Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Tawaran dari Balik Asap"
Dapur bar itu tidak pernah benar-benar sunyi. Bahkan ketika musik dari depan terdengar teredam oleh dinding tebal, suara lain selalu hadir—desis kompor, denting gelas, air mengalir, dan obrolan para staf dapur yang bercampur antara lelah dan kebiasaan. Di sanalah Alya kini menghabiskan sebagian besar waktunya.
Awalnya ia merasa aman. Dapur terasa seperti benteng kecil yang melindunginya dari tatapan liar pelanggan. Namun, rasa aman itu perlahan retak, bukan oleh orang luar, melainkan oleh mereka yang bekerja bersamanya.
Suatu sore, ketika Alya sedang memotong jeruk nipis dengan gerakan rapi, seorang staf dapur bernama Riko berdiri terlalu dekat. Ia sudah bekerja lebih lama di sana, tubuhnya besar, suaranya selalu keras.
“alya,” katanya sambil menyeringai, “kalau kamu di depan bar, pasti laris ya. Sayang banget dipindahin ke sini.”
Alya tidak menoleh. Tangannya tetap bergerak. “Saya di sini buat kerja, Mas.”
Riko tertawa kecil. “Iya, iya. Kerja. Tapi masa sih nggak pernah kepikiran? Kamu cantik, masih muda. Di tempat kayak gini, itu modal besar.”
Nada suaranya membuat Alya tidak nyaman. Ia melangkah menjauh, pura-pura mengambil baki lain. Ia tidak ingin memancing masalah. Ia sudah belajar—diam sering kali lebih aman daripada melawan.
Namun Riko bukan satu-satunya.
Ada juga Doni, yang suka melempar komentar sambil lewat. “Kalau capek di dapur, pindah aja ke depan lagi. Siapa tahu dapat ‘bonus’,” katanya sambil terkekeh bersama dua staf lain.
Setiap kata itu menempel seperti minyak di kulit—lengket dan sulit dihilangkan. Alya mulai merasa bahwa dapur bukan lagi ruang netral. Ia menjadi tempat di mana batas diuji pelan-pelan.
Suatu malam, ketika bar hampir penuh dan dapur sibuk, Riko menyenggol pinggang Alya saat lewat. Tidak keras, tidak terang-terangan, tapi cukup jelas.
Alya membeku sejenak. Pisau di tangannya berhenti. Napasnya tertahan.
“Mas,” katanya akhirnya, suaranya rendah tapi tegas, “jaga jarak.”
Riko mengangkat tangan seolah tidak bersalah. “Santai aja. Nggak sengaja, cuma kesenggol dikit aja kok”
Alya tahu itu bohong. Tapi ia juga tahu, melapor tidak selalu berarti diselamatkan. Ia memilih mundur, berdiri di sudut dapur, mencoba menenangkan diri. Dadanya terasa sesak, bukan karena takut semata, tapi karena lelah. Ia lelah terus-menerus harus waspada.
Saat bar akan tutup Riko mendekati Alya. "Al, kalo ga pindah ke depan bar disini juga aku bisa buat kamu enak".
Alya rasanya ingin menagis. "Jaga bicaranya, mas".
Malam itu, saat pulang, Alya menangis dalam diam di kamarnya. Ia memeluk lutut, mencoba memahami dunia yang terus menuntutnya kuat, bahkan ketika ia belum siap.
---
Di tempat lain, jauh dari dapur sempit itu, Zavian duduk di sebuah ruangan luas yang dipenuhi asap rokok dan cahaya lampu redup. Sebuah meja kayu besar memisahkan dirinya dari beberapa pria kepercayaannya. Di dinding, lukisan mahal tergantung rapi—kontras dengan pekerjaan kotor yang sering dibicarakan di ruangan itu.
Pikirannya tidak sepenuhnya hadir. Ada bayangan yang terus muncul: gadis muda dengan mata yang terlalu jujur untuk dunia malam.
“Alya,” gumamnya pelan, hampir tanpa sadar.
Salah satu anak buahnya, mengangkat alis. “Bos kenal?”
Zavian menghembuskan asap perlahan. “Bukan kenal. Cuma… melihat.”
Ia teringat tatapan singkat itu. Tidak memohon, tidak menantang. Hanya bertahan. Ada sesuatu tentang cara Alya berdiri di balik ketakutan yang membuatnya gelisah. Ia telah melihat banyak orang patah di tempat seperti itu. Sedikit yang tetap utuh.
“Bar tempat dia kerja,” lanjut Zavian, suaranya tenang tapi dingin, “bukan tempat yang aman. Terlalu banyak mata, terlalu banyak tangan.”
Arman mengangguk. “Bos mau kami bersihkan?”
“Bukan itu,” Zavian memotong cepat. “Aku tidak mau dia merasa berutang, atau diseret keluar dengan paksa.”
Ia terdiam sejenak, lalu mengetuk meja dengan ujung jarinya. “Aku punya kafe di daerah selatan. Tempatnya lebih tenang. Aku butuh orang. Anak itu… cocok.”
Beberapa pria saling pandang. Mereka tahu, ketika Zavian sudah memutuskan, itu bukan sekadar rencana.
“Temukan cara,” lanjutnya. “Masuk dengan rapi. Jangan menakutinya. Jangan sebut namaku dulu. Tawarkan pekerjaan. Kalau dia menolak, mundur.”
“Kalau dia terancam?” tanya salah satu anak buahnya.
Mata Zavian mengeras. “Kalau ada yang menyentuh dia, laporkan padaku.”
Perintah itu jelas. Tidak perlu diulang.
---
Beberapa hari kemudian, Alya kembali merasakan dapur semakin menyesakkan. Riko semakin berani melempar candaan yang tidak pantas. Doni sering berdiri terlalu dekat. Ia mulai mengatur jadwalnya agar jarang sendirian, tapi itu tidak selalu mungkin.
Suatu sore, seorang pria asing datang ke bar. Ia berpakaian rapi, tidak seperti pelanggan biasa. Ia tidak memesan minuman, hanya berbincang sebentar dengan Pak Adi, lalu menunggu di dekat pintu dapur.
“Alya,” panggil Pak Adi. “Ada yang mau ketemu.”
Jantung Alya berdebar. Ia menghapus tangannya dengan lap, lalu melangkah keluar.
Pria itu tersenyum sopan. “Nama saya Bayu,” katanya. “Saya dengar kamu pekerja yang rajin.”
Alya mengangguk kaku. “Ada apa, Mas?”
“Saya kerja di sebuah kafe,” lanjut Bayu. “Kami sedang cari staf. Jam kerja lebih manusiawi. Lingkungannya… lebih aman.”
Kata *aman* langsung menarik perhatian Alya. Ia menatap pria itu, mencoba membaca niat di balik wajahnya. Tidak ada senyum berlebihan. Tidak ada tatapan menelanjangi.
“Kenapa saya?” tanya Alya hati-hati.
Bayu mengangkat bahu ringan. “Kadang, orang yang bekerja diam-diam justru paling terlihat.”
Alya terdiam. Tawaran itu terdengar seperti pintu yang terbuka di lorong gelap. Tapi ia juga takut—takut berharap, takut salah langkah.
“Saya… perlu pikir-pikir,” katanya akhirnya.
“Tentu,” jawab Bayu. Ia menyodorkan kartu nama. “Tidak ada paksaan. Kalau kamu mau, hubungi nomor itu.”
Bayu pergi tanpa menunggu jawaban lebih jauh.
Alya memandangi kartu itu lama setelah pria itu menghilang. Dadanya terasa aneh—campuran ragu dan harapan.
Malam itu, di dapur, Riko kembali bersiul ke arahnya. Alya tidak menanggapi. Ia menggenggam kartu di sakunya, merasa untuk pertama kalinya ada kemungkinan lain.
---
Di kejauhan, di dalam mobilnya, Zavian menerima laporan singkat.
“Dia belum jawab,” kata Arman lewat telepon.
“Tidak apa-apa,” jawab Zavian tenang. “Benih sudah ditanam.”
Ia menatap keluar jendela, lampu kota memantul di kaca. Untuk pertama kalinya setelah lama, ia merasa melakukan sesuatu yang bukan sekadar bisnis atau kekuasaan.
“Dunia ini tidak adil,” gumamnya. “Tapi kalau bisa, aku tidak mau anak itu hancur di tempat yang salah.”
sebuah tawaran, sebuah pilihan. Dan bagi Alya, pilihan itu mungkin menjadi awal dari hidup yang tidak lagi hanya tentang bertahan, tetapi tentang berani melangkah keluar. Alya berfikir *"apa ini awal keamanan ku? Atau malah lebih buruk?"*