Ziarah

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam akhirnya mereka pun sampai di kediaman orang tua Rima di Kedung Halang.

Rumah beraksitektur tempo dulu yang bersih dan cantik terlihat mencolok dibandingkan rumah-rumah lainnya yang berarsitektur modern dan minimalis.

Pekarangan luas yang ditumbuhi banyak pohon besar membuat suasana terasa sejuk dan nyaman.

Di pekarangan tampak seorang pria yang sedang menyapu menggunakan sapu lidi bergagang panjang, dan mengenakan topi bulat di kepalanya. Pria itu bergegas membuka pintu pagar bercat hitam tersebut saat melihat Dinar turun dari mobil.

"Assalamualaikum, Kang," sapa Dinar.

"Waalaikumsalam." jawab Fahmi, Kakak pertama Rima.

"Masih ingat saya?"

"Masih atuh. Neng Dinar, kan? Mangga atuh kalebet." Fahmi membuka pintu pagar lebar-lebar dan membiarkan mobil Rama lewat.

(Silakan masuk)

Setelah Ivan memarkirkan mobil dengan sempurna para penumpang pun turun secara bergantian. Fahmi menyalami mereka satu per satu dengan ramah, bahkan memeluk Rama dengan hangat. Dia tahu Rama adalah Kakak kesayangan Rima di kosan.

Setelah berbasa basi akhirnya Fahmi mengajak mereka semua masuk ke dalam rumah.

Memasuki ruang tamu suasana tempo dulu berubah lebih modern. Dua buah sofa besar berwarna marun diletakkan berdekatan. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja besar yang panjang. Hiasan kristal tampak tersusun rapi di lemari bufet di bagian sebelah kanan ruang tamu.

Dindingnya dihiasi beberapa foto keluarga berpigura indah. Satu foto yang menampilkan sosok Rima berdiri di halaman rumah dengan mengenakan gaun pengantin berwarna cempaka sontak membuat semua mata terpukau.

Dinar berjalan mendekati foto tersebut dan mengelusnya dengan penuh kerinduan.

"Ini ... foto sebelum akad nikah, ya, Kang?" tanya Dinar sambil mengusap ujung matanya yang berembun.

"Iya. Sebelum calon pengantin prianya datang. Entah kenapa saat itu neng memaksa untuk berfoto. Hingga membuat penata riasnya mengomel karena riasannya belum sempurna, tapi neng sudah memaksa keluar," jawab Fahmi. Senyuman kecil tersungging di bibirnya saat mengenang adik kesayangannya itu.

"Ayo, duduk dulu. Akang panggilin Ayah sama Ibu dulu, ya," ucap Fahmi sembari berlalu masuk ke dalam rumah.

"Rima cantik, ya," ujar Triska yang berdiri di samping Dinar. Matanya tak lepas memandangi foto wanita muda yang mungil itu. Binar kebahagiaan jelas terpancar dari wajahnya.

"Iya. Cantik dan imut. Ahh ... Rima. Mas, kangen!" sela Rama yang berdiri di samping Triska sambil meraba foto itu dengan sorot mata penuh kerinduan.

Zein dan Ivan yang sudah duduk di atas kursi segera berdiri menyambut kedatangan kedua orang tua Rima dari dalam rumah.

Pak Bakar dan istrinya memeluk Dinar dan Rama dengan hangat. Menyalami yang lainnya dengan sorot mata yang berbinar.

Sejak kepergian Rima, jarang sekali ada tamu teman-temannya Rima yang datang.

"Apa kabar, Bapak, Ibu?" sapa Rama dengan sopan.

"Alhamdulillah. Kabar kami baik, Nak. Ayo, silakan duduk dulu. Kita lanjutkan obrolannya sambil ngopi," sahut Pak Bakar sembari menuntun Rama ke kursi.

"Sudah lama tidak ketemu, ya?" lanjut Pak Bakar yang duduk di sebelah istrinya.

"Iya, Pak. Maaf kami baru sempat bertamu lagi ke sini," sahut Rama dengan sopan.

"Teu nanaon, bapak ngerti kalian pasti sibuk."

(Gak apa-apa)

Fahmi keluar lagi bersama seorang perempuan yang memakai jilbab berwarna biru tua. Setelah menyuguhkan minuman dan aneka kudapan di atas meja, wanita itu duduk di sebelah Dinar, sedangkan Fahmi duduk di sebelah Zein.

"Apa kabar, Teh?" sapa Dinar seraya memeluk dan cipika cipiki dengan perempuan itu.

"Kabar baik, Neng. Asa tambah geulis," sahut Siska yang merupakan istri Fahmi.

Setelah obrolan basa basi, Rama mulai membicarakan tujuan mereka datang ke sini dengan hati-hati. Dia berusaha mengolah dan memilah kata supaya tidak menyinggung perasaan keluarga Rima.

"Astagfirullah! Rima!" Suara ibunya Rima bergetar. Beliau menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Raut wajah Pak Bakar berubah sedih. Beliau mengusap wajah tuanya dengan saputangan bermotif garis-garis.

Fahmi menghela napas panjang dan mengembuskan lambat. Benaknya penuh dengan kelebatan kenangan bersama adik bungsunya itu.

Siska berpegangan tangan dengan Dinar. Sesekali dia mengusap ujung matanya dengan tisu. Ingatannya melayang ke sosok adik iparmya yang periang tersebut.

Siska mengenal Rima sejak lama. Mereka pernah bekerja di sebuah toserba di Bogor, sebelum akhirnya Rima diterima bekerja di Bandung dan pindah ke sana.

Irwan, suami Rima juga merupakan rekan kerja mereka di toserba tersebut. Bahkan sampai sekarang dia masih bekerja di sana dengan jabatan yang lebih bagus.

Saat Rima mengembuskan napas terakhirnya, Siska yang pada waktu itu sedang hamil anak keduanya benar-benar syok. Dia pingsan berkali-kali hingga akhirnya dirawat di rumah sakit selama tiga hari karena mengalami pendarahan. Untunglah janinnya bisa bertahan.

"Setelah dirukiah, apa ada perubahan di kosan?" tanya Fahmi.

"Dari hari Kamis, sampai kami berangkat kemarin itu Rima tidak muncul lagi. Namun kata Bi Ai, kemaren sore kayak ada yang melintas di taman waktu beliau datang untuk menyalakan lampu. Pas tadi pagi beliau matiin lampu sih nggak ada lagi yang melintas," sahut Rama.

Fahmi terdiam sejenak seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Kalo boleh, Pak, Bu. Kami mau izin ke makam Rima," pinta Dinar.

"Mangga, Neng. Silakan. Sekalian bapak juga mau ke sana," jawab Pak Bakar.

"Ibu nggak ikut, ya. Mau nyiapin makan siang. Nanti kita makan sama-sama," sela Bu Bakar sambil tersenyum. Wajah tuanya tampak sudah lebih tenang.

"Teteh juga gak ikut, ya. Takutnya Mitha terbangun dan nangis kalo nggak ada teteh," ujar Siska yang dibalas anggukan oleh Dinar dan Triska.

Saat mereka hendak berangkat, seorang anak laki-laki tampak berlari ke ruang tamu. Di belakangnya seorang perempuan paruh baya berusaha mengejarnya.

"Papa!" panggilnya pada Fahmi yang langsung menggendong putranya.

"Papa mau ke mana?" tanya anak kecil itu sambil memandangi papanya.

"Papa mau ziarah ke makam tante Rima. Aa' tunggu di sini, ya? Temani Mama sama adek," ujar Fahmi sembari merapikan baju anaknya.

Andre tampak merengut saat diminta papanya untuk tetap tinggal di rumah. Namun, setelah dijanjikan akan diajak jalan-jalan nanti sore, Andre akhirnya bersedia turun dari gendongan papanya.

Anak kecil itu melambaikan tangan saat rombongan pergi ke makam dengan berjalan kaki.

Perjalanan menuju makam Rima ditempuh selama sepuluh menit. Suasana komplek pemakaman cukup ramai karena ada yang baru saja dimakamkan di situ.

Langkah kaki Pak Bakar berhenti di sebuah makam yang belum dipasang keramik di atasnya. Yang lainnya ikut berhenti dan berjongkok melingkari makam.

Dipimpin Pak Bakar mereka mulai membaca doa buat Rima. Dinar terlihat beberapa kali mengusap matanya. Triska mengelus lengannya untuk menenangkan sahabatnya itu.

"Pak ... Pak Bakar!" teriak seorang pria yang berjalan mendekati mereka. Pria yang memegang sebuah cangkul itu berhenti dengan jarak beberapa meter dari makam.

Pak Bakar bangkit berdiri dan berjalan menghampiri pria tersebut. Mereka terlibat obrolan menggunakan bahasa Sunda yang cepat.

Seketika wajah Fahmi menegang mendengar obrolan ayahnya dengan pria itu. Demikian juga Triska. Sementara yang lainnya tidak terlalu paham dengan obrolan tersebut. Mereka terlihat saling berpandangan.

"Ngomongin apa sih?" bisik Ivan ke Zein.

"Enggak paham. Cepat banget ngomongnya," balas Zein sambil berbisik juga.

***

Sesampainya di rumah Bu Bakar segera mengajak mereka untuk makan siang bersama.

Nasi liwet komplit dengan aneka lauk pauk yang menggugah selera terhidang di atas karpet yang dihamparkan di lantai ruang tengah rumah yang sangat luas.

Ivan dan yang lainnya makan dengan sangat lahap. Sesekali candaan terlontar dari mulut mereka.

Saat mereka sedang makan, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu depan.

Seorang asisten rumah tangga bergegas membuka pintu. Tak lama kemudian seorang pria muda masuk ke ruang tengah dan langsung menghampiri Pak Bakar dan istrinya.

Irwan, pria yang merupakan suami Rima menyalami kedua mertuanya dengan takzim. Tak lupa memeluk Fahmi dan Siska dengan hangat. Dan menyalami semua tamu sebelum akhirnya duduk di sebelah Zein dan mulai ikut makan.

"Jadi, Kang Irwan teh udah nikah sama Rima?" tanya Dinar setelah mereka selesai makan dan kembali ke ruang tamu.

"Iya. Beberapa jam sebelum dia wafat," jawab Irwan dengan tersenyum getir. Pria berusia dua puluh delapan tahun tersebut terlihat lebih kurus dari saat mereka bertemu setahun yang lalu.

Fahmi terlihat berbisik ke telinga Irwan yang terlihat terperangah.

"Beneran, Kang?" tanya Irwan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

"Jadi ... Rima sering mengganggu kalian?" tanya Irwan sambil memandangi teman-teman istrinya satu per satu.

"Bukan mengganggu, Kang. Kalo saya berpikirnya Rima ingin menyampaikan sesuatu," jawab Zein.

Sontak saja semua mata langsung terarah kepadanya.

"Maksudnya gimana?" tanya Irwan. Dia sangat penasaran dengan pria tampan yang duduk berseberangan dengannya.

"Di pertemuan kami yang terakhir, Rima seakan ingin mengucapkan sesuatu. Tapi belum sempat terucapkan tiba-tiba dia menghilang," jelas Zein.

"Apa Akang bisa berkomunikasi dengan arwah orang yang sudah meninggal?" tanya Fahmi. Dia memajukan duduknya agar lebih dekat dengan Zein.

"Kadang-kadang, Kang. Itu pun kalo saya ngerti," jawab Zein sembari tersenyum.

"Sebenarnya, belakangan ini di kantor juga ada gosip begitu. Aku juga kadang kalo mau tidur merasa ada orang duduk di belakangku," ujar Irwan sembari memejamkan mata.

"Tadi, mang Jaja juga cerita begitu. Beberapa orang yang rumahnya di dekat makam sering melihat seorang perempuan memakai gaun pengantin berwarna cempaka terlihat melintas menuju rumah," sela Fahmi yang sontak membuat yang lain terperangah.

Sejenak mereka semua terdiam. Seakan sibuk dengan pergulatan batin masing-masing.

"Di sini juga kadang-kadang Andre suka teriak manggil-manggil Rima. Katanya sering ketemu Rima di ayunan depan rumah. Di situ memang tempat favorit Rima semasa hidupnya," lanjut Fahmi.

"Di taman samping juga kadang-kadang kayak ada bayangan orang lewat," tukas Siska yang baru keluar dari kamar sambil menggendong bayinya.

Triska dan Dinar segera berebut menggendong bayi perempuan yang lucu tersebut.

"Mirip sama Rima, ya?" ujar Dinar. Tangannya terus menggenggam tangan mungil sang bayi bermata bulat tersebut.

"Iya. Banyak yang bilang begitu," jawab Siska sembari tersenyum.

Saat para perempuan sibuk meributkan bayi cantik, para pria terus melanjutkan diskusi dengan serius.

"Apa kita perlu mengadakan haul buat Rima?" tanya Irwan sambil memandang Pak Bakar. Ayah mertuanya itu terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya mengangguk.

"Kapan, Pak? Biar akang siapin semuanya. Yusran juga harus dipanggil kan," tukas Fahmi.

"Minggu depan gimana? Atau coba kamu telepon Yusran, dia kapan bisa ke sininya," ujar Pak Bakar.

Fahmi mengangguk dan meraih ponselnya dari saku celana. Kemudian dia menjauh dan menghubungi Yusran, adik keduanya.

"Kang, maaf kalo saya sedikit lancang. Boleh saya bertanya sesuatu?" tanya Zein pelan kepada Irwan yang langsung mengangguk mengiyakan.

"Punten, Kang. Apa pembunuh Rima sudah tertangkap?" tanya Zein dengan wajah serius.

Irwan terdiam sebelum akhirnya menggeleng lemah.

"Kok bisa gitu?" celetuk Ivan.

"Keluarganya kaya raya. Mungkin dia kabur ke luar negeri. Entahlah. Aku juga bingung," jelas Irwan dengan suara getir.

"Apa pihak kepolisian gak bisa mengekstradisi kalo dia betul-betul kabur ke luar negeri?" tukas Rama dengan wajah geram.

"Kami juga nggak paham, Nak. Pihak pengacara yang kami sewa untuk menangani kasus ini juga sudah berusaha secara maksimal, namun tetap saja Eric belum tertangkap," jelas Pak Bakar. Wajah tuanya tampak lelah.

"Bagaimana dengan keluarganya? Apa mereka tidak bersedia membantu?" Ivan terlihat geram mendengar berita belum tertangkapnya pembunuh Rima.

"Mereka sudah kembali ke Singapura. Terakhir datang ke sini beberapa bulan yang lalu. Meminta maaf sekaligus berpamitan hendak pindah lagi ke sana sembari merawat Amanda yang stres berat," sela Irwan.

"Dan mereka juga sudah putus kontak dengan Eric sesudah kejadian itu," tukas Fahmi yang kembali duduk di sebelah Pak Bakar.

"Amanda stres?" tanya Dinar dengan mata membola.

Fahmi berbalik ke arah Dinar," Iya, bahkan sempat dirawat di rumah sakit jiwa di Jakarta selama beberapa bulan."

"Ya ampun, aku benar-benar gak tahu. Kupikir setelah kesurupan dan nyaris bunuh diri itu dia bisa sembuh. Kami juga putus hubungan sejak dia kembali lagi ke Jakarta. Coba nanti kutanya Karin. Mungkin dia tahu kabar terbaru Amanda," ujar Dinar.

"Kang, apa sudah meminta bantuan kyai yang bisa melihat lokasi Eric?" tanya Zein lagi. Entah kenapa dia merasa ada hubungan antara kemunculan Rima yang selalu mengarah ke kamar Ayu yang dulu ditempati Amanda.

"Sudah beberapa kyai atau orang pintar yang kami datangi, tapi sampai sekarang belum membuahkan hasil," jawab Fahmi.

"Ada yang punya foto Eric? Mau kutunjukin ke seseorang yang kukenal," ujar Zein.

"Di ponselku nggak ada. Tapi di ponsel Rima ada. Nanti kukirimkan lewat chat karena sekarang ponselnya nggak kubawa," jelas Irwan. Kemudian mereka saling bertukar nomor kontak.

Setelah itu rombongan Rama berpamitan untuk pulang ke hotel, dan berjanji akan datang kembali saat acara haul Rima.

***

Malam itu rombongan Rama kembali berjalan-jalan mengelilingi kota Bogor. Kali ini mereka mengunjungi bundaran air mancur yang terkenal menjadi tempat berkumpulnya anak-anak muda se Bogor raya.

Sambil menikmati cemilan mereka duduk-duduk di sekitar bundaran. Melihat orang-orang yang berlalu lalang tiada henti sambil mengobrol santai.

Zein yang tidak pernah beranjak dari Triska tampak sedang serius mengamati foto Eric yang baru dikirimkan Irwan lewat aplikasi hijau.

Terpopuler

Comments

Cimutz

Cimutz

oh ternyata muncul dimana-mana neng Rimanya

jadi makin penasaran,apa yg diinginkan Rima???

2021-02-25

0

Helni mutiara

Helni mutiara

sipa ya yg ada di foto...????

2021-02-09

0

Ambu Nya Mentari Bintang

Ambu Nya Mentari Bintang

ko curiga sama Irwan ya...

2020-07-23

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!