Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.
Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.
Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isyt : 10
Pertanyaan lebih ke tuduhan itu membungkam mulut Agung, sorot matanya tak lagi tajam melainkan menatap hampa, seolah dia tengah berbicara dengan sosok lain, bukan istrinya.
“Maaf Mas, bukan aku bermaksud lancang, durhaka, apalagi pembangkang. Kamu jelas tahu, tujuanku nekat ke luar negeri itu apa, ya untuk Tian dan Ambar! Supaya mereka bisa bersekolah tinggi hingga sarjana. Namun sudah hampir empat tahun perjuanganku pun nyaris mencapai garis finish – perekonomian kita masih sama seperti dulu, tak ada bedanya,” ia sengaja menjeda.
“Jangankan punya ini itu, untuk kebutuhan sehari-hari pun kalian sering mengeluh kurang. Lantas, harus sampai berapa lama aku ndek sini? Apa sebaiknya tak pulang saja, cari kerja deket sana yang bisa pulang harian, biar bisa menemani tumbuh kembang anak-anak?” ia memandang tenang.
“Kamu disana saja kita kekurangan, apalagi nekat pulang disaat masih melarat Sri!” Wiyah langsung menyahuti, dia tak sudi memandang sang menantu, cuma suaranya saja yang menggelegar.
“Nganti aku tuek ndek kene panggah tetep kere Buk, nek ndak kalian bantu berhemat,” balasnya berani.
(Sampai aku tua disini ya tetap miskin)
Agung tidak menyangka pembicaraan ini berbuntut perdebatan panjang, dan dia merasa kalah, seolah tak lagi dihargai, dihormati, dan dicintai sedemikian dalam oleh Sriana.
Lantas dia mencoba bertutur manis, memainkan peran seakan sosok suami perhatian, pengertian, dan penuh kasih. “Bertahan saja dulu disana. Usaha jual bibit ikan, dan ikan konsumsi kita mulai jalan, meraup keuntungan walaupun belum banyak. Ndak usah pikirkan anak-anak, biar Mas yang mengurus mereka.”
‘Cuih! Pancen lanangan telek kowe!’ batinnya merutuk.
“Alhamdulillah kalau memang mulai nampak hasile. Mbok ya sekali-kali aku dikirimi videone, bawa Tian dan Ambar ke sana. Biar mereka mengerti kalau hasil ibunya ngosek WC di negeri orang itu ada wujudnya,” ia tetap bersuara tenang.
Namun tidak dengan empat sosok saling melirik, terlebih Wiyah, Toro – badan kedua mertuanya Sriana menegang.
“Kapan-kapan kalau mereka mau diajak. Tian, Ambar iku susah disuruh menemani aku ke kolam ikan. Ngeluh banyak Nyamuk, ndak betah,” alasannya sedikit tak masuk akal.
Sebenarnya Sriana ingin membalas, tapi dia harus tahu batasan agar tidak dicurigai. “Yo wes ya Mas. Perutku pun lagi ndak enak. Oh yo … tadi aku lihat pipi Ambar ada bekas luka, kalau memang itu karena kecerobohannya sendiri, tolong potong rapi kukunya jika sudah panjang-panjang. Semisal ada yang jahati dia, sampai matipun aku ndak ikhlas dan akan menuntut balas. Assalamualaikum.”
Agung langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. Dia menghubungi sang selingkuhan.
“Dek, kamu sama Sri ndak lagi ada masalah kan?”
“Masalah opo? Semua masih baik-baik saja, diapun biasa saja. Onoh opo Mas?” intonasi suara Triani sedikit meninggi, dia sedang duduk di taman dekat pasar, ngobrol bersama teman-temannya. Kegiatan rutin dari hari Senin - Sabtu.
Agung menceritakan semuanya, dia curiga kalau Sriana mengetahui satu rahasianya dari banyaknya kisah sengaja disembunyikan mereka.
“Ya sudah Sayang, nanti tak selidiki. Dia ndak boleh sampai tahu sebelum semuanya kita kuasai,” ujar Triani, dirinya sedikit merasa cemas.
Sebuah notifikasi masuk ke dalam aplikasi percakapan yang dia sadap.
Ka, aku nitip bakso ya. Perutku lagi nyeri, efek mau datang bulan, bawaannya pun pengen musuh-musuh terus.
“Terah kirek og awakmu Sri. Gara-gara kamu jantungku mak tratap,” makinya. Sekarang dia tahu kenapa Sriana sensitif, ternyata mau datang bulan, itu menurut tebakannya.
Triani tidak tahu saja, Sriana sengaja mengirim pesan itu hanya untuk mengelabui agar tidak dicurigai. Eka pun sudah diberi tahu lewat nomor baru di ponsel satu lagi.
***
“Mas Agung yakin, kalau perubahan drastis itu cuma dikarenakan naik turunnya hormon Sriana dikarenakan mau datang bulan?” tanya Dwita, dia tak sepenuhnya percaya pesan yang dikirim Triani.
“Ndak usah dipikirin terlalu dalam. Sudah belasan tahun kita manfaatin si pekok itu ya ndak ketahuan, dia manut-manut saja,” turut pria berambut hampir semuanya putih, ayah mertuanya Sriana.
“Wi, kowe mesti ngati-ati. Jangan kelewatan kalau menghukum mereka, takute ada kejadian seperti tadi lagi, kita jadi kalang kabut nyari alesan,” sambung Wiyah.
Dwita mencebik, hilang sudah uang dua ratus ribu rupiah yang biasanya di transfer kalau dia mengeluh mengatasnamakan Septian maupun Ambar.
Agung tidak mau ambil pusing, memilih masuk ke dalam kamar, langsung menjatuhkan badan diatas ranjang. Dirinya masih mengantuk, semalam sampai dini hari melakukan vcs dengan Triani.
“Tria, Tria … rasane wes ndak sabar remas-remas gunung kembarmu, gak mung ndelok lewat layar hp.” Dielus-elusnya bagian bawah yang langsung bereaksi saat membayangkan bagaimana moleknya tubuh tanpa busana Triani.
“Ah … rasanya aku pengen ngekep (mendekap) awakmu sambil terbang melayang hingga nirwana.” Matanya terpejam lalu terbuka, gairahnya naik seketika. Agung yang sedang ingin, langsung menyalakan layar ponsel, membuka galeri yang khusus menyimpan foto-foto sang selingkuhan tanpa sehelai benangpun.
***
“Bude, bude Wulan!”
Tok!
Tok!
Septian, Ambar – mengetuk pelan pintu belakang rumah sahabat ibu mereka yang bersebelahan dengan jalan besar.
Sementara hunian Sriana masuk ke gang, berada di paling ujung. Jika mau keluar berpergian, melewati rumah Wulan.
Daun pintu dibuka dari dalam, tampaklah sosok wanita bertubuh berisi, pipi tembem rambut dicat pirang gelap, dia tengah menggendong anak kecil berumur tiga tahun.
“Loh, ada apa Tian? Adikmu dicubit lagi sama Tante setan itu?!” Matanya memicing mencari jejak bekas luka di wajah maupun tangan Ambar.
“Ndak, Bude.” Dia berbisik pelan sekali takut ada yang mendengar, padahal disana sepi – jarak rumah Wulan dengan tetangga lumayan jauh. “Bunda nitip nomor ponselnya, minta tolong ke Bude agar segera menghubunginya.”
Mata ibu berlipstik maroon itu langsung membulat, dia tarik lengan Tian agar masuk ke dalam rumah.
Ambar juga masuk, gadis kecil itu tidak berani kemana-mana, berdiri di samping kakaknya. Dia ingat pesan ibunya – jika dirumah orang, diwajibkan jaga mata, serta anggota gerak. Dilarang kesana-kemari apalagi sampai masuk ke dalam kamar.
“Tulis’o, biar langsung Bude hubungi ibu kalian!” Wulan memberikan buku dan juga pulpen.
Septian bergegas menulis angka-angka yang sudah dia hafal. Dia juga menggoreskan pena menulis angka lainnya, takut apabila ingatan tadi tidak lagi utuh.
“Ini Bude. Kami pamit dulu, ya. Bude … hem,” ragu-ragu anak laki-laki itu mau mengutarakan maksudnya.
Tian menunduk dalam, memandang punggung kaki yang banyak terdapat bekas luka kehitaman.
Wulan mengusap kepala putra sahabatnya, hatinya terasa ngilu saat telapak tangan merasakan benjolan, dan matanya berembun kala melihat bekas potongan rambut asal-asalan. “Kenapa, Le?”
“Tolong jangan ceritakan ke Bunda, kalau aku sama Ambar sering mulung sepulang sekolah. Bisa kan, Bude?”
.
.
Bersambung.
semoga ambar Ratih sama septian selalu kuat yaaa..
mampu bertahan sampai bunda nya sampai ke rumah kembali..
itu part terakhir kok ya laki begitu yaa.. bukannya dia yg pontang panting cari nafkah, malah ngegerus istrinya ampe ke sari2 nya.. weedaannn