Eongan Penyelamat

Suara tangisan itu perlahan mulai berhenti hingga akhirnya benar-benar menghilang , seiring dengan munculnya kabut tipis di tempat sosok Rima duduk. Saat kabut itu hilang ternyata Rima sudah tidak berada lagi di situ.

"Sudah pergi," lirih Zein.

Yang lain memandanginya yang masih berdiri di dekat jendela.

"Abang, bisa lihat?" tanya Satya yang berdiri di samping Zein.

"Iya. Kamu juga kan," jawab Zein sambil menoleh.

"Sedikit. Enggak terlalu jelas."

Kemudian hening. Mereka saling menatap dalam diam. Sementara yang lainnya mengelus dada dan mengembuskan napas lega.

Malam itu keempat perempuan tidur bersama di kamar Triska. Mereka melanjutkan obrolan hingga larut malam.

Suasana sepi dan sunyi di luar sana membuat Hasni sedikit gelisah. Entah kenapa dia merasa seakan ada yang mengawasinya.

Berkali-kali dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tak jua menemukan sosok yang membuatnya gelisah.

Akhirnya Hasni memutuskan untuk bangkit, beringsut ke pinggir tempat tidur dan berdiri. Sekali lagi dia menoleh ke sekeliling kamar, kemudian tangannya membuka kunci pintu.

Sambil menggenggam ponsel di tangan kiri Hasni membuka pintu dan melangkah keluar kamar. Tak lupa menutup pintu kamarnya kembali. Berdiri sebentar di dekat jendela. Matanya menyapu sekeliling halaman yang cukup terang karena sorot beberapa lampu teras.

Perlahan ingatannya mundur ke peristiwa beberapa bulan sebelum Rima meninggal.

Saat itu dia baru saja pulang dari Yogyakarta. Para penghuni kosan berkumpul di kamarnya untuk menikmati oleh-oleh khas Yogyakarta yang dibawanya.

"Kalo nanti mau ke Yogyakarta lagi, aku ikut yo, Bang," ujar Yono sambil mengunyah bakpia.

"Ngapain?" tanya Karin.

"Sowan ke mbahku. Kan beliau tinggal di sana," jawab Yono.

"Dua bulan lagi aku juga mau ke sana. Ada urusan kerjaan," sela Rama.

"Nah! Pas tuh, Mas. Aku bisa nebeng kan?" Yono terlihat antusias.

"Boleh. Ntar aku cuma berangkat berdua sama staff lain. Kita gantian nyetir aja," jawab Rama.

"Nggih, Mas. Matur nuwun."

"Sami-sami."

"Aku ikut juga dong," rengek Rima dengan gaya manjanya yang khas.

"Woiii. Mau nikah gak boleh kelayapan!" tukas Afni yang disambut cibiran bibir Rima.

"Kan masih lama atuh, Teh," rajuk Rima.

"Afni benar itu. Calon pengantin kudu dipingit. Kalo perlu dikunciin di kamar," ledek Karin yang disambut cubitan oleh Rima.

"Udah. Jangan berantem. Ntar kuenya dihabisin Amanda noh. Dari tadi ngunyah mulu tanpa henti," ujar Dinar.

Sontak semua mata memandang ke arah Amanda yang mulutnya penuh bakpia. Tawa mereka pecah saat melihatnya tersenyum malu karena tertangkap basah makan banyak.

Setelahnya karena sangat sibuk dengan pekerjaan, Hasni jarang berkumpul lagi dengan penghuni kos lainnya.

Beberapa hari sebelum Rima pindah ke Bogor, mereka menyempatkan untuk berjalan-jalan seputar Bandung dan makan malam di pondok sate simpang lima yang sangat terkenal.

Canda dan gelak tawa mereka menjadi perhatian pengunjung lainnya.

Setelah selesai makan malam mereka melanjutkan berputar-putar keliling kota. Rima terlihat memandangi sekeliling dengan antusias.

"Ntar kalo habis nikah, aku boleh kan nginap di kosan kalo main ke sini?" ujar Rima sambil memandangi wajah teman-temannya.

"Boleh. Mau pakai kamarku buat honeymoon juga boleh. Tarifnya murah kok," jawab Rama sambil terkekeh pelan.

"Ihh, Mas, nih. Apaan sih!" rajuk Rima dengan wajah memerah.

"Aku beneran pengen main ke sini. Sendiri aja. Biar puas jalan-jalan. Kalo sama kang Irwan ntar repot. Dia mah lebih suka ngendon di rumah daripada jalan ke luar," sambung Rima lagi.

Sekarang Hasni menyadari bahwa Rima memang benar-benar main ke sini. Sendirian.

***

Keesokan harinya.

"Ayo, Say. Udah siang. Ntar gak keburu sarapan," ujar Zein yang berdiri di depan pintu kamar Triska yang terbuka.

"Bentar, Bang. Ini nyari dompetku kok nggak ketemu dari tadi. Padahal seingatku nggak dikeluarin dari tas sejak kemarin," sahut Triska yang masih sibuk mengecek setiap tempat untuk mencari dompetnya.

"Loh, itu apaan?" tunjuk Zein ke atas lemari kabinet di pojok kamar.

"Aih! Kok bisa di situ? Aneh!" Triska bergegas mengambil dompet dengan dahi berkerut.

Dia ingat sekali tidak mengeluarkan dompet dari tas, karena kemarin malam ditraktir nasi goreng langganan anak kos oleh Tia.

Sambil terus berpikir dia menarik tas selempang dan tas kerjanya, melangkah keluar kamar dan menutup pintu. Sengaja tidak dikunci karena nanti Bi Ai mau nyetrikain pakaiannya di kamar.

"Kami duluan, ya," pamit Triska ke yang lainnya. Kemudian dia berjalan cepat menuju tempat parkir dan langsung masuk ke mobil Zein yang mesinnya sudah dinyalakan sejak tadi.

"Bang, aku yakin deh ada yang mindahin dompetku," ujar Triska saat Zein mulai melaju di jalan raya.

"Hmm. Apa kamu lupa ada ngeluarin dompet?" tanya Zein sambil menyetir dengan luwes.

"Gak, Bang. Dari kita nyampe kosan aku gak ada buka dompet. Makan malam kan ditraktir sama Tia," jawab Triska.

"Eh, Abang ingat gak? Yang keran air kebuka di kamar mandi dulu itu," lanjutnya.

Zein mengangguk.

"Perasaan barang-barangku jadi sering berpindah tempat deh. Apa Rima juga yang lakuin?"

"Jangan suudzon dulu. Kalo sampai terulang lagi berpindah sendiri berarti rumah kudu dirukiah lagi."

"Iya ihh. Ayu sama Tia juga beberapa kali nyari barang tapi gak ketemu. Terus ketemunya jauh banget dari tempat semula."

Zein terdiam sambil berpikir keras. Sepertinya dia harus berkonsultasi dengan guru olah napasnya untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Kemunculan Rima yang semakin sering membuatnya merasa yakin akan terjadi sesuatu di kosan. Namun entah kapan.

Setelah sarapan lontong sayur di dekat klinik tempat Triska bekerja, Zein segera berangkat ke kantornya di kawasan By Pass jalan Soekarno-Hatta.

Sementara Triska memasuki bagian belakang klinik dan langsung menuju kandang Emak Chubie.

Kucing abu belang hitam itu menyambut kedatangan Triska dengan eongan manja sambil menggosok-gosokkan tubuhnya ke kaki Triska yang sedang membersihkan kotak pasirnya dari tumpukan kotoran dan menggantinya dengan pasir yang baru.

Kemudian dia menuangkan makanan kering khusus kucing berumur yang biasanya memiliki gangguan pencernaan.

"Dihabisin, ya, Mak. Aku mau ngerjain yang lain," ucap Triska seraya mengusap bulu lembut Emak Chubie dengan rasa sayang.

"Cieeeeeee. Yang habis liburan," ledek Sulis, rekan kerjanya yang baru saja datang.

Triska menyambut temannya itu dengan pelukan hangat. Setelah mencuci tangan, Triska mengeluarkan kotak kue dari tas selempang.

"Nih, buruan dimakan sebelum yang lainnya datang," ujarnya sambil meletakkan kotak kue di atas meja.

Sulis tanpa basa basi langsung mencomot dan menyuapkannya ke mulut. Kemudian mereka mengobrol sambil makan kue. Obrolan mereka terhenti saat dokter hewan pemilik klinik datang dan mengajak seluruh staff untuk rapat.

***

Sore harinya Triska pulang diantar Sulis menggunakan motor matic kesayangannya. Ayu dan Tia langsung menyambut Emak Chubie dengan pelukan kangen sambil tak henti mengobrol dengan kucing tersebut. Sementara Sulis langsung pamit pulang.

Di depan kosan Sulis berpapasan dengan Chandra yang baru pulang kerja. Mereka saling melempar senyuman dan anggukan sopan. Saat motor Sulis keluar dari pekarangan, Chandra memandangi punggung wanita itu sampai menghilang. Kemudian dia melangkah masuk ke kosan yang ramai suara para perempuan.

"Sendirian?" tanya Ayu dari depan kamarnya.

"Iya, Mbak. Mas Satya mau lembur katanya," jawab Chandra sambil membuka kunci pintu kamar.

Kakinya melangkah memasuki kamar dan bergegas membuka sepatu yang dikenakan.

Sesampainya di kamar matanya membelalak saat melihat kasurnya berantakan. Padahal dia ingat sekali sudah membereskan kasur sebelum berangkat kerja tadi pagi.

Dia memutuskan untuk mandi walaupun benaknya sibuk bertanya-tanya.

Sebetulnya ada terselip rasa takut saat dia mendengar cerita penghuni lainnya tentang sosok Rima yang belakangan ini sering mengganggu di sini.

Namun, dia teringat lagi perkataan Satya. Sepupunya yang pemberani itu tadi malam sudah memperingatkannya agar jangan sampai takut.

Selesai mandi dan berganti pakaian, dengan segera dia menunaikan salat Asar. Kemudian, dia beranjak keluar kamar untuk membeli makanan buat makan malam. Dia merasa ngeri bila harus keluar sendiri nanti malam. Jadi dia memutuskan untuk membeli makanannya sore hari.

"Mau ke mana, Chan?" tanya Tia yang sedang duduk bersama Ayu di teras.

"Ke warung nasi, Mbak," jawab Chandra.

"Aku ikut deh. Udah mulai lapar juga," sahut Tia seraya berlari ke kamarnya untuk mengambil dompet.

"Aku nitip dong, Tia," teriak Ayu dari seberang.

"Pake lauk apa?" tanya Tia.

"Capcay, telur balado sama kerupuk. Kalo ada bolu yang biasa itu beli juga, ya," jawab Ayu.

"Mbak Dinar, Triska, mau nitip beli lauk gak?" teriak Tia.

"Mau. Aku nasinya separo aja. Pakai soto ayam dan kerupuk," sahut Dinar dari celah pintu kamarnya.

"Aku juga mau. Pengen pake tumis kangkung, tuna balado dan kering kentang," tukas Triska sambil menyodorkan uang ke Tia.

"Oke. Ongkos jalannya lima ribu seporsi," canda Tia.

"Iyaaaaa!" teriak Ayu, Triska dan Dinar bersamaan.

***

Menjelang Magrib Zein dan Hasni tiba dan langsung masuk ke kamar mereka. Setelah salat Magrib, Zein mengetuk pintu kamar Triska.

"Masuk aja," teriak Triska dari dalam.

Zein pun membuka pintu dan melangkah masuk. Triska muncul dari kamar dan tersenyum menyambut kekasihnya.

"Kita cari makan, yuk!" ajak Zein.

"Aku tadi udah makan, Bang. Kutemani aja deh," sahut Triska sambil meraih jaket dari gantungan.

Gerakannya terhenti saat Zein merangkul pinggangnya dari belakang dan merapatkan tubuh mereka. Wajah Zein mendekat ke sisi kanan Triska. Dia menggosok-gosokkan pipinya ke pipi Triska yang cekikikan.

"Geli, Bang. Kumisnya nyucuk-nyucuk," ujar Triska sambil melepaskan pelukan Zein. Tangannya mengusap pipi sebelah kanannya yang geli.

"Lupa cukuran tadi," sahut Zein sambil mendorong Triska hingga menabrak dinding kamar.

Tangannya merangkul pinggang kekasihnya dan mendekatkan wajah. Triska memejamkan mata saat bibir mereka bertemu.

Sesaat waktu seakan berhenti. Yang terdengar hanya dengus napas mereka yang mulai memburu. Tangan Triska bergerak naik mengusap rambut Zein sambil menikmati sentuhan kekasihnya tersebut.

Gelenyar dalam dada yang memompa adrenalin membuat Zein sulit mengontrol emosinya. Saat Triska mendesah Zein pun semakin berani. Tangannya mulai bermain meraba lekuk tubuh wanita cantik ini. Triska pun membalas meraba punggung dan pundak kekasihnya.

Ciuman Zein semakin menguasai dan menuntut lebih. Triska pun seolah pasrah atas perlakuan lelakinya ini.

"Meeooowww," eongan Emak Chubie menghentikan ciuman panas mereka. Makhluk berbulu tersebut menggosok-gosokkan tubuhnya ke kaki Triska dan Zein.

Sejenak mereka saling tatap sebelum akhirnya tersenyum. Zein merasa bersyukur atas gangguan kucing itu. Bila tidak mungkin dia bisa kelewat batas.

"Ayo, Say. Sebelum akhirnya aku memakanmu," canda Zein yang membuat Triska terkekeh.

"Duluan, Bang. Aku mau merapikan rambut dulu," ujar Triska sambil menyisir rambutnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Kemudian memoles wajahnya dengan bedak tipis. Tak lupa membubuhkan lipstik di bibirnya yang memerah setelah ciuman tadi. Tanpa sadar dia memegang bibir dan tersenyum saat mengingat ciuman panas mereka tadi.

Dia berjalan keluar sambil memakai jaket. Tak lupa mengeluarkan Emak Chubie sebelum menutup pintu kamar dan berjalan keluar rumah.

Di dekat mobil Zein terlihat sedang mengobrol dengan Satya yang baru saja pulang kerja.

"Ayo, Sat. Ikut cari makan di luar," ajak Zein.

"Gak, Bang. Aku udah beli ini," Satya menunjukkan bungkusan di tangan kanannya.

"Oh,. Oke. Kami pergi dulu, ya," pamit Zein sembari masuk ke dalam mobil. Triska menyusul duduk di sebelahnya.

Satya memandangi mobil Zein hingga menjauh, kemudian dia melangkah masuk ke kosan.

"Mas, tadi waktu masuk ke kamar, kasurnya berantakan," lapor Chandra saat Satya baru saja duduk di ruang tamu kamar mereka.

"Berantakan gimana?" Satya bertanya sambil mengerutkan dahi.

"Bantal sama guling sudah berpindah tempat. Selimut acak-acakan. Seperti bekas orang tidur. Padahal kamar kan kekunci."

Satya terdiam sambil berpikir. Kemudian dia bangkit berdiri menuju kamar mandi.

"Aku mandi dulu. Nanti kita lanjut lagi obrolannya."

***

Sementara itu di Jakarta, Rama sedang berbaring di atas tempat tidur kamar hotel. Teman sekamarnya sedang keluar. Dia yang kelelahan memilih untuk tetap di kamar sambil menonton televisi.

Deringan ponsel mengagetkannya. Dengan cepat dia meraih ponsel. Seketika senyumnya tersungging saat melihat nama orang yang meneleponnya.

"Ya, Winda?"

"Lagi ngapain, Mas?" tanya perempuan dari seberang sambungan telepon.

"Lagi nonton televisi."

"Oh. Udah makan malam belum?"

"Belum nih. Tadi nitip ke Anto, tapi dianya belum balik lagi."

"Ke sini, Mas. Tadi aku beli pizza dan burger."

"Oke." Rama memutus telepon dan mematikan televisi.

Kemudian beralih ke meja rias. Merapikan rambut dan baju serta menyemprotkan sedikit parfum.

Kakinya melangkah menuju pintu, membuka dengan cepat dan tak lupa mengunci pintu.

Kemudian dia bergegas ke meja resepsionis untuk menitipkan kunci. Tak lupa dia mengirimkan pesan pada Anto.

Setelah itu dia bergegas menaiki tangga ke lantai dua hotel. Sesampainya di depan kamar Winda, ternyata Winda sudah menunggu di depan pintu dengan senyuman manisnya.

"Ayo, Mas. Dimakan. Selagi masih hangat," ujar Winda. Teman seprofesinya itu memang terkenal ramah. Mereka sering berbagi makanan bila kebetulan menginap di hotel yang sama.

"Dengar-dengar kamu mau naik jabatan, ya?" tanya Rama membuka percakapan sambil mengunyah pizza.

"Semoga, Mas. Rumor itu udah lama. Tapi nyatanya aku masih begini-begini aja," jawab Winda sambil tertawa lirih.

Terpopuler

Comments

Santhy Liem

Santhy Liem

zein nakal ya, ditegur ma mak cubbie

2022-03-03

1

Helni mutiara

Helni mutiara

👍👍👍👍👍

2021-02-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!