Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Matahari sore mulai merendah, mengecat langit Jakarta dengan warna jingga keemasan. Suara riuh rendah mahasiswa yang keluar dari kelas memenuhi koridor kampus Universitas Baratha. Di antara kerumunan itu, Jessy Sadewo melenggang dengan percaya diri. Tas branded terbaru tergantung di pundaknya, high heels-nya berderak tegas di lantai marmer, menarik perhatian setiap mata yang melintas.
Wajahnya yang cantik tak tersenyum hari ini. Pikirannya masih terpaku pada pesan singkat dari ayahnya pagi tadi: "Fokus kuliah, Jes. Dunia entertainmen hanya sampingan. Jangan lupa, nilai ujian mid harus lebih baik dari semester lalu."
Jessy mendengus pelan. Di tengah popularitasnya yang sedang melejit sebagai model dan public figure, sang ayah, Adi Sadewo, tetap menjadi anchor yang menahannya agar tidak terbang terlalu tinggi. Untungnya, sang paman, Deri—adik dari ibunya—yang juga berperan sebagai manajernya, sangat selektif memilih proyek untuknya. Hanya brand ternama dan acara bergengsi yang layak untuk "Jessy Sadewo".
Seperti yang telah dijanjikan, sebuah mobil SUV mewah berwarna hitam sudah menunggu tepat di depan gerbang utama. Kaca jendela yang gelap turun perlahan, memperlihatkan sosok pria paruh baya dengan kacamata frameless dan senyum ramah. Paman Deri.
"Udah siap, Princess?" tanya Deri saat Jessy membuka pintu dan masuk ke dalam interior yang senyap dan ber-AC.
"Udah siap, Om," jawab Jessy, melemparkan tasnya ke kursi belakang. "Akhirnya Papi setuju juga dengan proyek iklan skincare ini."
Deri tersenyum sambil menyetir mobil melaju mulus meninggalkan kampus. "Iya, setelah om jelasin detail brand-nya dan manfaat exposure-nya buat karirmu. Dia tetap ingin kamu fokus kuliah, tapi kali ini dia lihat ini sebagai investasi yang bagus."
Mereka menuju sebuah gedung perkantoran modern di kawasan Sudirman—Starlight Media Tower. Gedung setinggi 30 lantai itu berdiri megah dengan fasad kaca yang memantulkan cahaya matahari sore. Begitu mobil masuk ke area basement, suasana langsung berubah. Udara dingin dan aroma parfum mewah menyambut di lobi yang luas dengan lantai marmer mengilap dan lukisan abstrak besar di dinding.
Jessy sudah terbiasa dengan atmosfer seperti ini. Ini adalah dunianya.
Mereka naik lift eksklusif menuju lantai 15—lantai khusus untuk meeting klien high-profile. Lift yang dindingnya berlapis cermin itu membuat Jessy bisa menatap bayangannya sendiri. Dia mengenakan dress business-casual berwarna nude yang sederhana namun elegan, potongannya sempurna menegaskan lekuk tubuhnya yang atletis. Rambutnya yang panjang dan berkilau terurai natural. Dia terlihat sempurna, tapi di balik senyum percaya dirinya, ada sedikit deg-degan. Setiap proyek baru adalah sebuah tantangan.
Pintu lift terbuka ke sebuah ruang meeting yang memukau. Sebuah meja panjang dari kayu oak solid menjadi pusat ruangan, dikelilingi oleh kursi kulit hitam yang mewah. Di satu sisi dinding, terdapat panel kaca tembus pandang yang memamerkan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian. Sungai Ciliwung terlihat seperti pita perak yang berkelok, dikelilingi oleh gedung-gedung pencakar langit.
Tiga orang sudah menunggu di dalam ruangan: seorang wanita paruh baya dengan blazer putih tajam (Head of Marketing), seorang pria muda dengan stylus di tangan (Creative Director), dan seorang wanita lainnya dengan iPad yang selalu siap mencatat (Brand Manager).
"Mbak Jessy, senang akhirnya bisa bertemu langsung," sambut wanita berblazer putih, berjabat tangan dengan erat. "Saya Clara, Head of Marketing untuk 'Glow & See Skincare'."
"Senang bertemu dengan Anda, Ibu Clara," balas Jessy dengan senyum profesional yang sudah ia latih, suaranya jelas dan penuh percaya diri.
Meeting pun dimulai. Presentasi diproyeksikan di layar besar. Mereka menjelaskan filosofi brand: natural, radiant, and confident. Mereka ingin mencitrakan produk mereka sebagai sesuatu yang tidak hanya merawat kulit, tetapi juga memancarkan kecantikan alami dan kepercayaan diri dari dalam.
"Kami memilih Anda, Mbak Jessy, karena Anda merepresentasikan nilai-nilai itu," jelas Creative Director, matanya bersinar antusias. "Anda cantik secara natural, berpendidikan, dan memiliki aura confidence yang kuat. Kami ingin menangkap esensi itu."
Jessy mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk. Tangannya yang terawat dengan sempurna mencatat beberapa poin penting di notebook kulitnya. Saat gilirannya berbicara, suaranya lancar dan penuh wibawa. Dia tidak hanya sekadar model yang mengangguk; dia memberikan masukan tentang angle fotografi yang menurutnya bisa menonjolkan produk, bahkan menceritakan pengalaman pribadinya menggunakan rangkaian skincare sejenis dengan nada yang relatable namun tetap elegan.
Clara dan timnya saling memandang, senyum puas merekah di wajah mereka. Mereka bukan hanya mendapatkan seorang model cantik, tapi juga seorang endorser yang cerdas dan memahami brand.
Setelah sekitar satu setengah jam, meeting berakhir dengan kesepakatan yang saling menguntungkan. Kontrak akan segera disiapkan oleh tim hukum.
"Kerja sama yang menyenangkan, mbak Jessy," ujar Clara sambil berjabat tangan perpisahan.
"Sama-sama, Ibu Clara. Saya tunggu jadwal shooting-nya," balas Jessy dengan senyum terakhir yang sempurna.
Begitu pintu ruang meeting tertutup, Jessy menarik napas lega. Ekspresi profesionalnya sedikit melunak, digantikan oleh rasa puas. Dia berhasil.
"Om, aku ke toilet dulu ya," ujarnya pada Paman Deri yang sedang mengobrol dengan asistennya di luar.
"Oke, Jes. Om juga mau cek kerjaan dulu sebentar di lantai 8, mau konfirmasi jadwal untuk talkshow minggu depan. Nanti kamu tunggu aja di lobi kalau udah selesai," instruksi Deri.
Jessy mengangguk setuju. "Siap, Om."
Koridor lantai 15 Starlight Media Tower terasa sunyi setelah hingar-bingar meeting. Karpet tebal berwarna abu-abu basalt menyerap setiap suara, meninggalkan hanya gemerisik lembut dari langkah high heels Jessy. Kepalanya masih tertunduk, matanya terpaku pada layar ponselnya. Jarinya membuka-buka galeri foto tanpa tujuan, mencoba mengalihkan pikirannya dari pertemuan sukses tadi yang entah mengapa justru meninggalkan rasa hampa.
Dia terlalu asyik dengan dunianya sendiri, hingga tak menyadari sosok tinggi yang baru saja keluar dari pintu toilet pria di depannya.
Thump.
Tubuhnya yang ringan nyaris terhuyung ke belakang saat bertubrukan dengan sesuatu yang keras dan kokoh. Sebuah tangan dengan refleks cepat menangkap lengannya, mencegahnya jatuh. Genggaman itu kuat namun tidak kasar, terasa hangat melalui bahan dress tipis yang ia kenakan.
"Eh... sorry..." ucap Jessy terburu-buru, masih setengah terhuyung, matanya belum melihat siapa yang di depannya.
Dia mendongak untuk menyempurnakan permintaannya maaf.
Dan waktu pun berhenti.
Di hadapannya, berdiri Rayyan Albar. Persis seperti bayangannya tadi, namun kini dalam wujud nyata yang lebih menyakitkan. Dia mengenakan kemeja kerja polo abu-abu sederhana dengan logo perusahaan kontraktor di saku, dan celana cargo praktis. Beberapa helai rambutnya yang hitam terlihat sedikit basah oleh keringat, menempel di dahinya yang lebar. Di tangannya, ia membawa sebuah toolkit berisi berbagai alat ukur dan perangkat teknis.
Mata mereka bertemu.
Mata Jessy yang biasanya cerah dan penuh keyakinan, seketika berkabut. Bagai danau jernih yang tiba-tiba keruh diterpa badai. Ada kejutan, lalu luka yang begitu dalam, dan akhirnya sebuah tembok es yang dengan cepat dibangunnya kembali. Nafasnya tersangkut di tenggorokan.
Rayyan memandanginya. Di matanya yang seperti dark coffee itu, terpancar kejutan yang sama, diikuti oleh gelombang rasa bersalah yang tak terucapkan. Dia masih memegang lengan Jessy, dan untuk sepersekian detik, sentuhan itu terasa seperti sengatan listrik yang mengalir di antara mereka, membangkitkan kenangan akan sentuhan-serupaan yang dulu pernah begitu akrab.
Jessy buru-buru menarik lengannya dengan gerakan kasar, seolah kulit Rayyan adalah api yang membakar. "Sorry!" ujarnya sekali lagi, namun kali ini nadanya tajam, dingin, dan terpotong jelas. Sebuah permintaan maaf yang terdengar seperti penolakan.
Tanpa menunggu respon, tanpa memberikan kesempatan bagi Rayyan untuk berkata-kata, Jessy berbalik dan berjalan cepat menjauh. Langkahnya tegas, meninggalkan jejak wangi parfum mahalnya yang semakin lama semakin memudar, bersama dengan bayangan dirinya yang menghilang di ujung koridor.
Rayyan tetap berdiri di tempatnya, tangan yang tadi memegang lengan Jessy masih terangkat setengah, terasa hampa. Dia memperhatikan punggung Jessy yang menjauh, dan yang paling menyakitkan, dia bisa melihat dengan jelas kebencian di mata Jessy tadi. Sebuah kebencian yang tulus dan dalam.
Bagi Rayyan, itu adalah konsekuensi yang wajar. Bagaimana mungkin Jessy tidak membencinya? Dialah yang memilih untuk mundur, dialah yang dengan kejam memutuskan segala harapan di puncak kebahagiaan mereka. Dia telah melukai Jessy, dan kini luka itu berbalik menghunjamnya dengan cara yang paling menyakitkan: melalui tatapan dingin dan sikap acuh dari wanita yang pernah begitu tulus mencintainya.
Dia menghela napas berat, mengepalkan tangan yang masih terasa hangat oleh sentuhan kulit Jessy. Pekerjaan harus tetap berjalan. Dia memutar arah, menuju bank lift di ujung koridor yang lain. Tujuannya: rooftop gedung, di mana proses pengecekan awal untuk pemasangan panel surya bersama tim engineer dari perusahaannya menunggu.
---
Pintu lift terbuka dengan suara ding yang lembut. Di dalamnya sudah berdiri dua orang pria. Rayyan masuk dengan kepala tertunduk, berusaha menyembunyikan gejolak di hatinya.
Salah satu pria, yang mengenakan kaos kuning cerah dan celana jeans sobek, terlihat seperti crew produksi. Pria satunya lagi, dengan penampilan lebih rapi, wajahnya tampan dan familiar—seorang artis pendatang baru yang sedang naik daun, sebut saja Zean.
Pintu lift tertutup, dan lift mulai bergerak naik.
"Katanya ponakannya Pak Deri yang namanya Jessy gabung di project Starlight lagi," ujar pria berkaos kuning tiba-tiba, memecah kesunyian.
Zean si artis menyeringai. "Iya, ada brand skincare katanya." Matanya berbinar. "Lagian, Jessy emang cantik banget sih. Body-nya ok, mukanya natural. Langka."
Pria berkaos kuning terkekeh, mencolek lengannya. "Cocok tuh lo sama dia. Tapi kan lo udah ada Eva, si model itu."
Zean mendengus, sikapnya tiba-tara sombong. "Asal dapet Jessy Sadewo, soal Eva mah nomer dua. Bayangin, dapet cewek kayak gitu. Bukan cuma cantik, tapi keluarganya tajir melintir. Karier lo bisa meledak cuma karena deket sama dia."
Mereka berdua tertawa lebar, tak menyadari pria di sudut lift yang berdiri kaku, rahangnya mengeras hingga garisnya begitu tegas. Rayyan menatap lurus ke pintu lift yang mengilap, memantulkan bayangannya sendiri yang tampak suram. Di dalam dadanya, api kecemburuan dan kemarahan menyala-nyala. Mendengar Jessy dibicarakan dengan cara begitu rendah, hanya dilihat sebagai objek dan tangga karier, membuat darahnya mendidih.
Tangannya mengepal erat di samping tubuhnya. Dia ingin sekali menimpuk, menghentikan omongan kosong mereka. Tapi dia tidak bisa. Dia di sini sebagai tenaga profesional, mewakili perusahaannya. Tindakan emosionalnya bisa berakibat fatal, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk reputasi perusahaan tempatnya bekerja. Dia harus menelan segala amarah dan penghinaan itu.
Ding. Lift berhenti di lantai 27. Kedua pria itu keluar dengan masih terkekeh, meninggalkan Rayyan sendirian di dalam lift yang terus melaju ke lantai teratas.
Begitu pintu tertutup, Rayyan membiarkan dirinya bersandar sejenak ke dinding lift yang dingin. Dia menutup matanya, menarik napas dalam-dalam yang tak mampu sepenuhnya menenangkannya.
"Jess," gumamnya lirih pada kekosongan, suaranya serak penuh beban. "Dunia entertainmen... tidak baik buat kamu."
Kata-kata itu bukan lagi berasal dari rasa cemburu buta, tapi dari sebuah kepedulian yang dalam dan perasaan sedih yang tak tertahankan. Dia melihat potensi Jessy yang cerdas dan berbakat terjerumus ke dalam dunia di mana nilai seseorang diukur dari wajah, ketenaran, dan kekayaan—dunia yang bisa dengan mudah melahapnya hidup-hidup. Dan hal yang paling menyakitkan adalah, dia tahu dia tidak lagi memiliki hak untuk melindunginya. Dia telah melepaskan hak itu dengan tangannya sendiri.
***
Lima belas menit terasa seperti satu jam bagi Jessy. Duduk di sofa kulit mewah di lobi Starlight Tower, ia terus-menerus memeriksa ponselnya. Jarum jam di dinding marmer sudah menunjukkan pukul 19.30, dan Paman Deri masih belum juga muncul. Suasana lobi yang awalnya terasa mewah dan nyaman, kini berubah menjadi ruang tunggu yang menyiksa. Lampu kristal besar di langit-langit seakan menatapnya dengan sinar tajam, menambah kegelisahannya.
Dia mengetik pesan ketiga untuk Paman Deri: "Om, masih lama? Jessy tunggu di lobi ya."
Tidak ada balasan.Indikator 'delivered' pun tidak berubah. Khawatir dan sedikit kesal, Jessy mulai merasa tidak nyaman. Gedung ini perlahan sepi, hanya diselingi oleh langkah security yang sesekali berpatroli.
Tiba-tiba, bunyi ding dari bank lift menarik perhatiannya. Pintu lift terbuka, dan sekelompok pria dengan pakaian kerja praktis—seragam teknisi—keluar sambil berbincang. Dan di antara mereka, Jessy melihat dua sosok yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan: Rayyan dan Paman Deri. Mereka berjalan berdampingan, terlihat akrab, seolah baru saja menyelesaikan pembicaraan serius. Paman Deri bahkan menepuk punggung Rayyan dengan sikap akrab.
Melihat Rayyan dan pamannya begitu dekat, perasaan tidak nyaman Jessy memuncak. Ada rasa dikhianati, meski ia tahu itu irasional. Apakah Paman Deri sengaja menjebaknya? Atau ini kebetulan belaka?
"Jes, sorry banget ya," ujar Paman Deri begitu mendekat, wajahnya penuh penyesalan. "Om dapat telepon mendadak, harus balik ke studio. Masih ada urusan editing yang harus diselesaikan malam ini." Deri melihat jam tangannya yang mewah, lalu menatap Jessy dengan tatapan memohon. "Kamu pulang sendiri bisa, nggak? Atau..." matanya beralih ke Rayyan yang berdiri tenang beberapa langkah di belakangnya, "...nggak, sama Rayyan nih. Dia juga udah selesai kerja kan. Bisa lah mampir sekalian nganterin Jessy."
Deri tersenyum, mencoba mencairkan suasana. Dia tahu Jessy dan Rayyan sudah putus, tapi dia tidak pernah tahu alasan pastinya. Dalam pikirannya, mungkin pertemuan di gedung ini adalah takdir.
"Nggak, Om," sanggah Jessy cepat, suaranya datar dan dingin. Dia bahkan tidak melirik ke arah Rayyan. "Aku naik taksi aja."
"Kamu yakin, Jes? Udah malem lho. Jakarta malam-malam nggak aman," bujuk Deri, khawatir.
"Santai, Om. Sekarang banyak taksi online. Tinggal pesan," balas Jessy sambil sudah membuka aplikasi di ponselnya, berusaha menunjukkan bahwa dia serius.
Rayyan, yang selama ini diam, hanya mengamati. Matanya yang tajam tak lepas dari sosok Jessy yang berusaha keras terlihat acuh. Dia bisa merasakan tembok tinggi yang Jessy bangun, dan itu menyakitkan.
Tiba-tiba, sebuah suara menginterupsi. "Wah, sama saya aja, Pak Deri."
Zean, artis tampan yang tadi berada di lift, muncul dari balik Paman Deri. Ia tersenyum manis, matanya tertuju pada Jessy. "Kebetulan saya mau pulang juga. Arahnya ke Selatan, kan? Saya bisa antar."
Melihat Zean—pria yang tadi membicarakannya dengan tidak sopan di lift—dengan berani menawarkan diri, sesuatu dalam diri Rayyan mendidih. Ingatannya akan obrolan mesum di lift dan naluri posesif yang selama ini terpendam meledak.
Sebelum Jessy atau Deri sempat merespons, Rayyan melangkah cepat. Tangannya yang kuat merengkuh pergelangan tangan Jessy dengan erat, namun tetap hati-hati. Sentuhannya terasa hangat dan menentukan.
"Saya yang akan antar, Pak," ujar Rayyan, suaranya rendah namun penuh keyakinan yang tak terbantahkan. Tanpa menunggu jawaban, dia menarik tangan Jessy dengan lembut namun pasti, membimbingnya berjalan meninggalkan lobi.
Jessy tertegun, matanya membelalak. Kakinya seolah bergerak sendiri mengikuti tarikan Rayyan. Dia terlalu terkejut untuk melawan. Deri dan Zean hanya bisa terdiam, menyaksikan pemandangan tak terduga itu dengan mulut agak terbuka.
Begitu mereka keluar dari pintu kaca otomatis dan memasuki area parkir yang diterangi lampu sorot kuning, Jessy akhirnya menyadari apa yang terjadi. Udara malam yang hangat menyergapnya.
"Lepas!" serunya, menarik tangannya dengan kasar dari genggaman Rayyan. Wajahnya memerah, campuran malu dan marah. "Siapa bilang aku mau pulang sama kamu?!"
"Aku yang bilang," balas Rayyan, suaranya tetap tenang, tapi matanya membara dengan intensitas yang membuat Jessy sedikit bergidik. Dia berdiri tegak, bayangannya jatuh panjang di aspal.
"Aku nggak mau pulang sama kamu!" ulang Jessy, berusaha menghinanya untuk menutupi kebingungannya sendiri. "Kamu pikir aku mau naik motor tua dan berdebu kamu?!"
Rayyan tidak terpancing. Dia hanya mengambil helm cadangan yang digantung di jok motornya yang hitam dan terawat. "Mau nggak mau, kamu harus mau," ujarnya, suaranya datar namun mengandung tekad baja. Dengan gerakan yang lancar, dia memakaikan helm itu ke kepala Jessy sebelum gadis itu bisa menghindar.
Jessy tertegun lagi. Sikap Rayyan yang tiba-tiba posesif dan menentukan ini begitu asing. Ini bukan Rayyan yang dingin dan pasif yang dia kenal. Ini adalah Rayyan yang mengambil kendali, dan entah mengapa, hal itu justru membuat jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang lain.
Dia terdiam, matanya yang hazel membesar di balik kaca helm, memandangi Rayyan yang kini membuka helmnya sendiri dan memakainya.
"Naik, Jes!" perintah Rayyan, suaranya lebih dalam, terdengar jelas meski melalui helm.
Jessy masih ragu, kakinya seolah tertanam di aspal. Melihatnya masih bimbang, Rayyan mengambil langkah tegas. Dia meraih tangan Jessy sekali lagi, kali ini lebih lembut, dan membimbingnya untuk duduk di jok belakang motornya.
Dan akhirnya, tanpa perlawanan lagi, Jessy menurut. Dia mendekap tasnya di pangkuan, tubuhnya kaku. Di depannya, terbentang punggung Rayyan yang bidang dan tegap. Otot-otot di bahu dan punggungnya terlihat jelas melalui kemeja kerjanya yang sederhana. Itu adalah punggung yang sama yang dulu pernah ia peluk erat, punggung yang memberinya rasa aman, punggung yang sangat ia rindukan selama ini.
Mesin motor dinyalakan, menderum rendah. Rayyan melaju perlahan meninggalkan parkiran. Jessy duduk diam, tangannya ragu-ragu sebelum akhirnya, dengan sangat pelan, ujung jarinya menyentuh jaket Rayyan, merasakan kehangatan dan kekokohan punggung yang ia kenal itu, sementara kota Jakarta malam itu menyaksikan dua hati yang terluka kembali terhubung oleh sebuah keputusan tak terduga.
jangan cuma bisa nyalahin orang aja, Elu juga salah cuma jadi penonton, Ndak malah bantuin ibunya.
buat emaknya Rayyan luluh donk thorrrrr
ceritamu emang secandu ini yaa kak ..
kudu di pites ini si ibu Maryam