Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dini Hari dan Manisnya Kue
Pukul empat pagi. Alarm ponsel Leni berbunyi nyaring, memecah keheningan yang baru ia nikmati selama lima jam. Ia meraih ponsel dengan gerakan malas dan mematikan alarm itu. Begitu matanya terbuka, hal pertama yang ia lihat adalah sticky note kuning yang ditempel di pipi poster Jake—keluhannya semalam masih menempel di sana. Semangat memang tidak datang sendiri; harus dijemput.
Begitu bangun, aroma manis dari dapur kecil langsung menyambutnya. Ibunya, Bu Wati, sudah sibuk sejak entah jam berapa. Dengan daster rumahan dan celemek penuh noda tepung, wanita itu berdiri di depan kompor. Di atas meja makan—yang sekaligus menjadi meja kerja kecil mereka—berjejer kue lapis hijau-merah muda yang cantik, kue mangkok yang merekah sempurna, dan nagasari yang masih hangat dalam bungkus daun pisang.
“Assalamualaikum, Nak. Tumben nggak Ibu bangunin?” sapa Bu Wati sambil menuang adonan kue cucur ke minyak panas.
“Waalaikumussalam, Bu. Feeling Leni bilang hari ini lapisnya laris manis,” jawab Leni sambil mengikat rambutnya. Ia mencuci muka lalu ikut duduk untuk membungkus kue.
Leni mengambil benang jahit untuk memotong kue lapis agar hasilnya rapi. Tangannya sudah terbiasa. Sambil bekerja, ia melirik Ibunya yang tak pernah benar-benar berhenti bergerak. Garis-garis halus di sudut mata Bu Wati semakin terlihat di bawah lampu dapur.
“Bu, harusnya Ibu istirahat setelah ngukus. Biar Leni yang bungkus semuanya,” ucap Leni pelan.
Bu Wati hanya tersenyum—senyum lelah, tapi tulus. “Kalau cucur ini bukan Ibu yang bikin, rasanya beda, Nak. Ini resep Bapakmu. Ibu jaga rasanya, biar rezeki kita ikut terjaga.”
Menyebut almarhum Ayah membuat dada Leni terasa hangat dan perih bersamaan. Ayahnya meninggal saat ia baru masuk SMP. Sejak itu, Bu Wati memikul peran ganda tanpa banyak keluhan.
“Biar Leni yang cepat bungkus. Jam enam Leni antar ke warung-warung, sebelum jam dua harus masuk minimarket,” katanya sambil meraih daun pisang untuk nagasari.
Dapur kecil itu dipenuhi suara-suara ringan: desis adonan, bunyi plastik, dan suara Bu Wati yang kadang bersenandung kecil. Tidak ada percakapan panjang pun suasananya tetap hangat.
“Leni,” panggil Bu Wati tiba-tiba. “Semalam kamu telepon Ibu jam sembilan. Nggak keangkat. Kamu capek banget ya?”
Leni menghela napas agak berat. “Lumayan, Bu. Semalam ada pelanggan beli banyak pakai uang lima ratus ribu. Uang di kasir sudah tipis. Kepala Leni langsung cenat-cenut hitung kembaliannya.”
Bu Wati berhenti sejenak, menatap putrinya. “Kerja halal memang lelah, Nak. Tapi jangan sampai menguras hatimu. Kamu dengarkan saja itu, lagu Korea favoritmu. Siapa namanya? E-happen?”
Leni terkekeh sampai bahunya berguncang. “ENHYPEN, Bu. Semalam Leni curhat sama Jake lewat sticky note. Leni bilang, ‘Jake, aku lelah.’ Terus dengar ‘Blessed-Cursed’. Langsung on lagi, Bu.”
Bu Wati menggeleng sambil tersenyum. “Kalau itu bikin kamu bertahan, ya sudah. Ibu dukung. Tapi ingat, semangat paling besar datang dari Allah, dari dirimu sendiri. Idol itu hiburan.”
Setelah kue selesai diantar dan Leni istirahat sebentar, ia kembali mengenakan seragam minimarket. Pukul dua siang, panas sedang jahat-jahatnya. Minimarket jauh lebih ramai dibanding malam hari.
Leni sedang menyusun minuman dingin ketika bel pintu berdenting. “Selamat datang di Minimarket Jaya, selamat berbelanja!” ucapnya tanpa menoleh.
“Leni?”
Leni segera menoleh. Matanya langsung membelalak. Seseorang berdiri di depannya, memakai hoodie abu-abu dan topi baseball. Rizky.
Rizky adalah teman sekelasnya di SMK, anak akuntansi yang pintar dan tenang. Setelah lulus, Rizky masuk universitas negeri. Sementara Leni… bekerja.
“Astaga, Ky! Kok kamu di sini?” seru Leni, hampir menjatuhkan botol soda di tangannya.
“Aku fotokopi tugas di sebelah. Lihat minimarket, ya mampir. Kamu kerja di sini?” Rizky tersenyum, yang sama hangatnya seperti senyum-senyum di kelas dulu.
“Iya, full time. Lumayan buat bantu Ibu,” jawab Leni, berusaha santai.
“Hebat kamu, Len. Aku pikir kamu bakal kerja kantoran di tempat magang,” kata Rizky, mengambil sebungkus biskuit.
“Nggak dapat rezekinya. Tapi di sini banyak belajar juga,” jawab Leni sambil menunjuk poster promo. “Mau kopi instan, Ky? Promo beli dua gratis satu.”
Rizky tertawa kecil. “Kamu sudah jago jualan.”
Leni bergegas ke kasir saat dua pelanggan lain datang. Ia bekerja cepat, luwes, dan sangat profesional. Stres semalam tidak tampak sama sekali.
Saat ia kembali, Rizky masih menunggu.
“Len,” ucapnya lebih pelan, “aku salut sama kamu. Banyak teman kita masih nganggur. Kamu langsung bergerak.”
Ia menatap Leni dengan cara yang membuat jantung Leni sedikit… berhenti.
“Eh, Len… kalau aku bingung tugas akuntansi, boleh chat kamu? Sekadar nanya?”
“Tentu, Ky. Asal jangan marah kalau balasnya lama. Ponsel dilarang saat kerja,” jawab Leni tersenyum.
“Siap. Oh iya…” Rizky mengangkat ponselnya. “Kamu masih suka boyband Korea itu? Yang lagunya loncat-loncat? E-naipen?”
“ENHYPEN, Ky!” Leni memutar bola mata sambil tertawa. “Masih dong. Mereka penyelamat hidupku.”
Rizky ikut tertawa. “Oke. Nanti aku coba dengar lagunya. Ini belanjaanku. Sampai ketemu lagi, Leni. Semangat terus ya. Semoga tahun depan kamu dapat pekerjaan yang lebih baik dari ini.”
Setelah Rizky pergi, Leni menyandarkan punggung ke rak kasir. Interaksi itu… entah kenapa lebih segar daripada minuman energi mana pun. Ada pengakuan, ada penghargaan, ada seseorang yang melihat usaha kecilnya.
Ia meraih ponselnya, memutar “Polaroid Love”. Suara lembut ENHYPEN memenuhi ruang minimarket yang panas.
“Iya,” bisiknya, “aku semangat. Demi kue lapis Ibu. Demi masa depan. Demi mimpi-mimpiku.”
---