Lalu, dikala ajal menanti, lamat-lamat ia mendengar suara ibunya, "Senjaya, bangun, Nak! Bangun! Hei, kamu kenapa, Nak? Bangun!" Senjaya pun membuka matanya. Peluh keringat membanjiri tubuhnya. Sadarlah ia baru saja bermimpi buruk.
"Kenapa kamu, Nak? Kamu berteriak dalam tidurmu, membuat Ibu jadi ketakutan."
"Maaf, Bu, aku bermimpi buruk," jawab Senjaya.
"Mimpi apa kamu, Senjaya?" tanya Kinasih. Namun, Senjaya malu menceritakannya, hingga ia pun berdusta, "Ah, hanya mimpi jatuh ke jurang, Bu."
"Ada-ada saja kamu ini. Bangunlah. Hari sudah pagi. Ayahmu sebentar lagi berangkat. Buatlah minuman untuk Ayahmu, Ibu sedang memasak," perintah Kinasih.
"Baik, Bu."
Senjaya pun bangun untuk membantu Ibunya. Pagi itu Ki Darmala akan meninggalkan keluarganya kembali, kali ini untuk waktu yang cukup lama. Sebagai istri, Kinasih sebenarnya agak cemas dengan kepergian suaminya itu. Ia belum pernah ditinggal untuk waktu yang lama. Tapi Kinasih sudah pasrah. Ia tahu pekerjaan suaminya yang penuh dengan risiko. Terkadang ia pulang dengan penuh luka di tubuhnya. Kadang harus berjuang melawan racun yang terbenam di tubuhnya, entah karena serangan senjata beracun atau binatang berbisa. Itu semua sudah dipahami oleh Kinasih. Ia hanya bisa mendoakan suaminya agar selamat sampai pulang nanti. Tapi entah mengapa hari itu ia agak sedikit cemas dengan kepergian suaminya.
"Kakang, entah mengapa pagi ini hatiku cemas dengan kepergianmu. Apa tak bisa ditunda saja, Kang? Besok saja perginya," pinta Kinasih. Ki Darmala pun memandangi wajah istrinya yang kemayu itu, seakan-akan heran dengan pertanyaan itu.
"Ah, tak biasanya kamu, Nyai. Cemas kenapa? Kan aku sudah biasa seperti ini. Atau mungkin karena kali ini aku pergi untuk waktu yang lama?" tanya Ki Darmala.
"Mungkin, Kang. Entahlah, mungkin perasaanku saja. Tapi kuharap seperti hari-hari yang lalu, Kakang bisa menjaga diri dan pulang dengan utuh," ujar Kinasih. Ki Darmala pun makin heran. Lalu ia pun tersenyum.
"Haha. Utuh apanya, Kinasih? Utuh hatiku begitu? Apa kamu takut aku 'kecantol' janda-janda di kademangan yang jauh itu? Ah, kamu terlalu cemas, Kinasih. Percayalah, hatiku ini bulat-bulat hanya untukmu." Ki Darmala pun memeluk istrinya dan mencium keningnya.
"Sudahlah, Kinasih, tak biasanya kamu seperti ini. Percayalah pada Kakangmu ini. Pulang nanti aku akan membawa hati yang utuh," bujuk Ki Darmala. Kinasih pun tersenyum manja.
"Janji ya, Kang? Jangan kamu obral hatimu itu."
"Janji, sayang. Tak ada lagi wanita selain kamu di hatiku."
Ki Darmala pun pamit kepada istri dan anaknya. Berat juga hatinya melihat istri dan anaknya yang akan ditinggal untuk beberapa lama. Sebelum pergi, ia amati lagi pedang di pinggangnya yang selalu menemaninya ke mana saja. Pedang sakti yang selalu menyelamatkan dirinya dari marabahaya.
"Kita akan bertugas kembali, Jagabodas. Mudah-mudahan aku tak perlu mengeluarkanmu dari sarung kali ini." Dengan kudanya, Ki Darmala melaju menuju kademangan. Dilihatnya lagi sawahnya yang akan panen, tebing yang curam seakan mengelilingi Desa Sendang Galuh. Lalu bunga-bunga yang bermekaran di padang ilalang, memperindah suasana desa itu.
Sesampainya di kademangan, tampak Ki Demang Chandra bercakap ria dengan Warok Jangkrik dan juga keponakannya. Di luar halaman, lima murid Warok sudah bersiap-siap di samping pedati yang berisi harta benda. Ki Demang menyambut Ki Darmala lalu berbicara sebentar tentang biaya perjalanan. Ki Demang pun memberi beberapa kantung keping perak untuk biaya perjalanan itu.
Mereka pun bergerak meninggalkan kademangan. Mereka akan menyusuri Hutan Bedari yang liar dan lebat, lalu melewati Kali Wetan yang besar. Lanjut terus melewati beberapa kademangan dan padukuhan. Sebuah perjalanan yang jauh menanti mereka. Di depan, Ki Darma dan Warok Jangkrik dengan gagahnya berkuda, lalu pedati yang ditunggangi keponakan Ki Demang bersama barang bawaannya. Pedati itu dikelilingi oleh anak buah Warok Jangkrik yang berjalan kaki. Iring-iringan itu melaju santai.
Sementara itu, di petak sawah Ki Darmala, tampak Senjaya sibuk mengairi sawah, lalu mencabuti rumput benalu agar tak mengganggu tanaman padi. Di sela kesibukannya, ia teringat kembali mimpinya yang aneh, tapi terasa begitu nyata. Bulu kuduknya meremang kembali ketika ingat cengkraman kelabang raksasa itu. Begitu menyakitkan.
"Huh... untung hanya mimpi. Aku tak percaya ada kelabang sebesar itu," Senjaya bergumam. Selagi ia sibuk dan bercengkrama dengan lamunannya, tiba-tiba di pinggir petak itu ada seorang wanita memanggilnya.
"Hai, Senjaya, apa kamu tak lelah?" Suaranya merdu sekali di telinga Senjaya, bagai burung pelantun yang berkicau di pepohonan. Belum pernah ia seumur-umur mendengar seorang wanita memanggilnya kecuali ibunya, karena memang Senjaya tak pernah punya teman wanita. Kali itu dia terkejut bukan hanya karena suaranya, tapi karena ia juga mengenal namanya. Dikala Senjaya memalingkan wajahnya, terpukau pula ia dengan kecantikan gadis itu.
"Luar biasa... bidadari manakah yang mau memanggil namaku ini?" Senjaya terpana dalam hatinya. Ia pun terlena hingga diam tak mengucapkan apa-apa.
"Hai... kenapa kamu diam saja? Namamu Senjaya kan?"
"Oh, oh... ya, ya, bet-betul namaku Senjaya," Senjaya menjawab dengan gugupnya. Lalu ia melanjutkan kata-katanya, "Tapi... dari mana engkau tahu namaku?"
"Oh... kamu kenal Ki Chandra? Demang Bantar Mulya?"
"Ya, aku kenal, karena ia sering berkunjung ke rumah," Senjaya menjawab.
"Akulah anaknya yang terakhir. Kamu pasti tak pernah melihatku, karena aku biasa tinggal dengan nenekku. Sekarang aku kembali ke rumah ayahku, karena dua orang anaknya yang lain sudah pisah rumah dengan keluarganya masing-masing. Karena Ayah tinggal sendiri, jadi aku tak tega dan memutuskan untuk membantu Ayah di sini," jelas gadis itu.
"Oh, ya, pantas saja. Aku tak pernah melihatmu. Kalau anak Ki Demang yang lain aku kenal. Ya, memang benar mereka semua telah menikah," Senjaya menjawab.
"Begitulah, Senjaya. Aku pernah melihatmu sewaktu kamu dengan ayahmu datang ke kademangan. Aku ada di dalam. Ayahkulah yang memberitahu tentangmu. Hei, apa kamu mau minum? Apa kamu lapar, Senjaya? Marilah, ini aku masih ada sisa nasi dan lauk pauk. Para pekerja Ayah di sawah tak menghabiskannya," tawar gadis itu.
Sudah tentu Senjaya makin melambung hatinya. Ia berpikir, apakah ini karena mimpinya yang tadi malam? "Apa mimpi itu kadang artinya terbalik?" Senjaya bergumam dalam hati.
"Kamu diam lagi, Senjaya. Apa kamu tak mau, hah? Baiklah kalau tak mau." Senjaya pun tersadar dari lamunannya. Tak mau ia mengecewakan bidadari itu.
"Tunggu! Jangan pergi. A-aku hanya heran. Belum pernah aku berbicara dengan wanita sebelumnya, kecuali Ibuku sendiri," kata Senjaya. Gadis itu pun tersenyum manis.
"Hai, kenapa kamu tersenyum? Oh, ya, siapa namamu?" tanya Senjaya.
"Kamu aneh, Senjaya. Masa iya kamu tak punya teman wanita satu pun?" Gadis itu balik bertanya, heran dengan kejujuran Senjaya.
"Aku serius. Aku tak berbohong. Jujur, baru kali ini aku berbicara dengan gadis. Kamu belum menyebutkan namamu?" Gadis itu pun mendelik dan duduk tak jauh dari Senjaya.
"Oh, ya, namaku Ayuni. Kamu lapar tak? Marilah kita makan. Aku pun sudah lapar. Ayo, tak usah malu lah. Daripada makanan ini nanti terbuang," ajak Ayuni. Senjaya pun canggung jadinya.
"Ohh, nama yang cantik. Seperti orangnya," ucap Senjaya. Entah setan mana yang melancarkan bicaranya itu. Tiba-tiba saja keluar dari mulutnya tanpa sengaja. Ayuni pun tersipu malu.
"Ah, ternyata kamu pintar merayu, Senjaya."
"Oh, maaf, Ayuni. Tiba-tiba saja keluar perkataan itu. Tapi aku tak merayu, karena itulah yang kulihat kenyataannya," jelas Senjaya. Ayuni pun makin tersipu malu.
"Terima kasih, Senjaya. Oh, ya. Aku melihat Ayahmu tadi pagi pergi mengawal kepulangan Pamanku ke Jati Gandar," kata Ayuni.
"Begitulah pekerjaan Ayahku, Ayuni. Kali ini untuk waktu yang lama pula. Pekerjaan yang penuh dengan risiko," jawab Senjaya.
"Kenapa kamu tak ikut dengannya, Senjaya?"
"Aku harus menggantikan ayahku untuk mengurus petak-petak sawah ini. Lagipula aku juga harus menjaga Ibuku. Aku anak satu-satunya Ki Darmala," jelas Senjaya.
"Aku dengar tentang Ayahmu. Ia seorang yang ditakuti para perampok. Pasti ilmunya tinggi. Apa kamu pandai beladiri juga, Senjaya?" Hati Senjaya pun berdesir dikala mendengar pertanyaan itu.
"Ohh... aku tak berminat, Ayuni. Biarlah aku menjadi petani saja. Aku tak suka berkelahi," jawab Senjaya. Sebetulnya, Ayuni agak kecewa dengan jawaban itu.
"Hmm, Senjaya. Aku pun tak suka melihat orang berkelahi. Tapi suatu saat kalau aku nanti menikah, pastilah aku menginginkan suami yang bisa mempertahankan martabat keluarganya. Yang sudah tentu ia harus pandai beladiri. Bukankah wajar bila seorang wanita mendambakan suaminya bisa mengalahkan orang-orang yang mengganggu istrinya?" Hati Senjaya pun berdesir kembali.
"Entahlah, Ayuni. Mungkin sekarang aku tak memerlukannya. Tapi ke depan, mungkin saja aku berubah pikiran," ucap Senjaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 162 Episodes
Comments
Taufik Mcs
gas
2025-06-05
0
Wan Trado
tidak baik memberi tapi mengatakan daripada nanti terbuang.. karena bermakna makanan sisa dan terkesan merendahkan juga..
2024-12-12
2
🇮 🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
meskipun belum memikirkan istri. dia kan jaga ibunya, trus kalo terjadi sesuatu dia mau lawan pakai cangkul?
belum nyerang dia mental duluan🤭✌️
2024-08-05
3