Masak dan makan bersama

Suara mesin cuci yang berputar membangunkan Triska dari tidur lelapnya. Tangannya bergerak mengucek mata. Kemudian menggeliat sebentar di atas tempat tidur.

"Ya ampun. Udah jam tujuh," gumamnya saat melihat jam dinding.

Di sebelahnya Tia masih tidur dengan nyenyak. Triska tidak berniat membangunkannya karena merasa kasihan.

Dia beringsut ke pinggir tempat tidur. Diam sejenak untuk mengumpulkan nyawa yang masih di awang-awang. Kemudian dia bangkit berdiri dan melangkah pelan keluar kamar.

"Karin udah berangkat tadi jam enam,. Dia titip salam ke kalian. Nanti mau telepon ke kamu ceunah," ujar Dinar dari seberang kamar.

(Ceunah \= katanya)

Triska mengangguk dan meneruskan langkahnya menuju kamar.

Sesampainya di sana dia meraih handuk dan langsung masuk ke kamar mandi.

"Ris, aku mau beli nasi uduk. Mau nitip nggak?" teriak Dinar dari balik pintu kamar Triska yang sedikit terbuka.

"Boleh, Mbak. Sekalian beliin buat yang lainnya, ya. Nanti kuganti uangnya," sahut Triska sambil melongok keluar pintu kamar mandi.

"Oke. Pake gorengan nggak?"

"Iya. Beli sepuluh ribu gorengannya."

"Sip."

Dinar pun menutup pintu kamar Triska dan melangkahkan kaki ke luar kosan.

Sinar matahari pagi yang hangat serta udara yang masih bersih menyambutnya sesaat setelah keluar dari pintu kosan.

Warung tempat penjual nasi uduk terlihat cukup ramai. Demikian juga dengan gerobak tukang gorengan yang bersebelahan dengan warung nasi uduk yang juga menjual aneka kue.

Setelah membeli delapan nasi uduk dan gorengan sebanyak sepuluh ribu rupiah, Dinar menyempatkan diri untuk membeli sayur kangkung dan ikan tuna serta aneka bumbu di gerobak tukang sayur yang mangkal di dekat gerobak gorengan. Setelah selesai berbelanja dia pun kembali berjalan menuju rumah kosan.

"Makasih, ya, Mbak. Ini uangnya," Triska mengulurkan selembar uang berwarna biru ke tangan Dinar.

Kemudian dia bergegas mengeluarkan dua bungkus nasi uduk dan beberapa bakwan dari kantong plastik. Mereka sarapan di teras depan kamar Dinar sembari mengobrol ringan.

"Mbak mau masak?" tanya Triska saat melihat Dinar menyiangi kangkung setelah mereka selesai sarapan.

"Iya. Bosen makan di luar. Pengen masak sendiri aja," jawab Dinar.

"Aku juga ahh. Tukang sayurnya masih ada gak ya?"

"Masih. Biasanya dia nongkrong sampai jam sembilan."

Triska bergegas kembali ke kamarnya. Nyaris bertabrakan dengan Zein yang baru keluar dari kamar.

"Mau ke mana buru-buru?" tanya Zein sambil menjemur handuk di jemuran besi depan kamarnya.

"Mau beli sayur sama ikan. Mau masak sendiri aja deh," sahut Triska.

"Beli agak banyak, ya. Ntar siang kita makan bareng sama yang lainnya juga."

Triska mengangguk. Berlari ke kamarnya untuk mengambil dompet dan bergegas keluar rumah.

"Ini ada nasi uduk sama gorengan, Zein," ujar Dinar.

Zein pun melangkah mendekat dan mengambil sebungkus nasi uduk dan dua tempe goreng. Duduk di lantai sambil menyandarkan punggung ke dinding.

"Wangi gorengan nih," ujar Ivan. Dia keluar kamar dengan handuk di leher dan tampang kusut.

"Mandi dulu sana! Baru sarapan!" ujar Dinar sambil mendelik tajam ke Ivan yang langsung berbalik masuk kembali ke kamarnya sambil menggerutu.

"Duh. Ngadepin si Ivan aku jadi kayak emaknya, ya, Zein," ucap Dinar seraya tersenyum.

"Dia emang kudu digituin sih, moga aja ntar Tia bisa merubah gaya cueknya Ivan," sahut Zein sambil terus mengunyah.

Bunyi pagar yang dibuka lebar membuat mereka saling berpandangan. Tak lama kemudian terdengar suara Triska sedang mengobrol dengan seseorang.

"Mbak, ini ada yang nanyain kosan," ujar Triska saat melangkah masuk ke rumah. Di belakangnya tampak seorang pria berkulit putih yang tinggi, pria itu tersenyum ke arah Zein dan Dinar.

"Permisi. Tadi saya ngobrol sama ibu pemilik warung kopi di pojok situ. Katanya di sini ada kamar yang dikos-kan," sapa pria itu.

"O iya. Ada satu kamar lagi yang kosong. Mari, saya antar," sahut Dinar sembari bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar paling ujung di situ. Pria itu mengikuti langkah Dinar.

"Beli apa, Say?" tanya Zein.

"Beli kangkung, bumbu-bumbu sama ikan tuna. Ntar mau disatuin sama masakannya Mbak Dinar," jawab Triska. Dia duduk di sebelah Zein dan langsung menyiangi kangkung.

Pintu kamar Tia terbuka bersamaan dengan pintu kamar Ivan. Mereka bergerak menghampiri Zein dan Triska.

"Sarapan," tunjuk Triska pada beberapa bungkus nasi uduk.

Tia dan Ivan duduk di sebelah Triska. Kemudian mereka mengambil bungkusan nasi uduk dan gorengan yang tersedia.

"Ada yang lagi lihat kamar?" tunjuk Ivan ke pintu kamar ujung yang terbuka.

"Iya. Moga aja jadi. Kosan makin ramai kan seru," sahut Triska.

Setelah menghabiskan sarapannya Tia membantu Triska menyiangi kangkung. Sementara Zein mulai mengulek sambal. Ivan membantu mencuci ikan, tak lupa dia juga mengucurkan air jeruk nipis ke atas ikan.

"Teman-teman, mari kita sambut penghuni baru kosan kita," ujar Dinar sambil menunjuk pria di belakangnya.

"Perkenalkan, nama saya Ary," pria itu memperkenalkan dirinya.

Setelah perkenalan kemudian pria itu pamit undur diri dan akan langsung pindah nanti sore.

Siang harinya semua penghuni berkumpul di garasi motor. Hasni yang baru pulang langsung ikut makan bersama yang lainnya.

"Gimana kalau setiap hari libur kita kumpul kayak gini? Tiap orang urunan dua puluh ribu rupiah buat dua kali makan. Masaknya rame-rame," usul Rama.

"Setuju. Bosan juga aku makan di luar. Menu rumahan kayak gini lebih enak," puji Ivan sembari mengacungkan jempolnya ke arah ketiga perempuan yang hari itu menjadi koki.

Yang lain pun mengiyakan ajakan Rama.

"Minggu depan kita jadi kan ke Bogor buat haulnya Rima?" tanya Dinar.

"InsyaAllah. Yang lain gimana?" Rama balik bertanya.

"Aku nyusul aja, ya. Ada kerjaan di Jakarta," sahut Hasni.

"Kami tinggal aja deh. Mau lembur," sahut Satya yang diiyakan Chandra.

"Gak takut cuma berdua di sini?" ledek Ivan.

"Gak lah, Mas. Rumah saya di kampung lebih seram daripada di sini," sahut Satya sembari tersenyum.

"Cerita dong, aku pengen dengar," pinta Triska. Dia terlihat sangat antusias.

"Di kampung saya itu jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya cukup jauh. Biasanya ada kebun yang menjadi pembatas tiap lahan. Rumah sederhana banget, Mbak. Tapi ngangenin," Satya memulai

ceritanya seraya tersenyum.

"Kalo rumah Mas Satya masih di bagian depan kampung. Kalo rumah saya masuk lagi ke dalamnya. Sekitar tiga puluh menit kalo berjalan kaki," tukas Chandra. Matanya menerawang mengingat rumah di kampung.

"Kamar mandinya juga di luar rumah. Air masih harus ditimba dari sumur. Saya lagi nabung buat bikin kamar mandi di dalam rumah. Biar bapak dan Ibu nggak perlu jalan keluar kalo mau ke kamar mandi," lanjut Satya.

"Apalagi rumah saya, kamar mandi cuma dari bilik bambu yang tingginya cuma sampai leher. Jadi kalo lagi mandi itu bisa sambil lihat pemandangan di luar," tukas Chandra sambil tertawa.

"Pernah lihat penampakan nggak kalo lagi di luar pas malam hari?" tanya Tia.

"Sering, Mbak. Pernah ada kejadian menyeramkan yang membuat warga desa takut untuk keluar setiap selesai Magrib. Tetangga yang rumahnya paling dekat dengan rumah orang tua saya tu meninggalnya gak ketahuan. Pas udah kecium bau busuk baru tetangga lain ngeh kalo beliau sudah meninggal. Si mbah itu tinggal sendirian setelah ditinggal suaminya beberapa tahun lalu. Kedua anaknya tinggal jauh dari situ," jelas Satya.

"Selama hampir dua bulan dia gentayangan. Ngetok rumah tiap tetangga, nawarin kue dagangannya. Semasa hidup beliau memang penjual kue. Biasanya Ibu saya yang suka melongok si Mbah. Tapi waktu itu kebetulan Ibu lagi di kampung sebelah, menemani Kakak tertua saya melahirkan. Jadi gak ada yang merhatiin kalo si Mbah nggak nongol dua hari," lanjut Satya.

"Gara-gara itu aku nggak berani lewat situ berbulan-bulan. Kalo mau ke sekolah itu mutar lewat pematang sawah. Soalnya temanku pernah lewat situ pas pulang mengaji. Si Mbah lagi nyapu di pekarangannya. Sampai demam tiga hari itu temanku," tukas Chandra sambil bergidik ngeri.

"Kalian berapa bersaudara?" tanya Dinar.

"Saya tiga bersaudara, Mbak. Yang paling tua itu Mbak Eka. Yang kedua itu Mas Agus. Saya yang terakhir," jawab Satya.

"Kalo saya empat bersaudara. Yang paling tua sama yang kedua itu perempuan. Saya sama yang bungsu laki-laki," jelas Chandra.

"Kayaknya seru, ya, kalo tinggal di kampung. Aku dari lahir di kota terus," ujar Tia.

"Kapan-kapan main ke tempat saya, Mbak. Cuma kudu bawa kamus bahasa Jawa. Penduduknya kebanyakan masih sulit berkomunikasi dengan bahasa Indonesia," sambung Satya sambil terkekeh.

"Akhir tahun boleh tuh kita liburan ke kampungnya mereka. Sekali-sekali menginap di rumah sederhana. Kali aja para cewek ini bisa nyambi jadi petani," kelakar Ivan yang disambut lemparan sandal oleh ketiga perempuan tersebut.

"Ehh kalo di Pekanbaru sama Bangka itu kaya' gimana sih Bang Zein dan Bang Hasni? Dari dulu aku penasaran sama wilayah Sumatera," ujar Chandra dengan wajah antusias.

Zein berpandangan sejenak dengan Hasni sebelum akhirnya menjawab dengan santai.

"Pekanbaru itu kotanya nggak terlalu besar. Hampir sama aja dengan di sini. Bedanya cuma udara yang panas sama bahasa yang dipergunakan," jawab Zein.

"Bangka jelas lebih kecil daripada Pekanbaru. Hawanya juga lebih panas karena banyak pantai. Bahasa di sana itu percampuran antara bahasa melayu dan Palembang. Mayoritas penduduknya beragama Islam. Banyak juga yang masih menganut aliran kepercayaan Kong Hu Chu. Etnis Tionghoa di sana cukup banyak," jelas Hasni.

"Kalo di Pekanbaru bahasanya kebanyakan Minang sama melayu. Hampir mirip dengan melayunya orang Malaysia, karena asal muasal bahasa negara itu dari bahasa melayu," sambung Zein.

"Coba ngomong, Bang," pinta Ivan.

"Hmm ... mau ngomong apa?" tanya Zein.

"Perkenalan diri aja."

"Oke. Name saye Zainal Ervansyah. Umur saye dua puloh tujoh tahun. Saye anak pertame dari tige bersaudare. Adek kedue saye itu perempuan. Panggilannye Zee. Adek bungsu saye itu laki-laki. Namenye Zaidan," jelas Zein.

"Kayak dengar dialog di film upin ipin, ya?" celetuk Tia sambil tersenyum.

"Ho oh. Lucu tapi seru," sela Triska.

"Kamu kudu belajar, Say. Kalo berkunjung ke sana biar nggak kagok ngobrol sama Ibu," ujar Zein. Tangannya menggenggam tangan Triska. Tak peduli Ivan bersiul meledek.

"Eh, tadi siapa yang belanja?" tanya Hasni sembari mengeluarkan dompet dari saku celana.

"Aku!" Ivan menjawab semangat yang langsung dihadiahi cubitan oleh Tia.

"Dinar sama Triska," jawab Rama. Dia sendiri mengeluarkan selembar uang berwarna biru dan memberikannya ke Triska.

Hasni pun mengulurkan selembar uang yang sama warnanya,"Ini sekalian buat makan malam, ya."

"Tapi ntar malam lauknya cuma telur dadar sama sarden, nggak apa-apa, Bang?" tanya Triska.

"Iya. Nggak apa-apa," sahut Hasni sambil bangkit berdiri dan beranjak ke kamarnya untuk beristirahat.

"Berasnya masih ada, Mbak?" tanya Satya.

"Habis euy. Ntar sore aku mau beli ke warung. Sekarang mau rebahan dulu," jawab Dinar.

"Gak usah beli, Mbak. Saya masih punya beras. Bawa dari kampung dua minggu lalu waktu Chandra datang," sahut Satya sambil bangkit berdiri menuju kamarnya. Tak berapa lama kemudian dia kembali sambil membawa karung beras.

"Waduh. Banyak amat," ujar Triska.

"Sekalian buat stok kita makan aja, Mbak. Saya numpang ke rice cooker punya Mbak, ya," ujar Satya.

"Oke. Ntar rice cooker kukeluarin aja. Taruh di dapur. Minta tolong sama Bi Ai buat masakin nasi buat kita pas dia beres kerja. Jadi kita pulang sore nasi udah ada," lanjut Triska.

"Ide yang bagus. Ntar sore kita beli telur agak banyak aja. Yang mau makan malam tinggal bikin sendiri," ujar Zein.

"Aku nyumbang minyak sama bumbu-bumbu ya," ujar Ivan.

"Nah, kan. Jadi lengkap menu harian kita. Masak dan makan bareng aja biar lebih hemat," ujar Dinar.

Semuanya mengangguk setuju.

Malam harinya setelah salat Isya dan makan malam bersama, Zein dan Satya latihan bersama lagi. Kali ini murid mereka bertambah. Selain Triska dan Chandra, Ivan, Rama dan Tia juga ikutan.

Sementara Hasni, Dinar dan Ary sang penghuni baru, memilih mengobrol di teras rumah sembari melihat yang sedang latihan olah napas.

"Enggak takut kan sama hantu?" tanya Hasni ke Ary. Dia dan Dinar telah menceritakan tentang Rima supaya Ary nggak terkejut.

"Enggak, Bang," jawab Ary.

"Minggu depan mau ikut ke Bogor?" tanya Dinar.

"Kayaknya nggak, Mbak. Saya mau ngerjain laporan dari kantor. Baru pindah ke sini beberapa hari yang lalu dari Tanggerang. Jadi banyak yang harus diberesin," jawab Ary.

"Berarti ada temannya Satya sama Chandra," tukas Hasni.

Saat yang lain selesai latihan, mereka pun bergabung duduk di teras dan mengobrol ringan. Setelah itu mereka bubar dan masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat.

Udara malam yang dingin dan suasana yang sepi membuat seluruh penghuni kosan tertidur dengan nyenyak, hingga tidak menyadari sosok Rima yang muncul di teras rumah.

Sosok itu berjalan mondar mandir hingga akhirnya berhenti tepat di bawah pohon mangga. Dia duduk di bangku kecil yang memang tersedia di sana sembari bernyanyi lirih. Tatapannya tidak lepas mengarah ke rumah kosan. Tempat di mana dia pernah merasa bahagia semasa hidupnya.

Terpopuler

Comments

Indah Delima27

Indah Delima27

ceritannya enak

2021-10-23

1

🐝⃞⃟𝕾𝕳ᴹᵃˢDANA°𝐍𝐍᭄

🐝⃞⃟𝕾𝕳ᴹᵃˢDANA°𝐍𝐍᭄

sebenarnya apa sihh yg di inginkan rima😳

2021-03-21

0

Helni mutiara

Helni mutiara

jadi kangen kampung..

2021-02-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!