Pengakuan Dinar

Rima mencoba membuka matanya yang terasa sangat berat. Wajah Eric terlihat sangat dekat dengannya.

Pria tampan itu tersenyum dan membelai rambut Rima dengan penuh rasa sayang. Pria itu menunduk dan mengecup dahi Rima dengan lembut. Rima terpana.

"Aku bisa saja memiliki tubuh dan menguasai dirimu saat ini. Tetapi tidak kulakukan karena rasa cinta yang terlalu dalam untukmu," bisik Eric sebelum akhirnya dia menjauh dan duduk di sebelah Rima.

Perlahan Rima bangkit dan duduk tegak. Mengusap wajah dengan tangan untuk meredam hasrat yang masih tertinggal.

Eric memandangi Rima yang menatapnya dengan pandangan aneh. Seakan sedang menyelidik dan menyelusup masuk ke dalam hatinya.

"Antarkan aku pulang, Ko," ucap gadis itu.

"Nanti saja. Aku masih ingin bersamamu di sini."

Rima mendengkus dan beringsut ke pinggir kasur. Berdiri dan melangkahkan kaki ke kamar mandi. Tak berapa lama kemudian dia kembali dan meraih tasnya. Membuka tas dan merogoh isinya. Mulai berdandan di depan cermin besar.

Eric terus memandanginya dari belakang. Tangannya mengusap rambut dan meremas dengan frustrasi. Kemudian, dia bangkit berdiri dan melangkah keluar menuju balkon.

"Aku mau pulang," ulang Rima.

Eric tetap bergeming hingga membuat Rima sedikit kesal. Dia melangkah ke balkon dan duduk di atas kursi.

"Ko, aku mau pulang," ulangnya.

Eric berbalik dan berjalan mendekati dan duduk di kursi sebelahnya.

Hening kembali. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

Eric meraih tangan Rima dan menggenggamnya erat. Memandangi wajah wanita yang sangat dicintainya itu dengan sorot mata yang lembut.

"Akan kupikirkan lagi tentang apa yang harus kulakukan agar bisa menikahimu," ujarnya.

Kemudian dia bangkit berdiri dan menarik tangan Rima. Mereka berpelukan dengan erat. Sejenak menumpahkan rasa dalam dada.

Kemudian Eric melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Rima. Mereka berjalan bersama keluar kamar.

***

Menjelang Magrib mereka sampai di rumah kosan. Setelah mengantar Rima, Eric langsung berangkat pulang ke kosannya yang tidak terlalu jauh dari situ.

Rama memandangi adiknya sambil menggelengkan kepala. Rima tersenyum sembari menjulurkan lidah.

"Katanya mau menjauh," cecar Rama yang mengikuti Rima hingga ke kamarnya.

"Enggak jadi. Dianya mau mempertimbangkan untuk berpindah agama," jawab Rima dengan riang.

"Bagaimana dengan Irwan?"

"Entahlah. Nanti kupikirkan lagi."

"Jangan begitu, Dek. Enggak adil buat Irwan," ujar Rama dengan dahi berkerut.

Rima terdiam. Dalam hati dia memang merasa bingung untuk memilih.

Rama hanya mampu memandangi punggung adiknya yang menghilang di balik pintu kamar.

Pria berkulit kuning langsat itu berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya agar Rima tidak jatuh ke dalam pelukan Eric.

Malam itu Rima mengurung diri di kamar dan tidak ikut berkumpul dengan yang lain. Hal itu tentu saja menjadi pertanyaan dari penghuni kosan lainnya.

"Tumben Rima di kamar?" ujar Hasni yang baru pulang kerja. Pria itu menyandarkan punggungnya ke dinding depan kamarnya sambil selonjoran.

"Lagi pusing katanya," jawab Dinar. Dalam hati dia mempunyai perasaan bahwa Rima sedang punya masalah. Sejenak dia beradu pandangan dengan Rama yang duduk di sebelah Hasan. Kemudian Dinar mengetik di ponselnya.

Ting

Bunyi pesan masuk di ponsel Rama.

[Rima kenapa, Mas?]

Rama mengangkat wajah dan berpandangan lagi dengan Dinar yang duduk di seberangnya.

[Lagi galau]

[Soal Eric?]

[Iya. Nanti kita ngobrol lagi. Tunggu yang lain masuk]

[Oke]

Dinar meletakkan lagi ponselnya ke atas karpet dan pura-pura mendengarkan cerita Nani. Sedangkan Rama pamit masuk ke kamarnya.

Malam pun semakin larut. Mereka mulai berpencar untuk kembali ke kamar masing-masing.

Dinar mengajak Afni untuk menemaninya masuk ke kamar Rama.

"Kalian bantuin aku, ya. Buat menyadarkan Rima. Entah kenapa aku merasa kurang sreg sama Eric. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan dibalik sikap ramahnya itu," ujar Rama.

"Ahh, kirain aku doang ngerasa ada yang aneh sama kakaknya Amanda itu. Ternyata Mas Rama juga ngerasain yang sama," sahut Afni.

"Aku pernah mengobrol dengan Amanda. Dia sendiri mengaku agak takut dengan sifat emosional Eric. Dulu Eric bahkan pernah dibawa ke psikolog anak karena sifat temperamentalnya itu," jelas Dinar sembari mengusap wajah dengan tisu.

"Hmm. Apa Rima nggak ngeh sama sifat Eric yang begitu?" tanya Afni kepada kedua rekannya.

"Mungkin dia masih belum sadar. Terpesona dengan ketampanan dan gaya romantis Eric," tukas Rama. Dia memijat pelipis yang mendadak berdenyut.

"Besok aku coba ngobrol sama Rima. Kebetulan besok libur," ujar Dinar.

Rama dan Afni mengangguk. Dalam hati mereka berdoa supaya Dinar berhasil.

***

Hujan gerimis yang turun sejak Subuh membuat orang semakin malas untuk beranjak dari peraduan. Tak terkecuali para penghuni kosan.

Pagi-pagi Bi Ai sudah datang dan langsung membersihkan rumah. Wanita paruh baya tersebut bekerja dengan cekatan.

"Bi." Suara seseorang mengagetkannya. Bi Ai berbalik dan melongo saat Rima keluar kamar dengan wajah kusut dan mata sembab.

"Bi, bisa tolong beliin sarapan buatku?" tanya Rima. Tangannya mengulurkan selembar uang dua puluh ribu rupiah.

"Iya, Neng. Mau beli apa?"

"Nasi kuning sama gorengan. Kembaliannya buat Bibi."

Bi Ai mengangguk dan langsung meletakkan sapu yang ia pegang, kemudian melangkah menuju pintu depan.

"Bi, mau ke mana?" tanya Dinar yang baru keluar dari kamar.

"Mau beli sarapan buat Neng Rima."

"Aku nitip juga dong," Dinar bergegas masuk ke kamar, mengambil uang dari dalam dompet dan keluar lagi dari kamar.

"Nasi uduknya lima bungkus, gorengannya sepuluh ribu. Kembaliannya buat Bibi."

"Nuhun, Neng," ucap Bi Ai dan kembali ia melangkahkan kaki menuju pintu depan.

Dinar menyeberang ke kamar Rima, mengetuk pintu dengan pelan.

"Ri, aku boleh masuk?"

"Masuk aja, Mbak," jawab Rima dari dalam kamar.

Dinar membuka pintu dan tak lupa menutupnya lagi. Mengayunkan langkah memasuki kamar Rima yang tampak bersih dan rapi.

"Kenapa? Habis nangis?" tanya Dinar sembari duduk di pinggir kasur.

Rima bangkit duduk dan menatap Dinar dengan wajah sedih.

"Aku lagi bingung, Mbak."

"Kalo kamu mau cerita mbak siap mendengarkan," sahut Dinar.

Rima mengangguk dan memulai ceritanya. Sesekali dia mengusap air mata yang luruh di pipinya yang mulus.

"Hmm ... lalu sekarang mau gimana?" tanya Dinar setelah Rima selesai bercerita.

"Entahlah, Mbak. Benar-benar bingung. Aku sayang sama kang Irwan. Tetapi di sisi lain aku juga sayang sama Ko Eric. Mereka punya daya tarik masing-masing yang membuat aku galau akut," jawab Rima sambil mengangkat kaki dan bertopang dagu di lututnya.

"Pikirkan baik-baik, Ri. Lakukan salat Istikharah. Minta petunjuk dari Tuhan akan jodoh terbaik untukmu. Jangan gegabah dalam mengambil keputusan. Karena pernikahan itu bukan main-main. Kalau bisa itu hanya sekali seumur hidup," jelas Dinar.

Wanita berhijab kuning itu terdiam sejenak sebelum melanjutkan omongannya.

"Aku pernah berada di posisi ini, dulu. Aku sedang ta'aruf dengan seorang teman dari Kakak sepupu, aku kemudian berkenalan dengan seorang pria di tempat kerjaku dulu. Dia yang baru masuk kerja itu tampak menawan. Sangat pandai menarik simpati dengan tutur kata yang sopan. Aku terpukau."

"Kedekatan kami di tempat kerja berlanjut hingga keluar. Gayanya yang menawan membuatku lupa dengan pria yang sudah lama ingin mempersuntingku. Hingga akhirnya aku mengambil keputusan untuk mengakhiri taaruf dan lebih memilih bersama dengan pria yang baru."

"Namun, ternyata aku salah. Pria yang kupilih itu ternyata sudah punya istri dan anak di kampung halamannya. Aku hancur. Terpuruk ke jurang yang dalam. Kecewa dibohongi selama hampir setahun. Dan yang lebih menyakitkan lagi, dia sengaja mendekatiku untuk bisa mengeruk harta warisan dari orang tua," lirih Dinar. Matanya berkaca-kaca.

"Untunglah aku diselamatkam oleh seorang teman yang dari awal memang kurang menyukai pria itu. Temanku ini juga yang mencari tahu tentang siapa sebenarnya pria itu sebelum akhirnya memberikan bukti-bukti yang tidak terbantahkan."

"Hubungan kami langsung kuakhiri setelah aku menginterogasinya. Sejak itu aku menjauhinya di kantor. Sampai dia pindah kerja ke tempat lain karena merasa dimusuhi oleh teman-teman lainnya."

"Pria yang dulu melakukan taaruf sudah menikah dan sekarang sedang menantikan kelahiran anak pertamanya. Dia menikah dengan teman kuliahku dulu."

"Maksudku bercerita begini supaya kamu tidak salah langkah dan menyesal seumur hidup seperti aku, Ri. Cukup aku aja yang bodoh karena terpukau cinta semu. Melepaskan berlian demi batu kali," Dinar mengakhiri ceritanya dengan berurai air mata.

Rima beringsut mendekat dan memeluk Dinar dari samping. Kakak angkatnya ini sedang menangisi masa lalunya yang menyedihkan.

Rima terdiam dan berpikir panjang tentang kedua pria itu. Kenangan manis dengan Irwan berkelebat di benaknya.

"Neng, ini sarapannya," ujar Bi Ai dari balik pintu.

Dinar bergegas bangkit dari kasur dan berjalan keluar. Tak lama kemudian dia kembali dengan dua buah kantong plastik dan meletakkannya di atas lantai kamar. Kemudian dia menuju dapur Rima, mengambil dua buah piring dan sendok. Dan berjalan kembali ke kamar.

Dinar menyerahkan satu piring dan sendok ke Rima yang sudah turun dari kasur. Kemudian dia duduk di sebelahnya. Mereka memulai sarapan sambil melanjutkan obrolan dengan santai.

Perlahan kegalauan hati Rima mulai berkurang seiring dengan beban hatinya yang tercurahkan.

Saat Dinar telah keluar dari kamarnya, Rima menatap foto kenangan saat ia dan Irwan berlibur ke puncak beberapa bulan lalu.

Masih terbayang jelas di ingatannya saat pria itu bergerak takut-takut untuk menciuminya di mobil. Sejak berpacaran hingga bertunangan, Irwan tidak pernah sekalipun mencium bibirnya.

Dia sendiri merasa heran kenapa tiba-tiba pria itu berani menciumnya. Mendadak dia merasa sangat rindu pada pria kalem dan penyayang tersebut. Tangannya meraih ponsel dan hendak menelepon Irwan. Senyuman tersungging di wajahnya saat melihat ada telepon masuk dari pria tersebut.

"Assalamualaikum, Kang," sapa Rima dengan hangat.

"Waalaikumsalam, Sayang. Tebak Akang lagi di mana?" pria itu bertanya yang membuat Rima mengernyitkan dahi.

"Enggak kelihatan atuh. Gimana bisa nebak," sahut Rima.

Tok, tok, tok.

Ketukan di pintu depan terdengar bersamaan dengan putusnya sambungan telepon dari Irwan.

Rima beringsut ke pinggir kasur, berdiri dan berjalan ke pintu. "Akang!" jeritnya saat melihat Irwan berdiri di depan jendelanya sambil melambaikan tangan.

Dengan cepat Rima membuka pintu dan menarik tangan pria yang dirindukannya itu masuk ke dalam kamar.

Rima langsung memeluk tubuh Irwan dengan erat setelah pintu tertutup. Irwan mengecup puncak kepala kekasihnya tersebut dengan penuh rasa sayang.

"Kok nggak ngomong mau datang?" tanya Rima dengan manja.

"Sengaja kasih kejutan. Sukses, kan?" Pria itu bertanya balik.

Rima mengangguk semangat. Pelukannya semakin erat.

"Akang udah nggak ngambil libur dari dua minggu yang lalu. Jadi sekarang bisa liburan di sini lebih lama," ujar Irwan.

Rima menengadah dan tersenyum manis. Mata bulatnya mengerjap.

"Mata kamu kenapa bengkak? Habis nangis?" tanya Irwan. Tangannya bergerak mengusap sisa air mata Rima.

"Nangis karena kangen sama Akang," sahut Rima.

"Cupcupcup. Gak usah nangis lagi. Akang udah di sini."

Mereka berpelukan lagi. Saling melepaskan kerinduan yang membuncah dalam dada.

***

"Apa? Mau nyewa kamarku buat indehoi?" goda Rama saat Rima meminta izin agar Irwan bisa menginap di situ.

"Ihhh. Apaan sih, Mas!" Rima mencubit lengan Rama dengan gemas.

Irwan tersenyum simpul di samping Rima. Dia sama sekali tidak merasa keberatan dengan kedekatan Rima dan Rama, karena dia tahu bila Rama menyayangi Rima hanya sebatas adik.

"Iya, boleh. Pake aja. Kebetulan besok sampai lusa aku ada acara gathering sama teman-teman kantor. Jadi kamarku kosong," jawab Rama.

"Makasih, Mas," ujar Irwan dan Rima bersamaan.

Irwan mengedipkan sebelah matanya pada Rama yang membalas dengan anggukan.

Ramalah yang menghubungi Irwan kemarin sore dan memintanya segera datang karena Eric semakin dekat dengan Rima.

Irwan segera menghadap manajer dan meminta izin cuti dadakan untuk menambah hari liburnya yang sudah ia kumpulkan. Dalam hati ia bertekad untuk melindungi Rima dari Eric dengan cara apa pun.

Siang harinya Eric datang ke kosan. Ia menelan rasa kecewa karena Rima ternyata telah pergi bersama Irwan.

Eric kembali lagi ke kosannya dan mempersiapkan peralatan untuk ke pusat binaraga.

Di tempat itu ia menumpahkan segala kemarahan dengan berlari di treadmill secara berlebihan. Dirasa belum cukup dia beralih menggunakan berbagai peralatan di sana. Memforsir seluruh tenaga untuk menghilangkan amarah dalam dada.

Setelah puas berolahraga dia segera kembali ke rumah kosannya. Suasana kosan yang sepi karena penghuninya kebanyakan pergi keluar membuat ia merasa bosan.

Berulang kali dia menghubungi Rima namun selalu tidak menyambung. Hanya suara operator yang menyambut teleponnya.

Malam mulai beranjak naik. Eric yang frustrasi akhirnya pergi ke sebuah klub tempat di mana teman-temannya sering berkunjung. Di sana dia bertemu dengan ketiga temannya. Mereka mabuk-mabukan sambil berjudi.

Seorang perempuan penghibur mendekati Eric yang sudah mabuk. Tanpa banyak kata mereka melakukan transaksi, kemudian mereka beranjak naik menuju lantai atas klub yang merupakan tempat prostitusi terselubung.

"Siapa itu Rima?" tanya wanita itu setelah mereka selesai berhubungan intim. Tangannya bergerak mengusap dada Eric yang bidang.

Eric tertegun sejenak sebelum akhirnya bertanya balik. "Kenapa kamu menanyakan Rima?"

"Karena kamu terus menyebut namanya dari tadi," jawab wanita berambut ikal tersebut.

"Rima ... perempuan yang kucintai," jawab Eric pelan.

"Kenapa dengan dia, hingga kamu mabuk-mabukan seperti ini?"

Eric terdiam. Dalam benaknya terbayang wajah cantik Rima.

"Karena dia sudah bertunangan dengan orang lain."

"Apa kamu tidak ingin merebutnya?"

Eric menoleh dan memandangi wanita yang memakai riasan tebal itu. "Pasti. Aku akan merebut dan membuatnya jadi milikku. Selamanya!"

Terpopuler

Comments

Ganuwa Gunawan

Ganuwa Gunawan

dasar jablay keppo..

2022-09-16

1

Helni mutiara

Helni mutiara

❤❤❤❤

2021-02-18

0

Listiana Ngawi

Listiana Ngawi

wah ternyata eric cwok gak bener

2021-02-06

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!