“Mutiara Setelah Luka”
Kenzo hidup dalam penyesalan paling gelap setelah kehilangan Amara—istrinya yang selama ini ia abaikan. Amara menghembuskan napas terakhir usai melahirkan putra mereka, Zavian, menyisakan luka yang menghantam kehidupan Kenzo tanpa ampun. Dalam ketidakstabilan emosi, Kenzo mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh dan kehilangan harapan untuk hidup.
Hidupnya berubah ketika Mutiara datang sebagai pengasuh Zavian anak nya. Gadis sederhana itu hadir membawa ketulusan dan cahaya yang perlahan meruntuhkan tembok dingin Kenzo. Dengan kesabaran, perhatian, dan kata-kata hangatnya, Mutiara menjadi satu-satunya alasan Kenzo mencoba bangkit dari lembah penyesalan.
Namun, mampukah hati yang dipenuhi luka dan rasa bersalah sedalam itu kembali percaya pada kehidupan?
Dan sanggupkah Mutiara menjadi cahaya baru yang menyembuhkan Kenzo—atau justru ikut tenggelam dalam luka masa lalunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 KEDATANGAN PEREMPUAN GILA
Nyonya Saras langsung menutup mulutnya dengan tangan ketika mendengar ucapan Kenzo sore itu.
“Alhamdulilah… Ya Allah…” ucapnya pelan sambil menatap Kenzo dengan mata mulai berkaca-kaca. “Akhirnya… Nak…”
Perempuan paruh baya itu seperti menahan tangis bahagia. Tiara yang berdiri tidak jauh dari Kenzo juga tidak kalah terkejut. Matanya melebar, napasnya tertahan.
Ia benar-benar tidak menyangka ucapan sederhana yang ia sampaikan kemarin, yang bahkan ia sesali karena takut menyinggung Kenzo… ternyata justru didengar.
Tidak hanya didengar, tapi benar-benar diperhatikan.
Kenzo tidak berkata apa-apa lagi setelah kalimat pendek tersebut. Ia hanya memalingkan wajah dan kembali ke kamarnya dengan kursi roda, meninggalkan mereka dengan kejutan yang sulit dijelaskan.
Tiara memegang dada, mencoba menenangkan perasaannya yang berdebar.
Ia tidak tahu kenapa, tapi ada rasa lega sekaligus bangga muncul dalam dirinya.
Karena setidaknya… ia bisa melakukan sesuatu untuk memperbaiki hidup seseorang. Terutama hidup Zavian, bayi yang sudah ia sayangi seperti anak sendiri.
---
Malam harinya
Malam itu setelah makan, Nyonya Saras menceritakan kejadian tadi sore kepada suaminya, Tuan Rendra. Mereka berdua duduk di ruang keluarga, lampu temaram, suasana rumah tenang karena Zavian sudah tertidur.
“Pah… tadi Kenzo bilang dia mau terapi,” kata Nyonya Saras dengan ekspresi penuh syukur.
Tuan Rendra terhenti dari membuka file kerja di laptopnya. Ia menegakkan tubuh, menatap istrinya. “Benarkah? Alhamdulillah…”
“Iya pah,” angguk Nyonya Saras. “Akhirnya anak kita mau juga berusaha untuk sembuh.”
Tuan Rendra menghela napas lega dan memejamkan mata sebentar. “Sudah lama Papa tunggu kalimat itu keluar dari mulut Kenzo. Papa takut trauma kecelakaan itu bikin dia menyerah hidup.”
“Ibu juga, pah…” suara Nyonya Saras sedikit bergetar. “Makanya waktu lihat dia bilang begitu… rasanya seperti beban berat terangkat.”
Tuan Rendra menutup laptopnya. “Tapi kenapa tiba-tiba? Apa ada yang mempengaruhi?”
Nyonya Saras tersenyum kecil. “Ini semua berkat Tiara.”
Alis Tuan Rendra naik. “Tiara? Kenapa bisa Tiara?”
Nyonya Saras merapatkan duduk. “Sebenarnya ibu yang menyuruh Tiara menyampaikan soal terapi itu pada Kenzo. Ibu pikir… mungkin Kenzo lebih mau mendengar dari orang lain. Dan ternyata benar.”
Tuan Rendra tersenyum tipis. “Anak itu memang lebih nyaman kalau mendengar sesuatu dari orang yang tidak menekannya.”
“Iya pah… dan Tiara menyampaikan dengan cara yang halus.”
“Lalu Kenzo langsung setuju?” tanya Tuan Rendra.
“Tidak langsung…” jawab Nyonya Saras. “Tapi dia pikirkan semalaman. Dan sore tadi… dia bilang dengan sendirinya.”
Tuan Rendra mengangguk pelan. “Kalau begitu… sekarang kita harus dukung dia terus supaya semangatnya tidak turun lagi.”
“Iya pah… ibu setuju,” jawab Nyonya Saras mantap.
Tuan Rendra kemudian bertanya, “Oh ya Bu… perempuan itu—apa masih datang ke rumah ini?”
Nyonya Saras langsung tahu yang dimaksud. “Aurel?”
“Iya. Dia.”
“Sudah beberapa hari tidak muncul, pah,” jawab Nyonya Saras. “Syukurlah. Rumah jadi tenang.”
“Bagus kalau dia tidak datang lagi,” Tuan Rendra menghela napas. “Papa tidak mau ada keributan kecil. Kenzo sedang mulai stabil. Jangan sampai rusak gara-gara perempuan tidak jelas itu.”
“Iya pah… tapi kita tetap harus waspada,” kata Nyonya Saras.
“Tentu saja Bu,” jawab Tuan Rendra. “Perempuan seperti Aurel… kalau sudah merasa punya kepentingan, pasti akan kembali.”
Tidak ada yang tahu… bahwa ucapan itu akan terbukti lebih cepat dari yang mereka kira.
---
Keesokan paginya
Hari itu cuaca cerah. Sinar matahari masuk lewat jendela besar ruang keluarga. Tiara sedang duduk di karpet, mengajak Zavian bermain sambil menunggu waktu mandi.
Nyonya Saras baru selesai dari pekarangan depan. Tuan Rendra hendak berangkat ke kantor, memeriksa berkas kerja di meja makan sambil menyeruput kopi.
Suasana rumah benar-benar damai.
Sampai suara yang tidak ingin mereka dengar muncul lagi.
“Haiii everybody…!”
Suaranya keras, lantang, dan penuh percaya diri.
Tiara langsung reflek menoleh.
Nyonya Saras menepuk dahinya.
Tuan Rendra menjatuhkan bahunya ke belakang tanda pasrah.
Baru semalam mereka membicarakan perempuan itu… sekarang dia muncul lagi.
Aurel.
Dengan gaun baru warna ungu ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya, sepatu hak tinggi yang bunyinya memantul keras-keras di lantai, dan kacamata hitam besar di hidung yang jelas bukan dari pabrik murah.
Aurel melangkah masuk ke halaman rumah sambil memainkan rambutnya. Seolah rumah itu adalah tempat miliknya sejak lahir.
“Kenapa kalian lihat aku begitu?” Aurel berhenti di depan pintu masuk dengan gaya menyebalkan. “Kaya lihat hantu saja. Aku masih manusia, kok… bukan makhluk astral. Santai lah.”
Tuan Rendra menghela napas. “Aurel… mau apa kamu datang ke sini lagi?”
Aurel cengar-cengir. “Paman Rendraaa… kenapa sih langsung jutek? Aku cuma datang. Masa datang ke rumah saudara sendiri dilarang?”
“Kamu tidak sopan masuk tanpa izin,” tegur Nyonya Saras halus tapi tegas.
Aurel mengangkat bahu. “Ah, tante… kalau aku nunggu izin, aku bisa mati tua di luar.”
Tiara yang sedang menggendong Zavian diam saja. Tapi ia jelas tidak nyaman. Zavian pun mulai gelisah, seolah mengenali suara yang membuatnya tidak suka.
Aurel melirik Tiara dari atas sampai bawah. “Oh, kamu masih di sini? Pengasuh ini lagi?”
Tiara menunduk sopan meski hatinya ingin pergi.
Belum sempat Nyonya Saras menegur lagi, tiba-tiba suara roda kursi terdengar dari dalam rumah.
Kenzo muncul dari lorong, memutar kursi rodanya mendekat.
Semua orang langsung terdiam.
Aurel menegang sesaat, tapi kemudian tersenyum manis—senyum palsu yang bahkan anak kecil pun bisa membedakan.
“Kenzo… aku datang lagi…”
Kenzo menghentikan kursi rodanya beberapa meter dari Aurel.
Tatapannya datar. Tidak ramah. Tidak marah. Tapi jelas tidak suka.
Aurel berjalan sedikit mendekat, masih percaya diri.
Namun belum sempat ia bicara…
Kenzo membuka mulut.
“Aurel… apa tujuan kamu datang ke sini?”
Aurel tersenyum makin lebar. “Ya ampun… tidak bolehkah aku rindu?”
Kenzo menatapnya tanpa berkedip. “Jawab. Kamu mau apa datang ke sini?”
Senyum Aurel sedikit goyah. Dia menelan ludah.
Di belakang Kenzo, Tiara memperhatikan. Nyonya Saras ikut menegaskan pandangan. Tuan Rendra melipat tangan di dada.
Suasana menegang.
Aurel memutar matanya lalu berkata pelan, “Aku mau bicara… soal sesuatu… sama kamu.”
“Apa?” tanya Kenzo.
Aurel menatap ke kanan-kiri, memastikan tidak ada yang mendekat.
“Ini… masalah pribadi. Tidak seharusnya dibicarakan di depan orang lain.”
Kenzo tidak bereaksi.
Aurel maju setengah langkah.
“Ini tentang… Amara.”
Haii readers selamat pagi
Tinggalkan jejak kalian like komen subscribe vote dan hadiah nya ya terima kasih..
Selamat membaca..