Jalanan ibukota yang lancar tanpa kemacetan seperti biasanya kini sedang Gavin lewati. Niat awal yang ingin membicarakan masalah tanah di panti asuhan jadi tertunda karena kedatangan Nara dan kedua anaknya.
Masalah yang harusnya sudah selesai kini malah harus tertunda, belum lagi pekerjaan di kantor yang menumpuk. Meja kerja yang penuh dengan berkas membuat kepala bertambah pusing.
Gavin menghela napas, tatapannya mengarah ke luar jendela mobil. Menatap gedung-gedung tinggi di jakarta. Tidak ada yang menarik, karena pikiran Gavin tertuju ke arah lain.
Bayang-bayang di panti asuhan masih terlintas di ingatannya. Sejak pertemuannya dengan Nara, hidup Gavin terasa berbeda. Padahal baru tiga kali bertemu tapi tidak tahu kenapa, Gavin merasa memiliki sebuah ikatan dengan Nara.
Saat memeluk Nara yang terpeleset, matanya menatap kedua mata Nara yang membuatnya kembali merasa tidak asing. Sebuah perasaan aneh lagi-lagi muncul, Gavin tidak tahu apa itu.
Mobil melaju, Jalanan yang tidak macet membuat mereka sampai lebih cepat. Mobil terparkir di tempat khusus. Gavin keluar, menatap gedung tinggi tempatnya bekerja sebelum masuk.
Sinar matahari membuatnya terasa silau. Gavin berjalan memasuki kantor, para karyawan menunduk hormat saat melihat atasan mereka datang.
Lantai 48 menjadi tempat tujuannya, menaiki lift khusus untuk para pegawai yang memiliki jabatan tinggi. Di ikuti oleh asisten Gavin yang selalu setia menemani.
Baru saja memasuki ruang kerja, Gavin melihat istrinya sedang duduk manis di sofa sembari memainkan ponsel. Wajah cantik dan tubuh yang bagus tidak membuat Gavin tertarik sama sekali.
"Ada apa kamu kesini?" Tanya Gavin tanpa berhenti dan menuju kursi tempat duduknya.
"Aku 'kan kangen kamu, pengen berduaan juga.. "
Jovanka meletakkan ponselnya dan dia berjalan menghampiri Gavin, memeluk leher Gavin dari belakang.
Gavin yang merasa terganggu dan tidak nyaman itu menepis tangan Jovanka yang melingkar di lehernya. Dia sudah merasa sesak akibat dasi yang mengikat di leher, di tambah lagi dengan pelukan Jovan yang semakin membuatnya merasa tidak nyaman.
"Lebih baik kamu pulang, aku nggak ada waktu buat berduaan sama kamu!"
Jovanka berdecak, "aku udah nungguin kamu hampir 2 jam sampai aku bosen dan kakiku kesemutan, tapi kamu malah mau ngusir aku?"
"Siapa suruh kamu ke sini? Lagian sekarang jam kerja, jadi aku sibuk. Nggak ada waktu buat ngurusin yang lain."
"Terus kamu habis dari mana? Aku dateng tadi kamu udah nggak ada, sekretaris kamu bilang kalau kamu udah pergi dari jam 8 pagi. Tapi kenapa kamu baru balik jam segini?"
Gavin menghembuskan napas kasar, inilah yang Gavin tidak sukai dari wanita. Terlalu mencampuri semua hal yang dia lakukan, sudah seperti narapidana yang sedang di interogasi.
Gavin meletakkan pulpen dan menatap sang istri yang sedang duduk di depannya. Dia harus segera membuat istrinya pergi agar bisa tenang dalam bekerja.
"Aku ada urusan di luar, aku baru balik karena habis makan siang. Jadi, lebih baik kamu pulang, aku masih banyak kerjaan."
Kekesalan Jovanka bertambah, dia merasa sudah sia-sia datang ke kantor Gavin. Niat awal yang ingin mengajak suaminya makan siang malah berujung di usir keluar dari ruangan suaminya sendiri.
Akhirnya setelah beberapa kali mereka berdua berdebat, Jovanka mau kembali ke rumah. Walaupun kemarahan Jovanka bertambah tapi Gavin tidak peduli. Yang terpenting adalah pekerjaannya selesai dan dia tidak perlu lembur.
.
.
.
Di tempat lain, Nara dan kedua anaknya sedang duduk di ruang tamu, menunggu ibu Mira yang sedang pergi ke kamar. Tidak ada yang bicara di antara mereka.
Nessa yang merasakan suasana hening itu sudah tidak tahan, mulutnya sudah gatal ingin bicara. Jari-jarinya saling meremas, bingung ingin memulai dari mana.
"Emm... Bun?"
"Ya?"
Nara menatap Nessa yang memanggilnya, sedari tadi Nara hanya melihat-lihat ponsel. Dia sedang memikirkan kejadian saat di dapur tadi.
"I-itu.. Bunda tadi di dapur kenapa pelukan sama om Gavin?"
Nara tertegun, tiba-tiba mendapat pertanyaan seperti itu. Kenapa Nessa menjadi terlalu kepo? Mengenai masalah tadi, Nara tidak tahu harus menjawabnya bagaimana.
Dirinya saja sejak tadi memikirkan hal yang di tanyakan Nessa. Usia Nessa memang masih kecil, tapi rasa keingintahuan nya sangat besar, sampai Nara harus bersabar jika menghadapi pertanyaan aneh dari Nessa.
"Bunda tadi kepeleset, jadi om Gavin yang nolongin Bunda." Jawab Nara jujur. Nessa hanya ber-oh ria saja, tidak bertanya lebih lanjut.
"Bunda, Nevan kok ngerasa kalau om Gavin mirip sama Nevan, ya."
"Hah?" Refleks Nara beralih menatap Nevan.
Putranya yang sejak tadi hanya diam itu tiba-tiba bersuara, apalagi mendengar perkataan Nevan yang memang benar, tidak tahu Nara harus bagaimana menjawabnya.
Nevan menatap bunda nya yang terlihat gugup, menanti jawaban dari mulut Nara. Tapi ibu Mira datang dan membuat perhatiannya teralihkan.
Nara menghela napas lega. Kemudian dia melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul satu siang. Nara harus segera pergi ke butik dan menyelesaikan pekerjaannya.
"Bu.. Nara boleh nggak nitipin anak-anak di sini? Nara masih banyak kerjaan di butik. Tapi nanti malem Nara bakal jemput anak-anak, kok."
"Iya, nggak apa-apa. Ibu juga seneng kalau bisa main sama mereka berdua."
"Makasih ya, Bu.. "
Nara mengambil tas-nya, dia mencium punggung tangan ibu Mira. Kemudian pamit pada kedua anaknya.
"Bunda pergi dulu, ya. Jangan nakal-nakal, nanti malem Bunda jemput."
"Iya Bunda.. " Jawab keduanya.
Nara keluar dan menuju ke tempat motornya. Memakai helm dan langsung menyalakan mesin. Sebelum pergi, Nara melambaikan tangannya pada Nessa dan Nevan.
Motor melaju dengan kecepatan sedang. Butuh waktu setengah jam untuk sampai di butik. Nara memarkirkan motornya, melepaskan helm dan membenarkan rambutnya yang kusut akibat terkena angin.
Di lihatnya butik yang terlihat ramai. Dia baru datang siang hari, dan tidak menyangka kalau butiknya hari ini ramai. Saat memasuki butik, karyawan Nara menyapa.
Langkah kaki membawanya menuju ruang kerja, dihempaskan tubuh nya ya terasa pegal akibat duduk terlalu lama di motor.
Setelah merasa cukup, Nara segera melakukan pekerjaannya. Jika bukan karena pelanggan yang kurang puas, Nara sebenarnya malas membuat ulang desain pakaian yang menurutnya sudah bagus.
Tapi, selera manusia memang berbeda-beda, jadi Nara masih memaklumi nya. Nara lebih suka membuat desain baru, mencari inspirasi untuk membuat sebuah pakaian.
Tapi segera Nara tepis, untuk saat ini lebih baik dia menyelesaikan pekerjaan yang ada di depan mata. Sampai tidak sadar jika sudah sore. Pintu ruangan Nara di ketuk.
"Masuk.. " ucap Nara tanpa menoleh dan masih sibuk dengan kertas dan pulpen miliknya.
"Mbak, Nara. Waktunya butik tutup, yang lain juga udah pada pulang. Mbak Nara nggak mau pulang?"
Indi datang ke tempat Nara sebab Nara belum juga keluar padahal sudah waktunya pulang. Dia berniat pulang tapi sebelum itu Indi harus menyerahkan kunci butik pada Nara.
Nara melirik ke arah jam, memang sudah waktunya pulang kerja. Tapi Nara merasa tanggung. Sebentar lagi gambarnya selesai.
"Kamu pulang duluan aja, aku mau selesain ini dulu. Oh iya, taruh kuncinya di di situ aja." Nara menunjuk ke arah tas.
Setelah kepergian Indi, Nara kembali sibuk. Tidak terasa jika sudah hampir malam. Nara bangun dari duduknya dan meregangkan kedua tangannya yang terasa pegal.
Kemudian Nara segera bersiap untuk kembali ke panti. Menjemput kedua anaknya dan pulang ke rumah. Biasanya Nara akan menginap, tapi kali ini Nara sedang tidak ingin.
Saat sudah di luar, Nara mencoba menghidupkan motornya tapi tidak bisa. Nara berdecak, di saat seperti ini kenapa motornya tiba-tiba mogok.
Nara menjadi bingung sendiri harus bagaimana. Malam semakin larut tapi dia masih berada di depan butik. Setelah mencoba berkali-kali tapi tetap tidak bisa, Nara hampir merasa putus asa.
Sampai sebuah mobil hitam berhenti di depan Nara, cahaya lampu mobil membuat Nara memejamkan matanya. Setelah lampu mobil mati, Nara mencoba melihat siapa yang datang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
selfi
semangat kak 👌☺️
2021-12-08
1
ynynita
nak kmu masih kecil jan kepo 😁
2021-11-21
2