Rima dan Eric

Tiga tahun yang lalu, tepat di awal bulan Januari yang dingin, Rima pindah ke kosan milik bu Wahyu tersebut dengan diantar oleh Kang Fahmi, Kakak tertuanya serta Kang Irwan, pria muda yang saat itu adalah kekasih sekaligus rekan kerjanya di sebuah departemen store yang terkenal di Indonesia.

Mereka berangkat dari Bogor pada pagi hari, dan sampai ke Bandung beberapa jam kemudian.

Suasana kosan yang waktu itu baru beberapa bulan berdiri masih sepi. Baru ada lima penghuni di sana, yaitu Hasni, Dinar, Afni, Karin dan Yono.

Yono adalah rekan kerjanya di Bandung. Dari Yono lah Rima menemukan kosan ini. Saat dibawa ke rumah besar ini seminggu yang lalu Rima langsung jatuh hati. Dia suka dengan suasana yang tenang dan asri di sini.

Saat pindah Rima tidak membawa banyak barang. Setelah selesai mengangkut beberapa koper dan dus ke dalam kamar, Rima segera menuju ke toko mebel untuk membeli lemari dan tempat tidur.

"Sekalian sama ini gak, Neng?" tanya sang Kakak. Tangannya menunjuk ke meja rias kecil.

"Uangnya ntar habis, Kang. Neng kan mau nyetok beras dan lain-lain," sahut Rima. Padahal dalam hati dia ingin sekali membeli meja rias itu.

Irwan yang melihat pandangan kekasihnya tersebut diam-diam membeli meja rias itu dan segera membayarnya ke kasir.

Dari toko mebel mereka beranjak ke pusat perbelanjaan. Membeli sembako dan kebutuhan lainnya buat Rima. Kemudian mereka makan siang di sebuah rumah makan khas Sunda.

"Kok makannya dikit?" tanya Fahmi.

"Neng keingat sama ibu," lirih Rima.

"Jangan terlalu kangen. Kamu harus fokus untuk kerja di sini," pujuk Fahmi sambil merangkul pundak adiknya.

"Jarak Bandung ke Bogor juga nggak jauh kan, Neng. Kamu bisa pulang bila libur kerja," Irwan ikut memujuk kekasihnya yang mulai kangen dengan rumah.

Wajar bila Rima begitu. Selama ini dia tidak pernah pergi jauh dari keluarganya. Saat ditawarkan untuk pindah ke Bandung sebagai syarat untuk bisa naik jabatan, dia pun berpikir puluhan kali sebelum akhirnya menerima tawaran itu.

"Nanti akang akan sering ke sini. Proyek akanh kan belum selesai. Kamu yang kuat, ya," hibur Fahmi.

"Iya, Kang. Jagain ibu sama bapak juga, ya," sela Rima sambil menyusut air mata dengan tisu yang sejak tadi digemggamnya.

"Pasti," jawab Fahmi.

Setelah menunaikan salat Magrib, Fahmi dan Irwan beranjak untuk pulang.

"Titip Rima, ya," pesan Fahmi pada penghuni lainnya.

"Iya, Kang," jawab Dinar sambil menggamit lengan Rima yang mulai menangis.

"Akang pamit, ya, Neng. Jaga kesehatan. Jangan telat makan. Salat tepat waktu," pesan Irwan sambil mengelus kepala kekasihnya itu.

Rima mengangguk. Menatap mobil yang dikemudikan Fahmi menjauh hingga tidak terlihat lagi. Kemudian dia menangis sesegukan di pundak Dinar.

***

Hari demi hari pun berlalu. Rima yang sibuk dengan pekerjaan sedikit demi sedikit akhirnya bisa melupakan rasa rindunya pada keluarga dan kekasih hati.

Penghuni kos pun mulai bertambah. Hasan, pria asal Purwakarta yang penyabar, selalu jadi pendengar setia segala kegundahan hati Rima.

Nani, perempuan muda yang rada pelupa selalu menjadi bahan lelucon penghuni lainnya.

Amanda, perempuan muda keturunan Tionghoa yang periang menjadi teman terdekat Rima di kosan.

Fahmi memenuhi janji kepada adiknya. Setiap bulan dia pasti mengunjungi Rima sambil membawa banyak oleh-oleh dari buat buat putri kesayangan.

Irwan dan Rima rutin bertemu setiap dua minggu sekali dengan saling bergantian mengunjungi. Hubungan mereka semakin lama pun semakin dekat.

Kemudian Rama masuk ke kosan. Rima seperti mendapatkan sosok pengganti Fahmi pada diri Rama yang bijaksana, sehingga mereka menjadi sangat dekat.

"Mas, awal bulan nanti ikut ke Bogor, ya?" pinta Rima pada suatu malam. Saat itu mereka sedang mengobrol di garasi bersama penghuni lain.

"Hmm ... nanti aku cek jadwalku dulu. Semoga nggak bentrok sama jadwal kerja," sahut Rama.

"Enggak mau tau. Pokoknya harus ikut! Masa acara pertunangan adek tapi kakaknya gak hadir!" sungut Rima sembari mencebik.

"Deuh. Jangan ngambek atuh lah." Rama menowel pipi Rima dengan gemas.

Gadis cantik bertubuh mungil di sebelahnya ini memang sangat menggemaskan. Gaya manjanya mengingatkan Rama pada sosok kedua adik perempuannya di Malang.

"Emang siapa aja yang mau ikut?" tanya Rama.

"Cuma Mbak Dinar, Teh Karin sama Amanda. Yang lain nhgak bisa ikut karena ada acara lain," jawab Rima.

"Nginep nggak?"

"Nginep lah. Ntar ibu ngambek kalo kalian nhgak nginep."

Sorot lampu sebuah mobil yang memasuki pekarangan rumah membuat obrolan mereka terhenti.

"Koko!" teriak Amanda sambil berlari menyambut kedatangan pria Tionghoa yang baru turun dari mobil tersebut.

"Halo, Sayang." Pria itu membalas pelukan Amanda dengan mencium kedua belah pipi gadis manis tersebut berulang kali.

"Semuanya. Kenalkan, ini Ko Eric. Koko tertuaku yang baru pulang dari Taiwan." Amanda menarik lengan sang Koko dan memperkenalkannya dengan yang lain.

Kemudian mereka berjalan menuju kamar Amanda dan melanjutkan obrolan dengan bahasa leluhur mereka.

Yang lain pun akhirnya bubar dan masuk ke kamar masing-masing.

***

Keesokan harinya Rima dikejutkan oleh sapaan hangat Eric yang baru selesai mandi, setelah tadi malam ikut menginap di kosan.

"Mau berangkat kerja?" tanya Eric dengan ramah.

"Iya, Mas," jawab Rima pelan.

"Kantornya di mana?"

"Di Dago."

"Wah, kebenaran saya juga mau ke daerah Dago. Mau ikut sekalian?"

"Ngerepotin nggak, Mas?"

"Enggak. Kan sekalian jalan," sahut Eric yang tersenyum manis.

"Oke. Saya ikut. Tunggu sebentar, ya. Mau ambil tas dulu." Rima bergerak masuk kembali ke kamarnya. Setelah mengambil tas dia pun menyusul Eric ke depan kosan.

"Aku duluan, ya!" teriak Rima pada Nani dan Karin yang sedang memanaskan motor mereka.

Sepanjang perjalanan Eric menjadi pendengar yang baik semua cerita Rima. Sesekali dia yang gantian bercerita. Laju kendaraan yang melambat karena kemacetan lalu lintas tidak mereka keluhkan karena keasikan mengobrol.

"Makasih, ya, Mas atas tumpangannya," ujar Rima dengan tulus.

Eric mengangguk dan melambaikan tangan saat mobilnya mulai dijalankan menuju kantornya.

Sejak saat itu Eric sering berkunjung ke kosan. Tak jarang pula dia ikut menginap bila sudah kemalaman.

Semakin lama hubungan mereka semakin dekat. Rima mulai merasa perhatian Eric sedikit berlebih padanya.

"Koko emang suka sama kamu. Kenapa? Salah?" ujar Eric saat mengantar Rima ke kantor.

"Aku udah tunangan, Ko," lirih Rima.

"Gak masalah. Tunangan bukan berarti pasti menikah," sahut Eric.

Rima mendengkus sembari melempar pandangan keluar kaca mobil.

"Kalau kita jodoh, gimana?"

goda Eric.

"Enggak mungkin lah, Ko. Dari semua aspek kita ini sangat berbeda. Dari suku, agama, bahkan pandangan politik juga berbeda. Yang sama mungkin cuma suka nyanyi, nonton film dan makanan kegemaran. Selebihnya beda," ujar Rima.

Entah kenapa belakangan ini dia seolah terjebak dalam pesona Eric. Pria yang tampan ini memang pandai sekali memainkan emosi Rima. Sikap romantis yang sering dia tunjukkan membuat Rima terkadang melupakan sosok Irwan.

Hal itu membuatnya merasa sangat bersalah. Rasanya dia ingin bisa menjauh dari Eric, namun ternyata itu sulit karena pria tersebut selalu hadir hampir setiap hari untuk menjemput Rima sepulang bekerja.

"Mas perhatikan sekarang kamu lebih sering jalan sama Eric dibanding sama Mas," ujar Rama saat mereka mengobrol di suaru malam.

"Dia sering jemput aku kerja, ngajak makan terus nganterin pulang," sahut Rima.

"Kayaknya dia suka sama kamu deh."

Rima menunduk. Perlahan kepalanya mengangguk. Dia tidak bisa berbohong pada Rama. Kakak angkatnya ini seakan punya radar untuk mendeteksi kebohongan.

"Jangan bermain api, Dek. Nanti kamu bisa terbakar," nasehat Rama. Tangannya bergerak mengelus rambut Rima yang bersandar di pundaknya.

"Iya, Mas. Aku akan menjauhinya dan fokus dengan hubunganku dan kang Irwan," jawab Rima pelan.

"Mas cuma mau kamu bisa melihat dengan pikiran yang jernih, Dek. Pesona Eric mungkin memang sangat berkilau saat ini. Tetapi berlian seperti Irwan itu sulit didapat. Kalau kamu melepaskan Irwan nanti kamu pasti akan menyesal. Percaya deh sama Mas."

Rima mengangguk pelan. Air matanya mulai menitik dan membasahi kaus milik Rama.

***

Di hari-hari berikutnya Rima benar-benar menjauhi Eric. Bila Eric datang menjemput di kantor, maka Rima akan bersembunyi atau kabur lebih dulu sebelum Eric datang.

Sambungan telepon pun tidak pernah diangkatnya. Pesan pun tidak pernah dibaca apalagi dibalas.

Hal itu rupanya membuat Eric gusar hingga nekat mendatangi kamar Rima. Saat itu Rama dan Hasni sedang keluar kota. Hasan dan Yono juga sedang bekerja. Di kosan hanya ada Dinar dan Afni serta Amanda.

"Buka pintunya, Rima. Kita harus bicara!" tegas Eric dari balik pintu.

Sementara Rima tetap bergeming di kamarnya. Menutup telinga dengan bantal dan berharap suara Eric tidak terdengar lagi.

"Aku akan tetap menunggu di sini sampai kamu keluar!" tegas Eric sambil duduk di depan pintu kamar Rima.

"Koko, sudahlah. Sadar, Ko. Rima sudah bertunangan. Beberapa bulan lagi dia akan menikah," ujar Amanda. Sedikit putus asa menghadapi sifat keras kepala kokonya ini.

"Aku cuma pengen bicara sama Rima. Setelah itu aku pasti pergi," Eric tetap ngotot.

Setelah sekian puluh menit akhirnya Rima mengalah. Dia membuka pintu kamar dan mempersilakan Eric untuk masuk. Amanda dan yang lain kembali ke kamar mereka untuk beristirahat karena malam semakin larut.

"Pulanglah, Ko. Ini udah hampir jam sebelas," ujar Rima sembari menguap.

"Aku akan menginap di kamar Amanda," Eric memandangi Rima dengan sorot mata yang memancarkan rasa cinta.

"Aku capek dan ngantuk. Kita bicara besok aja, ya."

"Oke. Tapi jangan kabur lagi. Aku nggak suka kalo kamu begitu," Eric pun bangkit berdiri dan beranjak keluar kamar Rima.

"Besok kita berangkat bareng. Jangan menghindar!" sambungnya.

Rima mengangguk dan menutup serta mengunci pintu saat Eric sudah keluar dari kamarnya.

***

"Kita mau ke mana ini, Ko?" tanya Rima saat menyadari Eric mengemudi ke arah yang berbeda dari kantornya.

Pria itu tetap diam dan fokus menyetir. Sementara Rima semakin gelisah di kursinya.

Mobil melaju menuju Lembang dan berhenti di sebuah resort mewah. Eric turun dan meminta Rima ikut bersamanya.

Rima melangkah dengan ragu-ragu. Mengekor di belakang Eric yang sedang memesan kamar.

"Ngapain kita ke sini?" tanya Rima saat Eric mengajaknya masuk ke kamar yang dekorasinya sangat mewah.

Sejenak Rima terdiam dan mulai menikmati panorama dari balik jendela kamar yang terbuka lebar. Perlahan kakinya melangkah menuju balkon. Bersandar di tembok pembatas balkon sembari menghirup udara segar beberapa kali.

"Rima, duduk sini," Eric menunjuk pada kursi kosong di sebelahnya. Rima menurut dan duduk sambil tetap mengedarkan pandangan ke sekeliling resort yang tampak indah.

"Aku kangen sama kamu," ucap Eric pelan. Tangannya menggenggam jemari Rima dengan erat dan mengecupnya lembut.

"Jangan begini, Ko," lirih Rima. Dia menarik tangannya namun tidak dilepaskan Eric.

"Aku benar-benar jatuh cinta sama kamu, Ri. Kalau kamu mau nikah sama aku, akan kulakukan semua yang kamu perintahkan!" tegasnya dengan sorot mata yang sangat berharap.

"Aku nggak bisa membalas perasaanmu, Ko. Hatiku sudah menjadi milik orang lain."

"Lupakan dia. Kita bisa menikah di Singapura. Di sana pernikahan beda agama itu dilegalkan."

"Gak, Ko. Sampai kapan pun aku akan tetap memilih kang Irwan!" tegas Rima.

"Kenapa? Apa kelebihannya yang tidak kupunyai?"

"Dia calon imam terbaik buatku. Memang harus kuakui aku sempat silau oleh kilauanmu. Terjebak oleh pesonamu. Namun kemudian aku sadar bahwa ini semua hanya semu belaka."

"Kita ini berbeda, Ko. Memaksa untuk menikah pun tidak akan pernah diterima apalagi direstui oleh keluargaku. Aku nggak mau hidup seperti itu. Aku ingin menikah dengan orang yang memberiku ketenangan dan kedamaian hati. Bukan malah menambah pusing dan rumitnya hidup," jelas Rima.

Spontan Eric mengempaskan tangan dan memukul pinggir kursi hingga membuat Rima terkesiap.

Sejenak hening. Yang terdengar hanya deru napas Eric yang tidak beraturan menahan emosi. Sementara Rima mulai bergerak menjauh. Dia sedikit ngeri dengan sifat Eric yang temperamental.

Ketukan di pintu mengagetkan keduanya. Eric perlahan bangkit berdiri dan berjalan membuka pintu kamar.

Seorang petugas hotel masuk sambil mendorong kereta. Menata aneka hidangan di atas meja di dalam kamar. Kemudian bergegas keluar setelah diberi tips oleh Eric.

"Ayo, kita makan," ajak Eric dengan suara yang berat.

Rima melangkahkan kaki menuju meja, menarik kursi dan duduk di seberang Eric. Mereka makan dalam diam.

Selesai makan Rima bergegas menuju kamar mandi. Setelah mengambil wudu dia menunaikan salat Zuhur. Sementara Eric berbaring di atas tempat tidur.

"Ko, bisa kita pulang sekarang?" pinta Rima pelan.

"Aku ngantuk. Mau tidur dulu barang sejam. Baru nanti kita pulang," jawab Eric sambil berbalik memunggungi.

Rima menghela napas dan mengembuskan dengan pelan. Dia menyandarkan tubuh ke sandaran sofa sembari bermain ponsel.

Perlahan rasa kantuk mulai muncul, Rima akhirnya merebahkan diri dan menutup mata. Tertidur dengan lelap dibuai udara sejuk alami.

Samar-samar dia merasa tubuhnya diangkat dan digendong seseorang. Permukaan kasur yang empuk menerpa punggungnya. Rima merasa tubuhnya ditutupi selimut sehingga membuatnya merasa hangat.

"Aku cinta kamu, Rima. Sampai kapan pun akan tetap mencintaimu." Bisikan lembut dari seorang pria terdengar di telinganya.

Terpopuler

Comments

Helni mutiara

Helni mutiara

👍👍👍👍👍

2021-02-18

0

milnau

milnau

keren 😍😍ceritanya bagus. Semangat thor nulisnya. Btw aku pendatang baru nih. Aku butuh masukan, kritik dan sarannya. untuk novelku "Gigi". Ditunggu ya kedatangannya. Makasih

2020-07-31

1

Treea Rochma

Treea Rochma

aku marathon loh bacanya sejak episode yg mereka ngerencanain rukiah 😂 kutunggu nextnya thooorrr

2020-05-11

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!