Gadis, sejak kecil hidup dalam bayang-bayang kesengsaraan di rumah keluarga angkatnya yang kaya. Dia dianggap sebagai anak pembawa sial dan diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu. Puncaknya, ia dijebak dan difitnah atas pencurian uang yang tidak pernah ia lakukan oleh Elena dan ibu angkatnya, Nyonya Isabella. Gadis tak hanya kehilangan nama baiknya, tetapi juga dicampakkan ke penjara dalam keadaan hancur, menyaksikan masa depannya direnggut paksa.
Bertahun-tahun berlalu, Gadis menghilang dari Jakarta, ditempa oleh kerasnya kehidupan dan didukung oleh sosok misterius yang melihat potensi di dalam dirinya. Ia kembali dengan identitas baru—Alena.. Sosok yang pintar dan sukses.. Alena kembali untuk membalas perbuatan keluarga angkatnya yang pernah menyakitinya. Tapi siapa sangka misinya itu mulai goyah ketika seseorang yang mencintainya ternyata...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sagitarius-74, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI TEMPAT TUJUAN
Perjalanan ke Bandung terasa panjang dan penuh ketegangan. Mang Diman mengemudi dengan hati-hati, selalu waspada terhadap setiap mobil yang lewat, takut kalau itu Tuan Antonio yang masih mencari jejak mereka.
Ferdo dan Gadis selalu berpegangan tangan, kadang-kadang berbicara dengan suara pelan agar tidak mengganggu Mang Diman yang sedang berkonsentrasi.
"Kamu pernah ke Bandung belum, Gadis?" tanya Ferdo, memutar kepalanya ke arah Gadis.
"Belum pernah," jawab Gadis dengan suara pelan. "Hanya dengar dari orang lain kalau Bandung itu kota yang indah dan asri, udaranya juga sejuk, katanya."
"Ya, benar. Tapi ada juga tempat yang tenang di sana. Temanku, Rio, tinggal di daerah yang tidak terlalu padat, di Ciwidey. Kita akan nyaman disana," kata Ferdo, penuh keyakinan.
Mereka tak jadi pergi ke tempat temannya Mang Diman, tapi memutuskan untuk meminta bantuan pada teman dekat Ferdo terlebih dahulu.
Setelah beberapa jam berkendara, mereka akhirnya tiba di perbatasan Jakarta-Bandung.
Matahari sudah terbenam, dan lampu di pinggir jalan mulai menyala satu persatu. Mang Diman memutar setir ke jalan raya yang lebih lebar, menuju alamat yang Ferdo berikan.
"Kita hampir sampai, Mas. Ini alamatnya ya?" tanya Mang Diman, menunjuk ke papan nama jalan.
"Ya, Mang. Cari nomor 45," jawab Ferdo.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di depan rumah kecil yang berdiri di tengah pegunungan yang begitu asri. Rumah itu berwarna biru muda, dengan taman kecil di depan yang ditanami bunga mawar.
Ferdo turun dari mobil dan menekan bel pintu. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka dan seorang pemuda dengan rambut keriting muncul, matanya terbelalak penuh kejutan.
"Ferdo! Kamu apa kabar? Aku tidak menyangka kamu akan datang!" teriak Rio dengan senyum lebar. Dia melihat ke belakang Ferdo, melihat Gadis dan Mang Diman di mobil. "Wah, ada tamu ya? Masuklah, masuklah!"
Mereka masuk ke dalam rumah, yang ternyata nyaman dan rapi. Rio mempersilakan mereka duduk di sofa, lalu pergi ke dapur untuk mengambil minuman.
"Kenapa kamu datang ke Bandung dengan tergesa-gesa? Dan siapa kedua orang ini?" tanya dia saat kembali dengan memegang nampan berisi empat gelas teh hangat, di atasnya.
Ferdo menghela nafas. "Rio, aku butuh bantuanmu. Aku kabur dari rumah. Orang tuaku marah banget karena aku suka Gadis," katanya, menunjuk ke Gadis yang sedang duduk di sampingnya.
Rio mengangkat alis. "Oh, begitu, ya.. Jangan khawatir, Ferdo. Kamu bisa tinggal di sini. ayahku dinas di Kalimantan, ibuku ikut ayah. Semua adikku juga ikut. Aku kesepian disini. Syukurlah kalau kamu disini. Aku akan bantu kamu semampuku."
"Terima kasih banyak, Rio. Kamu benar-benar teman yang baik," ucap Ferdo dengan senyum.
Gadis pun menyapa Rio. "Namaku Gadis. Senang bertemu denganmu."
"Senang bertemu denganmu juga, Gadis. Jangan ragu ya, di sini kamu bebas, anggap seperti di rumah sendiri," jawab Rio.
Sepanjang malam itu, mereka berbicara banyak hal. Rio menceritakan kehidupannya di Bandung, sementara Ferdo menceritakan semua yang terjadi. pukulan dari Nyonya Isabella, pelarian mereka, dan apa yang terjadi di jalan. Rio fokus mendengarkan dengan mengangguk-angguk.
"Mereka pasti akan mencari kamu ke Ciwidey juga, Ferdo. Kamu harus berhati-hati. Kaki tangan dan mata-mata papamu banyak, lho!" kata Rio dengan nada serius.
"Ya, aku tahu. Tapi kita tak punya pilihan lain. Kita harus bertahan disini sampai situasi mendingan," jawab Ferdo.
Hari-hari berlalu dengan cepat. di Ciwidey Ferdo dan Gadis mulai merasakan kehidupan yang bebas.
Mereka sering keluar bersama Rio ke pasar, taman, atau hanya berjalan-jalan di sekitar rumah.
Ferdo bahkan mulai mencari pekerjaan sampingan untuk membantu biaya hidup, sementara Gadis membantu Rio memasak dan membersihkan rumah.
"Saya dapat pekerjaan di warung kopi di seberang jalan!" teriak Ferdo dengan senyum gembira suatu pagi. "Mereka mau menerimaku mulai besok."
Gadis senang mendengarnya. "Itu bagus banget, Ferdo! Aku bangga sama kamu."
"Terima kasih, Gadis. Semua ini karena kamu. Aku ingin bisa mencari nafkah untuk kita berdua," katanya, menggenggam tangan Gadis.
Saat Ferdo mulai bekerja, Gadis sering datang mengunjunginya di warung kopi. Dia akan duduk di sudut, melihat Ferdo bekerja dengan giat, dan merasa bangga. Kadang-kadang, pelanggan akan bertanya pada Ferdo, "siapa dia?" dan Ferdo akan menjawab dengan bangga, "Ini pacarku."
Pagi itu, udara di Ciwidey terasa segar dengan embun yang masih menempel di dedaunan. Ferdo duduk di teras rumah Rio, menggosok sepatu hitam yang sudah agak aus.
Dia terus menatap jalan raya, hati penuh harapan. Beberapa hari lalu, Rio memberitahunya bahwa ada temannya yang bersedia mendaftarkan Gadis ke sekolah kejar paket C yang baru dibuka tidak jauh dari rumahnya.
"Akhirnya, Gadis bisa bersekolah lagi," bisik Ferdo dalam hati. Gadis selalu bercerita tentang impiannya punya ijazah SMA, bahkan ia ingin kuliah, dan suatu hari nanti ia juga bercita-cita ingin bekerja di perusahaan yang bonafid.
Tiba-tiba, suara motor mendekat membuat Ferdo mengangkat kepala. Seorang pria muda dengan rambut keriting mematikan motor. Setelah ia turun dari motor, ia menghampiri Rio dan menyapanya dengan ramah.
"Assalamualaikum, Rio! Sudah selesai daftarnya, nih. Semua dokumen sudah lengkap, dia bisa mulai minggu depan," ujar pria itu sambil memberikan amplop berisi formulir pendaftaran pada Rio.
" Oh ya, Makasih Yad," sahut Rio dengan senyuman.
Ferdo mendekat, ingin menyapa orang yang telah membantunya. Tapi ketika dia melihat wajah pria itu, matanya terbelalak kaget. Wajahnya terasa sangat akrab.
"Yadi? Apakah kamu Yadi, teman SMA-ku yang pindah ke Bandung dulu?" tanya Ferdo dengan suara terkejut.
Pria itu mengangkat alis, lalu tersenyum lebar. "Ferdo! Wah, kapan kamu ada di sini? Ya, betul! aku Yadi! Kamu kenal Rio?"
Ferdo mengangguk, masih tidak percaya. "Ternyata teman Rio yang dia maksud adalah kamu toh, Yadi! Tuhan, dunia itu kecil banget ya," ujar Ferdo sambil tersenyum.
Yadi mengangguk. "Ya, Fer.. Rio bilang dia butuh bantuan daftar sekolah paket C. Sekolahnya juga deket rumah, jadi gampang banget jalan kaki. Kamu kenal dia?.. Maksudku wanita yang Rio daftarkan lewat aku?"
Ferdo mengangguk perlahan, wajahnya sedikit memerah. "Jelas kenal dong! Dia... dia adalah wanita yang aku sayangi, Yadi. Aku sudah lama ingin bantu dia bersekolah, tapi tidak tahu caranya Kamu tidak tahu kan? betapa senang aku hari ini. Akhirnya impian dia bisa terwujud!"
Yadi menepuk bahu Ferdo. "Wah, bagus banget! Tenang aja, kalo ada yang butuh lagi, nanti bilang aja ke aku. Sekolahnya juga punya guru yang baik, pasti dia cepat ngerti."
Tiba-tiba, suara Gadis terdengar dari arah rumah. "Ferdo? Siapa yang dateng?" Dia keluar dengan baju kurung biru muda, wajahnya cerah. Ketika melihat amplop di tangan Yadi, matanya membesar senang.
"Siapa ini, Fer?" tanya Gadis sambil menatap Yadi.
Ferdo tersenyum, menarik tangan Gadis perlahan. "Ini Yadi, temanku dulu. Dan dia yang sudah bantu kamu daftar sekolah paket C."
Mata Gadis langsung berkaca-kaca. Dia mendekati Yadi, mengucapkan terima kasih dengan suara lembut. "Terima kasih banyak, Mas Yadi. Aku tidak berani berharap bisa bersekolah lagi. Terima kasih, Fer.. kamu yang bantu semuanya."
Ferdo mengangguk, mengelus kepala Gadis dengan lembut. "Ini impian kita berdua. Sekarang kamu fokus aja belajar ya. Nanti aku akan jemput kamu ke sekolah tiap hari."
Yadi tersenyum melihat kedua orang yang dia bantu. "Oke deh, aku mau pulang dulu ya. Semoga sukses ya, Gadis! Dan kamu, Fer, jaga dia!"
Setelah Yadi menyapa Mang Diman yang sedang minum kopi di teras, Yadi naik motor dan melaju meninggalkan mereka.
Ferdo dan Gadis berdiri berdampingan, menatap arah sekolah yang tidak jauh dari situ. Udara masih segar, dan matahari mulai menyinari. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, mereka merasakan bahwa masa depan itu tidak lagi jauh dan gelap.
"Akhirnya, dia bisa menjalani impiannya," pikir Ferdo sambil menggenggam tangan Gadis lebih erat. "Dan aku akan selalu ada di sampingnya, sampai dia mencapai semua yang dia inginkan.."