NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22: KETIKA CINTA DIPERTARUHKAN**

# **

Alara tidak tahu berapa lama ia duduk di lantai toilet itu. Satu jam? Dua jam? Waktu terasa tidak ada artinya ketika duniamu sudah hancur.

Ponselnya bergetar berkali-kali—puluhan missed call dari Nathan, dari Rian, bahkan dari Bi Sari. Tapi ia tidak sanggup mengangkat. Tidak sanggup bicara dengan siapa pun.

Yang ada di kepalanya hanya satu pertanyaan yang berputar terus: *Kenapa? Kenapa ini terjadi padaku?*

Pintu toilet terbuka. Suara sepatu heels—bukan Nathan.

"Alara?" Suara Rian dari luar bilik. "Alara, aku tahu kamu di sini. Please... keluar. Nathan nyariin kamu kemana-mana."

Alara tidak menjawab. Tenggorokannya terlalu sakit untuk bicara.

"Alara..." Suara Rian bergetar—seperti mau menangis juga. "Ada rapat darurat dewan direksi. Sekarang. Mereka... mereka bahas soal kamu. Nathan ada di sana. Dia... dia lagi fight buat kamu."

Kata-kata itu membuat Alara mengangkat kepalanya—wajah yang sembab, mata yang merah total.

"Fight... untuk apa?" Suaranya serak—hampir tidak terdengar.

"Fight supaya kamu nggak di-fire. Dewan direksi mau pecat kamu, Alara. Tapi Nathan... Nathan nggak ngasih."

Sesuatu di dada Alara bergetar—bukan karena senang, tapi karena... rasa bersalah yang menghancurkan.

*Nathan mempertaruhkan reputasinya... untuk aku. Untuk orang yang sudah gagal.*

"Aku harus... aku harus ke sana—" Alara mencoba berdiri tapi kakinya lemas. Rian membuka pintu bilik, membantu Alara berdiri.

"Kamu yakin? Kamu... kamu masih bisa berdiri?" tanya Rian khawatir.

Alara mengangguk—walau sebenarnya tidak yakin. Tapi ia harus ke sana. Ia tidak bisa biarkan Nathan sendirian membelanya.

---

**RUANG RAPAT DEWAN DIREKSI, LANTAI 30**

Alara berdiri di depan pintu ruang rapat dengan Rian di sampingnya. Dari dalam terdengar suara-suara keras—suara perdebatan yang sengit.

"Nathan, kau harus realistis! Proyek terbesar tahun ini GAGAL gara-gara orang yang KAU TUNJUK!" Suara Pak Hendra yang keras, yang marah.

"Itu bukan kesalahannya—" Suara Nathan—tegas tapi terdengar... lelah.

"LALU SALAH SIAPA?!" Suara direktur lain. "File hilang, presentasi gagal, klien kecewa! Ini semua terjadi di bawah tanggung jawab Alara Davina!"

"Ada yang sabotase. Aku yakin ada yang—"

"Sabotase?!" Pak Hendra tertawa sinis. "Atau kau terlalu buta karena dia istrimu?! Kau ngasih dia proyek besar tanpa pertimbangan matang! Dan sekarang perusahaan yang rugi!"

Hening sebentar.

Lalu suara Nathan—pelan tapi sangat jelas.

"Dia istriku. Dan aku percaya padanya."

Kata-kata itu membuat jantung Alara berhenti.

"Percaya?" Suara direktur keuangan—Pak Irawan. "Nathan, kau CEO. Kau tidak boleh buat keputusan berdasarkan perasaan personal. Kau harus objektif—"

"AKU OBJEKTIF!" Nathan meninggi—jarang sekali ia kehilangan kontrol seperti ini. "Aku lihat portfolionya sebelum tunjuk dia. Aku lihat kemampuannya. Dia CAPABLE, Pak Irawan. Dan kalau proyek ini gagal, itu bukan karena dia tidak mampu. Tapi karena ada yang sabotase."

"Kau punya bukti?" tantang Pak Hendra.

Hening lama.

"Belum," jawab Nathan—suara yang sedikit melemah. "Tapi aku akan cari—"

"Tidak ada waktu untuk itu," potong Pak Irawan. "Mr. Hartawan mengancam akan tarik investasi. Itu 500 miliar, Nathan. LIMA RATUS MILIAR. Dan kau mau pertaruhkan itu untuk... untuk istrimu?"

"Aku tidak mempertaruhkan apa pun—"

"KAU MEMPERTARUHKAN PERUSAHAAN INI!" Pak Hendra berdiri—bunyi kursi yang didorong keras terdengar jelas. "Ayahmu—almarhum Pak Erlangga—pasti kecewa lihat kau sekarang. Kau membiarkan perasaan personal menghancurkan profesionalisme!"

Kata-kata itu—menyebut ayah Nathan—membuat hening yang sangat panjang.

Alara bisa membayangkan wajah Nathan sekarang—rahang yang mengeras, tangan yang mengepal, mata yang... sakit.

"Jangan bawa-bawa ayah saya," kata Nathan—suara yang rendah, berbahaya.

"Tapi ini kenyataan," Pak Irawan mengambil alih dengan nada yang lebih diplomatis. "Nathan, kami mengerti kau sayang sama istrimu. Tapi perusahaan ini lebih besar dari perasaan personal. Alara harus bertanggung jawab—"

"Dia sudah bertanggung jawab! Dia kerja sampai larut malam! Sampai sakit! Sampai—"

"Dan GAGAL," potong Pak Hendra dingin. "Bottom line-nya adalah dia GAGAL. Dan sebagai CEO, kau harus buat keputusan yang tepat. Fire dia. Atau kami yang akan vote untuk itu."

Hening mencekam.

Alara menutup mulutnya dengan tangan—mencoba menahan isak. Air matanya mengalir deras.

*Mereka mau Nathan pecat aku. Dan Nathan... Nathan fight sendirian untuk aku.*

"Aku tidak akan fire dia," kata Nathan—tegas, final.

"Maka kami akan vote," kata Pak Irawan. "Semua yang setuju Alara Davina dipecat dari Erlangga Corp, angkat tangan."

Suara kertas bergeser. Suara tangan yang terangkat.

Alara tidak perlu masuk untuk tahu—mayoritas pasti setuju.

"Nathan," suara Pak Irawan lagi. "Sebagai CEO, kau punya veto. Tapi kalau kau pakai itu untuk hal personal seperti ini... kredibilitasmu sebagai leader akan dipertanyakan."

"Aku tidak peduli soal kredibilitas—"

"KAU HARUS PEDULI!" Pak Hendra membentak. "Kau CEO! Kau punya tanggung jawab ke ratusan karyawan! Ke perusahaan yang ayahmu bangun dari nol! Dan sekarang kau mau hancurkan semua itu untuk satu orang?!"

Hening.

Hening yang sangat... menyakitkan.

Alara tidak sanggup mendengar lagi. Ia membuka pintu—masuk dengan wajah hancur, mata merah, tubuh gemetar.

Semua mata tertuju padanya.

Nathan berdiri—wajahnya pucat, mata yang... lelah tapi juga lega melihat Alara.

"Alara—"

"Aku mengundurkan diri."

Kata-kata itu keluar begitu saja—tegas walau suaranya bergetar.

Semua orang terdiam.

Nathan melangkah maju. "Alara, jangan—"

"Aku mengundurkan diri dari Erlangga Corp," ulang Alara—kali ini lebih keras. Matanya menatap Nathan dengan tatapan yang... hancur tapi juga penuh tekad. "Efektif hari ini."

"Alara, kau tidak perlu lakukan ini—" Nathan mencoba meraih tangannya tapi Alara mundur.

"Aku perlu," bisik Alara. Air matanya jatuh tapi ia tetap berdiri tegak. "Aku tidak bisa... aku tidak bisa biarkan kamu hancurkan karirmu untuk aku. Aku tidak bisa biarkan kamu kehilangan respect dewan direksi untuk aku. Aku tidak bisa—"

Suaranya putus. Ia menggigit bibir bawahnya—mencoba tahan isak.

"Kamu lebih penting dari karir—" Nathan melangkah lagi mendekat.

"TIDAK!" Alara berteriak—suara yang penuh luka. "Perusahaan ini adalah hidup kamu! Warisan ayah kamu! Aku nggak akan biarkan kamu kehilangan itu karena... karena aku."

Ia menatap dewan direksi—satu per satu—dengan tatapan yang lelah.

"Saya minta maaf atas kegagalan saya. Saya... saya tidak worthy untuk posisi ini. Dan saya mengundurkan diri."

Ia meletakkan ID card-nya di meja—dengan tangan yang gemetar.

Lalu berbalik—hendak pergi.

Tapi Nathan menggenggam tangannya—genggaman yang erat, yang desperate.

"Jangan pergi," bisiknya—suara yang bergetar. "Kumohon... jangan pergi."

Alara menatapnya—menatap dengan mata yang penuh air mata, penuh luka yang tidak bisa diungkapkan.

"Aku harus," bisiknya. "Karena aku sayang sama kamu. Dan karena aku sayang... aku harus pergi."

Ia melepaskan genggaman Nathan—pelan, tapi tegas.

Lalu berjalan keluar ruangan—meninggalkan Nathan yang berdiri dengan tangan terulur, dengan tatapan yang... hancur total.

Pintu tertutup.

Dan Nathan berdiri di sana—di tengah ruang rapat yang sunyi—dengan perasaan bahwa ia baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

Pak Irawan berdiri—menepuk bahu Nathan dengan tatapan simpati. "Kau buat keputusan yang tepat, Nathan. Untuk perusahaan."

Tapi Nathan tidak menjawab.

Karena keputusan yang tepat untuk perusahaan... terasa seperti keputusan yang salah untuk hatinya.

---

**BASEMENT PARKIR**

Alara berjalan goyah menuju mobilnya—mobil tua warisan ayahnya yang hampir rusak. Ia masuk, menutup pintu, dan—

Pecah.

Ia menangis dengan isak yang sangat keras—isak yang sudah ditahan sejak tadi. Tangannya memukul setir berkali-kali—frustasi, marah, sakit, campur jadi satu.

"KENAPA?! KENAPA INI TERJADI SAMA AKU?!" teriaknya di dalam mobil yang kosong.

Ponselnya bergetar. Pesan dari Nathan.

**Nathan:** *Kumohon jangan pergi. Kita bisa selesaikan ini bareng. Kumohon.*

Alara menatap pesan itu lama—air matanya membasahi layar.

Jemarinya bergetar mengetik balasan.

**Alara:** *Aku sayang kamu. Makanya aku pergi. Maafkan aku.*

Kirim.

Lalu ia mematikan ponselnya—tidak sanggup menerima balasan.

Ia menyalakan mesin mobil—dan pergi dari Erlangga Corp.

Pergi dari tempat di mana ia pernah punya harapan.

Pergi dari tempat di mana ia pernah jatuh cinta.

Pergi... sambil meninggalkan hatinya di sana.

---

**DI RUANG RAPAT**

Nathan menatap ponselnya—menatap pesan terakhir dari Alara.

*Aku sayang kamu. Makanya aku pergi.*

Ia menutup mata—rahangnya mengeras, tangannya mengepal sampai buku-buku jari memutih.

Lalu ia membuka mata—dan di matanya, ada api.

Api untuk mencari tahu siapa yang melakukan ini.

Api untuk menghancurkan siapa pun yang berani menyakiti Alara.

Karena Nathan Erlangga mungkin CEO yang profesional.

Tapi untuk Alara... ia bisa jadi monster.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 23]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!