Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Operasi Senyap
Tiga hari setelah insiden gudang, Kaluna menghabiskan waktunya menatap langit-langit kamar kosnya yang sempit.
Dia tidak dipecat, tapi status "non-aktif sementara" terasa sama saja dengan vonis mati bagi seorang profesional. Ponselnya dibanjiri pesan dari teman-teman sesama arsitek yang bertanya tentang kebenaran berita itu, atau sekadar memberikan simpati palsu. Kaluna mematikan ponselnya. Ia tidak sanggup menghadapi dunia.
Tok. Tok. Tok.
Kaluna bangkit dengan malas. Siapa lagi? Wartawan sudah berhenti mengganggunya kemarin setelah satpam kos mengusir mereka.
Ia mengintip dari jendela. Mobil Mini Cooper biru terparkir di depan. Julian.
Kaluna membuka pintu. Julian berdiri di sana dengan kemeja kasual dan senyum prihatin, membawa dua kantong belanjaan besar berisi makanan.
"Aku tahu kamu pasti belum makan yang benar, dan aku tahu kamu nggak mau keluar rumah," kata Julian tanpa basa-basi. "Boleh masuk?"
Kaluna menghela napas, lalu membuka pintu lebar-lebar. "Masuklah. Maaf berantakan."
Julian meletakkan belanjaan di meja kecil, lalu duduk di kursi plastik. Matanya menyapu ruangan kos Kaluna yang sederhana—jauh berbeda dari kemewahan dunia Bara.
"Aku sudah bicara dengan pengacaraku," ujar Julian sambil mengeluarkan kotak pastry. "Ini kasus fitnah yang jelas. Tidak ada sidik jarimu di kunci itu, kan? Kita bisa menuntut balik Maheswari Group dan Adhitama Group atas pencemaran nama baik dan kelalaian prosedur keamanan."
Kaluna duduk di tepi tempat tidur, menggeleng lemah. "Aku nggak mau menuntut Adhitama, Julian."
"Kenapa? Karena itu perusahaan mantan pacarmu?" tanya Julian, sedikit nada kecewa dalam suaranya. "Kaluna, sadarlah. Bara membiarkan ini terjadi. Dia membiarkan kamu pergi dari gudang itu seperti kriminal."
"Dia tidak punya pilihan," bela Kaluna, meski hatinya nyeri. "Kalau dia membelaku secara terbuka saat itu, Siska akan menarik dana. Proyek berhenti. Ratusan orang kehilangan pekerjaan. Bara melakukan apa yang harus dilakukan seorang CEO."
Julian menatap Kaluna tak percaya. "Kamu masih membelanya? Setelah dia gagal melindungimu?"
"Aku tidak membelanya," sanggah Kaluna pelan. "Aku cuma... mengerti posisinya."
Julian menghela napas kasar, menyandarkan punggungnya. "Kamu benar-benar mencintainya ya? Sampai logika pun kalah."
Kaluna diam. Keheningan itu adalah jawaban yang cukup bagi Julian.
"Baiklah," Julian mengalah, wajahnya melembut. "Kalau kamu nggak mau jalur hukum, setidaknya izinkan aku membantumu mencari bukti. Aku punya kenalan di kepolisian cyber. Kita bisa cek siapa yang mematikan CCTV itu."
"Jangan, Julian. Itu terlalu berbahaya. Siska bukan orang sembarangan," tolak Kaluna. "Biar aku urus sendiri."
"Dengan cara apa? Bertapa di kamar?"
Sebelum Kaluna sempat menjawab, ponsel Julian berbunyi. Ia melirik layar, lalu mematikannya.
"Aku harus kembali ke restoran. Kitchen sedang chaos," ujar Julian berdiri. Ia menatap Kaluna lekat. "Makanlah. Dan tolong, berhenti jadi martir buat pria yang bahkan nggak berani meneleponmu tiga hari ini."
Julian pergi, meninggalkan Kaluna kembali dalam kesunyian dan sekotak croissant yang terasa hambar di lidah.
Sementara itu, di lantai 40 Adhitama Tower.
Bara berdiri menghadap dinding kaca, membelakangi Siska yang sedang duduk santai di sofa sambil membolak-balik majalah desain interior.
"Jadi, kapan kita umumkan pengganti Kaluna?" tanya Siska riang. "Aku punya rekomendasi arsitek dari Singapura. Gayanya glamor, cocok buat selera kita."
"Belum saatnya," jawab Bara datar, matanya fokus mengawasi jalanan macet di bawah sana. "Audit belum selesai. Kalau kita ganti arsitek sekarang, kita harus bayar penalti kontrak ke firmanya Kaluna. Kamu mau keluar uang miliaran cuma buat pesangon?"
Siska mendengus. "Pelit banget sih. Ya sudah, tapi pastikan perempuan itu nggak balik lagi."
"Tenang saja. Dia tidak akan kembali tanpa bukti," ujar Bara, nadanya sedingin es.
Pintu ruangan diketuk. Rian masuk membawa tumpukan dokumen.
"Permisi, Pak Bara, Bu Siska. Ini dokumen persetujuan material pengganti marmer yang harus ditanda tangan," kata Rian sopan, meski matanya menghindari tatapan Siska.
Bara berbalik, berjalan ke meja kerjanya. Saat Rian menyerahkan map, jari asisten itu mengetuk map bagian bawah dua kali. Kode rahasia.
Bara menangkap sinyal itu. Ia membuka map, berpura-pura membaca. Di antara lembaran faktur, terselip sebuah flashdisk kecil berwarna hitam.
Dengan gerakan tangan yang sangat cepat dan terlatih—hasil latihan sulap koin saat bosan rapat—Bara menyembunyikan flashdisk itu di telapak tangannya, lalu menandatangani dokumen itu.
"Terima kasih, Rian. Kamu boleh keluar," kata Bara.
Begitu Rian keluar, Bara menatap Siska. "Aku ada meeting direksi di lantai 15. Kamu bisa tunggu di sini atau pulang?"
"Aku pulang aja deh, mau spa," Siska berdiri, merapikan roknya. Ia berjalan mendekati Bara, hendak mencium pipinya.
Bara memalingkan wajah pura-pura mengambil telepon, sehingga ciuman Siska mendarat di udara.
"Hati-hati di jalan," ucap Bara tanpa menoleh.
Siska cemberut, tapi akhirnya pergi.
Begitu pintu tertutup rapat, Bara langsung mengunci pintu dari dalam. Ia kembali ke mejanya, menancapkan flashdisk itu ke laptop pribadinya yang terenkripsi.
Isinya adalah laporan dari tim investigasi bayaran ("Shadow") dan data yang dikumpulkan Rian dari "orang dalam".
Bara membuka folder bernama "PAK YANTO".
Data mutasi rekening koran Pak Yanto terpampang di layar.
Gaji Pak Yanto sebagai kepala gudang adalah UMR plus tunjangan. Namun, dua hari sebelum kejadian perusakan marmer, ada transaksi masuk sebesar 50 Juta Rupiah.
Pengirimnya: Rekening samaran, tapi terlacak dari sebuah Money Changer di Menteng.
Dan yang lebih menarik, ada riwayat transaksi keluar dari rekening Pak Yanto ke situs Judi Online Slot.
"Kena kau," gumam Bara, matanya berkilat tajam.
Pak Yanto kalah judi. Dia butuh uang cepat. Seseorang menawarkannya 50 juta untuk meminjamkan kunci gudang dan mematikan CCTV sebentar. Seseorang yang tahu persis kapan marmer mahal itu datang.
Bara membuka file berikutnya: Rekaman CCTV Jalan Raya.
Meskipun CCTV gudang mati, CCTV milik dinas perhubungan di jalan raya depan proyek tetap hidup.
Pukul 00.15 dini hari. Sebuah mobil Honda Jazz hitam berhenti di samping gerbang proyek yang gelap. Seseorang turun mengenakan hoodie dan masker, membawa tas besar (mungkin berisi cat atau palu). Orang itu masuk lewat pintu samping yang "kebetulan" tidak dijaga.
Bara memperbesar gambar mobil itu. Plat nomornya buram, tapi ada stiker khas di kaca belakang. Stiker logo klub mobil sport.
Bara mengenali stiker itu. Itu stiker klub mobil yang sering diikuti oleh Pak Burhan, manajer audit kepercayaan Siska.
Tangan Bara mengepal hingga buku-bukunya memutih.
Ini bukan sekadar sabotase Siska yang menyuruh orang bayaran. Ini adalah operasi terstruktur yang melibatkan orang dalam kepercayaannya sendiri.
Bara mengambil ponselnya, menekan nomor Rian.
"Rian, siapkan mobil biasa. Jangan mobil kantor. Kita ke rumah kontrakan Pak Yanto malam ini," perintah Bara.
"Baik, Pak. Bapak yakin mau turun langsung? Ini berisiko."
"Saya tidak peduli risikonya. Saya mau pengakuan tertulis dari mulut dia sebelum Siska sempat menghilangkan jejaknya," desis Bara.
Bara menutup telepon. Ia menatap foto Kaluna di layar laptopnya—foto candid yang ia ambil diam-diam saat Kaluna sedang tertawa di Kotagede.
"Sedikit lagi, Lun," bisik Bara pada foto itu. "Bertahanlah sedikit lagi. Aku akan membersihkan namamu, meski aku harus mengotori tanganku sendiri."
Bara tahu, malam ini dia akan melakukan intimidasi, mungkin sedikit kekerasan verbal, hal-hal yang tidak pantas dilakukan seorang CEO terhormat. Tapi demi Kaluna, dia rela menjadi monster yang ditakuti para penjahat itu.
Malam harinya, di sebuah kontrakan kumuh di pinggiran Jakarta Timur.
Pak Yanto sedang asyik memutar slot di ponselnya sambil merokok, ketika pintu kontrakannya didobrak keras.
BRAK!
Pak Yanto melompat kaget. Di ambang pintu, berdiri dua orang berbadan tegap (security kepercayaan Bara) dan di tengah mereka... Bara Adhitama.
Bara tidak memakai jas. Ia memakai jaket kulit hitam, wajahnya gelap dan menakutkan di bawah keremangan lampu teras.
"Pak... Pak Bara?" Pak Yanto gemetar, rokoknya jatuh ke lantai.
Bara masuk, menutup pintu di belakangnya, dan mengunci gerendelnya. Ia menarik kursi kayu reyot di depan Pak Yanto, lalu duduk dengan tenang—ketenangan yang mematikan.
Ia melemparkan tumpukan kertas mutasi rekening ke pangkuan Pak Yanto.
"Lima puluh juta," ucap Bara pelan. "Itu harga yang kau tetapkan untuk menghancurkan karir seseorang dan merugikan perusahaanku miliaran rupiah?"
"Sa-saya bisa jelaskan, Pak! Itu uang warisan! Itu—"
"Jangan bohong," potong Bara. Ia mencondongkan tubuh ke depan. "Saya tahu kau kalah judi 80 juta bulan lalu. Kau terlilit hutang pinjol. Orang suruhan Burhan datang menawarkan pelunasan, kan?"
Mata Pak Yanto membelalak. "Ba-bapak tahu dari mana..."
"Saya tahu segalanya, Yanto," ancam Bara. "Sekarang kau punya dua pilihan. Satu, saya serahkan bukti ini ke polisi, kau masuk penjara 5 tahun karena penggelapan dan perusakan, dan istrimu di kampung tahu kau pecandu judi."
Pak Yanto mulai menangis ketakutan.
"Atau dua," lanjut Bara, suaranya melunak sedikit namun tetap tegas. "Kau ikut saya ke kantor polisi sekarang. Kau buat pengakuan resmi bahwa kau yang menyerahkan kunci itu ke orang suruhan Burhan, dan bahwa Kaluna tidak terlibat sama sekali. Sebagai gantinya, saya akan bayar sisa hutangmu dan saya tidak akan menuntutmu secara perdata, asalkan kau minggat dari Jakarta setelah ini."
Pak Yanto gemetar hebat. Ia menatap mata Bara yang tidak main-main.
"Saya... saya takut Pak Burhan, Pak. Dia orang jahat..."
"Burhan cuma kacung," sergah Bara. "Saya pemilik Adhitama Group. Kau pikir siapa yang lebih kuat? Saya atau dia?"
Pak Yanto menelan ludah. Ia tahu kekuasaan Bara.
"Baik, Pak... saya ikut Bapak," isak Pak Yanto, menyerah.
Bara berdiri, menghela napas lega yang ia sembunyikan. Satu pion sudah jatuh.
"Bawa dia," perintah Bara pada pengawalnya.
Saat berjalan keluar menuju mobil, Bara menatap langit malam Jakarta yang pekat. Ia membayangkan Kaluna. Wanita itu pasti sedang ketakutan dan merasa sendirian.
Bara mengambil ponselnya, mengetik pesan singkat. Bukan ke Rian, bukan ke pengacaranya, tapi langsung ke nomor Kaluna yang sudah lama tidak ia hubungi.
To: Kaluna
Tidur yang nyenyak. Besok pagi, badai ini berhenti.
Bara menatap layar ponsel itu lama, ragu untuk mengirimnya. Jika ia mengirim ini, Kaluna akan berharap. Tapi jika gagal...
Bara menghapus pesan itu.
Belum, batinnya. Tunjukkan hasilnya dulu, baru bicara.
Ia memasukkan ponsel ke saku, masuk ke mobil, dan bersiap memberikan serangan balik yang akan mengguncang keluarga Maheswari.