Pengantin Cempaka

Pengantin Cempaka

Triska

🦉

Rinai hujan yang mengguyur sejak sore hari membuat udara kota Bandung terasa semakin dingin. Embun menggantung di antara pepohonan tinggi di halaman depan rumah. Sinar terang dari lampu sorot di depan rumah tidak mampu menembus pekatnya malam.

Di dalam salah satu kamar yang terletak di pojok kiri rumah, Triska menggeliat di depan meja kerja. Merentangkan tangan dan memutar kepalanya beberapa kali.

Jemari lentiknya bergerak mematikan laptop. Kemudian bangkit dari kursi, melangkahkan kaki menuju tempat tidur yang sudah melambai sejak tadi.

Menepuk-nepuk bantal, merebahkan diri dan mencari posisi enak buat tidur.

Ssrrreeekkk.

Ssrrreeekkk.

Triska membuka kembali matanya, melihat sekeliling kamar sembari menajamkan pendengaran.

Ssrrreeekkk.

Ssrrreeekkk.

Suara itu terdengar lagi. Triska bangkit dan berjalan mendekati dinding pembatas rumah kontrakannya. Menempelkan telinga untuk bisa mendengar lebih jelas.

Sssrrreeekkk.

Sssrrreeekkk.

Brrruuukkk!

Suara benda yang diseret kemudian dibenturkan ke dinding terdengar tepat di balik tembok tempat Triska berdiri.

Terkaget sendiri, namun ia tetap tidak beranjak. Malah semakin merapatkan tubuh pada dinding.

Sayup-sayup terdengar suara nyanyian seorang wanita. Suaranya yang lembut mengalun merdu menyanyikan lagu berbahasa Inggris.

Triska merasa pernah mendengar lagu yang dinyanyikan itu. Mencoba mengingat sembari bersenandung lirih.

Brrraaakkk!

Brrraaakkk!

Suara benda digeser dengan kasar, sesaat kemudian kembali hening.

Triska masih menempelkan tubuh seperti cicak di dinding. Selama beberapa saat dia masih bertahan di posisinya.

Sekian lama hening, akhirnya dia berhenti jadi cicak dan menjauh dari dinding.

Kakinya melangkah menuju dapur kecil. Mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya. Meminum beberapa teguk sembari memandang ke arah pintu depan.

Sekilas dia merasa ada bayangan lewat di teras depan kamar.

Triska sontak berlari keluar dapur. Membuka pintu depan dengan cepat. Celingukan.

Keadaan di teras yang merupakan lorong panjang rumah kontrakan ini sangat sepi dan sunyi. Tidak ada seorang pun yang berada di luar.

Bentuk rumah kontrakan ini seperti bujur sangkar dengan taman kecil di tengah-tengah sebagai pemisah. Total ada sepuluh kamar di sini. Penghuninya campuran laki-laki dan perempuan yang semuanya pekerja.

Sejak kepindahannya lima hari lalu, Triska baru kenal dengan dua penghuni lama. Teh Afni dan Mbak Dinar.

Triska melangkah ragu-ragu ke kamar sebelah. Pintunya tertutup rapat. Demikian juga gordennya.

Triska mencoba mengintip dari jendela tapi ruangan dalam yang gelap membuatnya kesulitan melihat dengan jelas.

Srrrttttt.

Terasa ada yang melintas di dalam sana. Triska mencoba menajamkan penglihatan. Tiba-tiba bulu kuduknya merinding. Dia mengelus pundak sembari tetap mengintip.

"Ngapain, Teh?" tanya seseorang dari belakang Triska.

Dia berbalik dan terkejut saat melihat siapa yang menegurnya barusan.

Pria bertubuh tinggi dengan kulit kecoklatan yang tinggal di seberang kontrakan Triska.

"Ini, di sini tadi ada orang lagi nyanyi," jawab Triska. Pandangannya kembali tertuju pada pintu yang tertutup di depannya.

"Nyanyi? Aku kok gak dengar, ya?" ucap pria itu sambil menggaruk-garuk kepala. Mata bulatnya dipicingkan.

Triska berbalik lagi memandang pria itu. Mereka saling bertatapan dengan bingung.

"Ada apa ini?" tanya seorang perempuan dewasa yang keluar dari kamar paling depan di kontrakan itu.

"Ini, Teh Afni, Teteh sipit ini tadi bilang ada yang nyanyi dari kamar ini," ucap pria tinggi.

"What? Teteh sipit?" gumam Triska dalam hati.

Seketika wajah Afni memucat. Kakinya bergerak mundur selangkah.

"Kamu yakin dengar itu?" lirihnya.

Triska mengangguk.

Tubuh Afni tiba-tiba ambruk ke lantai. Dia pingsan.

***

"Sudah berapa kali kamu mendengar nyanyian dari kamar itu?" tanya Dinar. Tangannya sibuk menggosok-gosok kaki Afni. Aroma minyak kayu putih menguar di udara.

"Baru kali ini sih, Mbak," jawab Triska.

"Mungkin, Teteh sipit ini salah dengar," sela pria tinggi itu dari depan pintu kamar Dinar yang terbuka.

Triska mendelik saat dipanggil teteh sipit. Pria itu cengengesan.

"Namaku Triska. Bukan teteh sipit!"

"Sorry. Habisnya aku kan gak tau namamu."

"Sekarang kan udah tau jadi jangan panggil teteh sipit lagi!"

"Oke ... oke," sahut pria itu seraya mengangkat kedua tangannya ke atas. Cengiran masih melebar di wajahnya.

"Jangan digodain terus, Ivan!" hardik Dinar.

Afni yang sudah sadar dari pingsan menarik tangan Dinar.

"Aku tidur di sini, ya? Takut Rima nongol lagi," bisiknya pelan. Dinar mengangguk.

"Rima itu siapa?" tanya Triska. Dia sangat penasaran kenapa Afni sampai pingsan.

Dinar dan Afni saling memandang. Kemudian berbalik menatap Triska yang duduk tegak bersila.

"Rima itu yang dulu tinggal di sini. Tepatnya di kamar sebelah kamarmu itu," jawab Dinar pelan.

"Dan dia ... sudah meninggal setahun yang lalu," lanjut Afni sembari menutup wajahnya dengan tangan. Isak tangisnya mulai terdengar. Dinar mengusap-usap punggung temannya itu dengan pelan.

"Terus gimana?" Kali ini pria yang bernama Ivan yang bertanya. Dia sendiri baru tinggal sebulan di sini.

"Menurut dua orang yang menempati kamar Triska dulu, mereka sering mendengar bunyi kursi diseret dan nyanyian seorang wanita dari kamar bekas Rima," jelas Dinar.

"Pernah ada yang menempati kamar bekas Rima itu, sepasang suami istri muda. Menurut pengakuan mereka, Rima sering muncul di ruang tamu. Duduk di kursi sambil bernyanyi lagu favoritnya."

"Akhirnya pasangan itu pindah dari sini karena sudah tidak tahan dihantui Rima. Walaupun mereka tidak bisa melihat jelas wajahnya, tapi mereka sering melihat sesosok perempuan berbaju pengantin berwarna broken white bernoda darah."

Dinar berhenti bercerita. Tangannya mengusap wajah yang terlihat lelah.

"Apa dia meninggal tak wajar?" tanya Ivan yang sudah berpindah ke sebelah Triska.

"Iya. Dia ... dibunuh ...."

***

Malam itu Triska tidur dengan gelisah. Terbangun beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar terjaga dan tidak bisa tidur kembali.

Melirik jam bulat di dinding, sudah pukul 03.00 wib. Ia berbaring miring ke kiri menghadap dinding pembatas kamar.

Dug!

Suara benda dibenturkan ke dinding. Triska menajamkan pendengaran. Matanya terbuka lebar. Bernapas dengan pelan sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

Dug!

Suara itu terdengar lagi. Triska sontak bangun dan duduk tegak di atas kasur. Tangannya meraih ikat rambut di bantal sebelah, dan mengikat rambutnya membentuk ekor kuda. Meraih ponsel di dekat bantal dan mengaktifkan kamera video.

Bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan ke arah ruang tamu mungil di bagian depan. Mengarahkan hape ke sekeliling ruangan, mencoba menangkap suara atau gerakan.

Dug! Dug! Dug!

Brrraaakkk!

Brrraaakkk!

"Astagfirullah! " serunya saat sekelebat bayangan terlihat dari celah bawah pintu.

Triska menutup mulut dengan tangan kiri untuk menahan jeritan yang nyaris keluar. Tangan kanannya bergerak mengarahkan ponsel ke pintu.

Dalam hati dia berusaha mengingat nasehat ibunya untuk tidak takut pada jin mana pun.

Namun menghadapi kondisi nyata seperti ini membuat nyalinya menciut.

Susah payah dia mengatur napas yang terasa semakin berat. Ingin lari tapi kakinya seakan menancap di lantai. Keringat mengucur dari kepala hingga ke punggung.

Kkkrrreeettt.

Kkkrrreeettt.

Kkkrrreeettt.

Bunyi menyeramkan di kaca jendela menambah ketakutannya. Seolah ada tangan berkuku panjang yang mencakar kaca.

Lututnya mulai goyah. Tubuh menggelosor ke lantai dan menabrak dinding pembatas.

Kkkrrreeettt.

Kkkrrreeettt.

Bunyi cakaran semakin kencang. Triska menutup wajah dengan kedua tangan sembari menangis. Dia sangat ketakutan. Apalagi dia hanya sendiri di sini.

Tiba-tiba hening. Suasana kembali sunyi.

Triska membuka jari yang menutupi bagian mata dan mengintip dari celah jari ke arah jendela. Suara itu benar-benar menghilang. Bayangan di balik pintu pun sudah tidak ada.

Sayup-sayup terdengar suara tahrim bergema dari mesjid di dekat kontrakan.

Perlahan Triska menurunkan tangan, mengusap wajah beberapa kali. Menyusut air mata dengan punggung tangan. Membetulkan posisi duduk sambil mengucap hamdalah berkali-kali.

Menutup mata sembari mengatur napas hingga pulih seperti sedia kala. Mengumpulkan tenaga untuk berdiri.

Melangkahkan kaki dengan ragu-ragu ke arah jendela. Mencoba mengintip keluar dari celah gorden.

Suasana lorong dan taman masih sepi. Seluruh penghuni masih tertidur lelap. Setelah memastikan tidak ada seorang pun di situ, akhirnya Triska menutup gorden dan melangkah menuju kamar.

Membaringkan tubuh di atas kasur. Menarik selimut sampai batas leher dan bergelung di dalamnya. Menutup mata dan mencoba untuk tidur sebentar sambil menunggu azan Subuh.

Rasa takut dalam hati mulai berkurang seiring dengan kesadaran yang memudar. Triska terlelap dan tertidur pulas, hingga tidak menyadari sekelebat bayangan kembali berhenti di depan pintu kamarnya.

***

Dua minggu telah berlalu, Triska sudah tidak pernah mendengar suara apa pun dari kamar sebelah. Hatinya kembali tenang dan ceria.

Teman-teman di sini juga baik dan ramah hingga membuatnya betah. Kadang mereka duduk berkumpul di taman, menggelar tikar sembari mengobrol santai.

Selain Dinar, Afni dan Ivan, Ayu dan Tia juga sering ikut ngobrol.

Sedangkan Rama dan Hasni hanya sesekali ikut bergabung di waktu senggang mereka.

Hanya satu penghuni yang selalu menyendiri. Pria tinggi berkulit putih dengan wajah dingin bernama Zein.

Bila Zein datang sepulang bekerja, dia hanya mengangguk ke kumpulan penghuni lain, kemudian langsung masuk ke kamarnya.

Seperti hari ini, Minggu malam yang syahdu. Penghuni lain berkumpul dengan riuh, namun Zein tetap menyendiri.

"Mau ke mana, Ris?" tanya Ayu. Matanya menatap piring kecil berisi dua potong martabak dan tiga pisang goreng di tangan kanan Triska.

"Mau ngantar ini ke sana," jawab Triska sambil menunjuk pintu kamar Zein.

"Gak bakal mau dia. Udah sering ditawarin makanan tapi selalu ditolak," sela Tia.

"Sieun dipelet ku maneh!"celetuk Ivan yang langsung dibalas cubitan di pinggang oleh Tia. (Takut dipelet sama kamu!)

"Isshh ... gak mungkinlah aku melet. Yang ngantri ngelamar aja banyak!" sungut Tia.

"Saking banyaknya sampai tak terlihat!" tukas Rama yang disambut gelak tawa lainnya.

Tia yang merengut tak urung ikut tertawa.

"Bang!" panggil Triska. Tangannya mengetuk pintu kamar beberapa kali.

Pintu terbuka, kepala Zein nongol dari celah pintu.

"Mau nganterin ini," ujar Triska seraya mengulurkan piring dengan tangan kanan.

"Owh, makasih, ya," ucap Zein. Sekilas secarik senyum tercetak di bibir tipisnya.

Triska tertegun. Zein terlihat ... tampan.

"Ada lagi?" tanya Zein dengan alis terangkat.

"Ehh ... gak. Gak ada," sahut Triska gelagapan.

Zein bergerak menutup pintu, namun Triska bergerak cepat menahan pintu dengan tangan kiri.

"Bang ... ehm ... ikut gabung, yuk!" ajaknya ragu-ragu.

Zein tertegun menatap Triska, kemudian mengalihkan pandangannya ke yang lain.

"Sini, Zein! Sekali-sekali gabung!" panggil Hasni.

Zein terlihat berpikir sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk dan beranjak ke luar kamar. Berjalan di belakang Triska, kemudian duduk bersila di sebelah Rama.

Ivan melanjutkan bermain gitar mengiringi Afni yang bernyanyi merdu.

Tanpa terasa waktu pun segera berlalu. Malam semakin larut. Suasana di luar rumah semakin sepi.

"Aku masuk duluan, ya. Ngantuk," ujar Dinar sembari menguap.

Dug! Dug! Dug! Dug!

Brrraaakkk!

Sontak semuanya terdiam. Kepala mereka berputar mencari asal suara.

Brrraaakkk!

Brrraaakkk!

Brrraaakkk!

Suara itu semakin kencang. Bunyi benda yang dibenturkan ke dinding atau lantai.

Afni bergerak memeluk Dinar. Wajahnya tampak memucat. Ayu dan Tia saling menempel. Triska menarik kaos Zein yang berdiri di sebelahnya dengan tangan gemetar.

Ivan meletakkan gitar dan berdiri. Kakinya hendak melangkah ke asal suara namun tertahan oleh tarikan tangan Hasni.

"Diam, Van!" lirihnya.

Blllaaammmm!

Pintu kamar kosong tiba-tiba terbuka. Semua orang bergegas lari tunggang langgang ke kamar terdekat.

Hasni, Ayu, Tia dan Rama berlari masuk ke kamar Ayu.

Afni, Dinar, Ivan dan Triska berlari masuk ke kamar Zein.

Afni langsung berjongkok di ujung kamar. Menutup wajah dengan tangan. Dinar memeluknya sambil berusaha menenangkan.

Triska berdiri di pintu penghubung kamar dan ruang tamu. Ivan berdiri di sampingnya. Sedangkan Zein masih berdiri di depan jendela. Mengintip dari balik gorden.

"Apa itu ulah Rima?" tanya Triska. Tangannya gemetaran.

"Jin yang menyerupai Rima. Arwahnya sudah berada di alam kubur. Gak akan bisa keluar," jawab Zein tegas.

"Kenapa jin itu muncul lagi dan menakuti kita?" tanya Ivan pelan.

"Karena ... hari ini adalah peringatan setahun kematiannya!" jawab Dinar lirih.

Mendadak hening. Yang terdengar hanya isak tangis Afni yang masih berjongkok di sudut kamar.

Zein masih mengintip dari celah gorden sebelah kiri. Ivan ikut-ikutan mengintip dari sebelah kanan.

Kkkrrreeettt.

Kkkrrreeettt.

Kkkrrreeettt.

Tiba-tiba terdengar bunyi cakaran dari arah jendela kamar sebelah yang merupakan kamar Afni.

Triska sontak mundur beberapa langkah, bersembunyi di balik dinding antara ruang tamu dan kamar.

Matanya membola dengan pancaran ketakutan. Menutup mulut dengan kedua tangan. Jemarinya bergetar dan mata mulai berembun.

Afni semakin merunduk, terkulai lekas dan meletakkan kepalanya di pangkuan Dinar. Menutup wajah dengan ujung jilbabnya yang berwarna merah muda. Pundaknya turun naik menandakan dia masih menangis.

Dinar memeluk tubuh sahabatnya itu dengan ekspresi ketakutan. Mulutnya komat kamit membaca doa. Sesekali terputus karena dia harus menahan isak tangisnya sendiri.

Kkkrrreeettt.

Kkkrrreeettt.

Kkkrrreeettt.

Suara itu terdengar semakin kencang. Seakan memanjang dari jendela kamar Afni menuju kamar Zein.

Ivan mundur beberapa langkah, Zein bergeser ke belakang pintu. Tangannya mengusap pintu dengan pelan. Sesekali bergumam membaca doa sembari terus mengusap pintu tanpa henti.

Gggrrreeettt.

Gggrrreeettt.

Terdengar bunyi cakaran di pintu. Zein mundur selangkah. Matanya tak lepas mengawasi celah bagian bawah pintu.

Dia berjongkok, kemudian mengintip ke celah.

"Astagfirullah!" ucapnya pelan.

Seperti ada bayangan yang berdiri tepat di depan pintu.

Terpopuler

Comments

anray

anray

halo emak OY dah ikut nimbrung disini,, lope lope 😘😘

2022-11-12

2

Adinda

Adinda

hiiiii serem

2022-04-11

0

Bindah Ndah

Bindah Ndah

ceritanya bikin merinding setengah mati apalagi di rumah gak ada orang tapi bagus banget ceritanya 👍

2021-09-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!