkapan kriminal biasa, melainkan sebagai pemusnahan seorang iblis yang telah lama meneror negara dengan kejahatannya.

Dalam semalam, seluruh markasnya yang tersebar di berbagai kota diserbu dengan rencana yang terorganisir karena beberapa pengkhianat yang bekerjasama sama dengan kepolisian.

Dan disinilah Wang Cheng saat ini, di lorong sempit yang basah oleh air got dan darah, ia berjalan sendirian. Tak ada bawahan, tak ada teman, hanya kegelapan yang menyambutnya.

Ia berhenti di bawah lampu jalan yang berkedip pelan, tubuhnya goyah. Ia tahu siapa yang mengkhianatinya—anak buahnya sendiri, si bocah yang dulu ia selamatkan dari kelaparan, yang diberinya nama, pangkat, dan kepercayaan. Ternyata, dialah yang pertama menusuknya dari belakang.

Namun... Wang Cheng tidak menyesal. Dia tersenyum. Bukan senyum penyesalan, tapi senyum angkuh yang sudah melekat di wajahnya selama puluhan tahun.

“Kalau aku menyesal... itu sama aja aku mengakui dosa kepada para dewa. Padahal mereka pun... tidak lebih suci dariku,” gumamnya.

Ia menyalakan rokok—dengan tangan gemetar—menghirup asap terakhir yang menyatu dengan kabut malam. Ia mendongak, menatap langit yang kelabu.

"Dari lahir... hidupku memang sudah gelap... Dan aku tidak menyesal sedikitpun dengan langkah yang sudah aku ambil.”

Detik berikutnya, kakinya goyah. Ia jatuh. Rokok masih menyala di sela bibirnya. Matanya terbuka, menatap kosong ke langit yang tidak pernah menjanjikan pengampunan.

Sirene semakin dekat.

Tapi Wang Cheng... sudah pergi.

Tewas sebagai raja dunia gelap—tanpa penyesalan, tanpa permohonan maaf. Sebuah akhir yang sesuai dengan kehidupannya.

Namun, seolah masih belum puas untuk memainkan kehidupan kecil Wang Cheng, dewa kembali melempar dadu takdirnya...

...

Dingin itu hilang. Tapi bukan karena nyaman—melainkan karena perasaan aneh. Terlalu hening. Terlalu bersih. Terlalu... tidak masuk akal.

Wang Cheng membuka mata, dan cahaya terang menampar retinanya dengan kasar. Langit-langit di atasnya begitu tinggi, penuh ukiran klasik. Di sekelilingnya, gorden beludru, furniture mewah namun terlihat kuno, dan aroma harum melati memenuhi udara.

Semuanya asing, semuanya terasa salah.

"Apa-apaan ini..." gumamnya pelan, suaranya berat—tapi berbeda dari suaranya yang biasa. Ia langsung bangkit dan memandang ke tangannya. Bersih. Terlalu bersih. Tidak ada luka, tidak ada tato dan bekas pertempuran. Kulitnya... halus dan ramping.

Sesuatu mengganggu telinga dan pandangannya, ia meraba rambutnya dan menemukan helaian panjang tergerai hingga ke punggung.

"Rambut panjang seperti wanita? Bajingan, apa ini ulah dewa yang mempermainkanku? Tidak... Seharusnya aku yang paling tahu jika tidak ada dewa di dunia ini..."

Ia memandangi sekeliling. Dinding kayu dengan lukisan yang terpajang rapi, perabotan tradisional, jendela kayu yang terbuka ke taman bergaya Tiongkok klasik.

Segalanya seperti potongan film sejarah—bukan dunia tempat seorang mafia berdarah dingin seperti dia berasal.

"Apa ini... mimpi? Atau neraka dengan dekorasi indah?"

Suara engsel pintu berderit lembut mengiringi langkah dua pelayan yang masuk ke dalam kamar. Wang Cheng yang sedang terduduk di kasur hanya melirik sekilas, tapi matanya langsung menangkap kesan kuat akan tradisi dari penampilan mereka.

Seorang gadis muda dan seorang pria muda, keduanya mengenakan hanfu berwarna biru pucat dengan bordir awan tipis di bagian lengan dan ujung roknya. Ikat pinggang sutra perak membelit ramping di pinggang, memberi kesan elegan sekaligus anggun—meski pada sang pemuda, balutan itu tampak lebih formal daripada feminin.

Bahkan cara mereka melangkah pun penuh perhitungan, seolah setiap gerakan telah dilatih berkali-kali agar tak mengganggu ketenangan ruangan yang mereka masuki.

Tak ada suara keras, tak ada gerakan tergesa—semuanya dibalut keheningan dan tata krama klasik yang membuat Wang Cheng, meski tak menunjukkan ekspresi, merasa seperti kembali ke zaman para leluhur yang penuh aturan dan kehormatan.

Kedua pelayan itu berhenti, mata mereka melebar saat melihat Wang Cheng yang telah duduk tegak, menatap mereka dengan tajam.

“T-Tuan Muda!” seru si pelayan pria, suaranya panik.

Wang Cheng bahkan belum mengucapkan sepatah kata pun, tetapi reaksi mereka seperti baru saja melihat iblis bangkit dari neraka.

“Kami... kami minta maaf, Tuan Muda! Seharusnya kami membangunkan Anda lebih cepat!” lanjut si gadis, nadanya gemetar.

Keduanya langsung menjatuhkan diri ke lantai, membungkuk sangat rendah hingga dahi mereka menyentuh dinginnya ubin. Tubuh mereka bergetar, seolah menanti hukuman berat.

Wang Cheng hanya menyipitkan mata, mencoba mencerna situasi. Namun, gadis pelayan itu buru-buru bangkit dan mengambil sesuatu dari sisi ranjang—sebuah cambuk kulit hitam dengan gagang berukir perak.

“Tuan Muda... silakan hukum kami. Kami siap menerima cambukan atas kelalaian kami,” katanya sambil menyodorkan cambuk itu ke arah Wang Cheng.

Wang Cheng menatap cambuk itu sejenak sebelum akhirnya mengambilnya. Ia tidak marah, tetapi sorot matanya tampak kelam. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya aku akan menuruti keinginan kalian."

Tanpa berlama-lama, ia melangkah mendekat. Keduanya masih dalam posisi membungkuk, tak berani bergerak. Wang Cheng butuh sesuatu untuk meluapkan emosinya karena permainan para dewa.

PLAK!

Satu cambukan mendarat di punggung sang gadis. Tubuhnya mengejang, namun tak ada teriakan—hanya desisan napas yang tertahan.

PLAK!

Cambukan kedua menghantam punggung si pemuda. Ia menahan sakit dengan menggigit bibir, tubuhnya gemetar.

Wang Cheng terus memukuli mereka—bergantian, teratur. Bukan dengan sadisme, tapi dengan aura yang mencerminkan kekuasaan dan frustrasi.

Setelah beberapa kali, Wang Cheng menghentikan tangannya. Nafasnya sedikit memburu, entah kenapa dia merasa sangat lelah.

“Apa kalian pikir aku senang menghukum dengan alat seperti ini?” katanya datar. “Memberiku cambuk sialan itu, berarti kalian benar-benar ingin disiksa!”

1
Arman Jaya
lanjjjuuuuttttt
sangtaipan
uwayoooo keren lah sangattt
sangtaipan
ditunggu chapter selanjutnya sobat🔥
sangtaipan
mantap thor, tetap semangat
sangtaipan
keren parah sih
Baby Bear
bagus
Baby Bear
lanjut ka semangat 💪💪💪💪💪
sangtaipan
bagusss bangettt
sangtaipan
keren parahhh
Andi Liu
bagus
Andi Liu
lanjutkan
sangtaipan
hahaha sadiss membunuh jiwa dan raga tanpa menyentuh
Hr⁰ⁿ
Thor mantap alur ceritanya,dan kalo bisa MC di percepat jadi kuat biar nambah seru,
sering sering update Thor
M.ARK: kalau kakaknya berkenan, mampir juga kak ke ceritaku ya kak. terima kasih kak🙏
Hr⁰ⁿ: udh gw ksih kopi Thor,smngt update
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!