NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 5: Kehangatan yang Terakhir

Pagi itu datang dengan cahaya yang lembut. Matahari terbit di balik punggung Gunung Timur, menumpahkan sinar keemasan yang membelai daun bambu dan atap-atap jerami Desa Hijau.

Udara segar membawa aroma tanah lembap, dan suara ayam berkokok bercampur dengan desir angin yang melewati lembah.

Segalanya tampak seperti hari-hari biasa, tetapi di kedalaman udara yang jernih itu, ada sesuatu yang ganjil, sebuah ketegangan tipis, nyaris tak terdengar, seperti serat halus yang siap putus kapan saja.

Ayah Liang Chen sudah berada di bengkel sejak fajar. Suara palu terdengar lambat dan berat, tidak seperti biasanya. Ia memukul logam bukan untuk membuat sabit baru, melainkan untuk memastikan bilah-bilah tua masih bisa dipakai jika sesuatu terjadi. Di luar, Liang Chen berdiri dengan Pedang Tumpul di tangan.

Ia mengangkatnya tinggi, lalu menurunkannya perlahan. Ayunan pertama terasa ringan, tapi ayunan keseribu sudah membuat peluh menetes dari dahinya.

Selama beberapa minggu terakhir, tubuhnya mengeras seperti baja yang terus ditempa. Ia tidak lagi merasa lelah setelah seribu ayunan. Kini dua ribu bukanlah batas, hanya hitungan waktu.

Setiap goresan kapalan di tangannya adalah bukti bahwa tubuh manusia bisa menolak takdirnya sendiri, meski hanya sebentar. Ia memandang bilah pedang yang tetap kusam, tetap tanpa kilau, dan tersenyum getir.

“Pedang ini memang tidak akan pernah tajam,” gumamnya, “tapi aku akan memastikan tangan yang mengayunkannya tidak tumpul.”

Ia kembali mengayun, membelah udara pagi. Suara desis pedang mengiris keheningan, berpadu dengan suara palu dari bengkel. Ketika matahari naik, ia berhenti sejenak, menatap lembah di bawahnya.

Desa tampak damai.

Anak-anak berlari di jalan tanah, wanita mencuci pakaian di sungai, dan kicau burung menggema di antara bambu. Semua terlihat sama, seakan dunia memilih untuk menipu mereka satu hari lagi sebelum menumpahkan neraka.

Saat ia kembali ke rumah, aroma masakan menyambutnya. Ibunya berdiri di dapur, menyiapkan bekal untuk ayahnya. Tangannya bergerak perlahan, hati-hati, seperti setiap potongan sayur adalah doa yang ingin ia kirim ke langit agar keluarga kecil itu tetap utuh.

Liang Chen duduk di pintu, mengamati ibunya yang bersenandung pelan. Lagu itu sama dengan yang dulu dinyanyikan untuknya saat kecil, lagu tentang bulan dan anak lelaki yang berjanji akan membawa pulang cahaya.

“Ibu,” panggilnya pelan.

Wanita itu menoleh, tersenyum lembut. “Chen’er, kau sudah selesai berlatih? Kau harus makan.”

Liang Chen tersenyum kecil, lalu menghampiri. “Ibu tidak harus repot menyiapkan bekal setiap hari.

Ayah bisa makan di bengkel.”

“Ayahmu mungkin bisa menempah besi, tapi tidak bisa menempah perutnya sendiri,” jawab ibunya sambil tertawa ringan.

Ia menatap wajah ibunya yang mulai dipenuhi garis halus. Tangan yang pernah membawanya menyeberangi sungai saat kecil itu kini gemetar sedikit ketika menata piring.

“Ibu,” katanya tiba-tiba, “apa Ibu pernah berharap aku menjadi sesuatu yang lebih besar? Seorang kultivator, mungkin?”

Ibunya berhenti sejenak, lalu menggeleng.

“Aku hanya berharap kau bahagia, Chen’er. Dunia para kultivator adalah dunia yang kejam. Aku lebih suka kau menikah dengan gadis desa yang baik, punya anak, dan menua di bawah atap ini bersama orang yang kau cintai.”

Kata-kata itu sederhana, tapi seperti pisau yang menyentuh hati Liang Chen. Ia membayangkan dunia yang digambarkan ibunya: kehidupan damai, cinta, dan waktu yang mengalir lembut. Namun di dalam dirinya, ia tahu takdirnya tidak akan sesederhana itu.

Ketika ibunya menyentuh pipinya, sesuatu berdenyut di dadanya. Panas yang samar, bukan rasa sakit, tetapi hangat, seperti bara kecil yang merespons sentuhan penuh kasih.

Liang Chen menatap tangan ibunya, lalu menunduk. Ia tidak tahu bahwa di balik kulitnya, Artefak Asura bergetar pelan, bereaksi terhadap sesuatu yang tidak bisa ia pahami, cinta yang murni, sumber kekuatan yang berlawanan dengan sifatnya sendiri.

“Ibu,” katanya lirih, “aku akan melindungi semua ini.”

Ibunya tersenyum, tak mengira kata-kata itu bukan sekadar janji seorang anak, melainkan sumpah yang akan mengubah jalan dunia.

Menjelang siang, ayahnya memanggilnya ke bengkel. Di dalam, udara panas bercampur dengan bau logam dan arang. Di atas meja, Pedang Tumpul milik keluarga mereka tergeletak, bilahnya disandarkan pada cahaya matahari yang masuk dari jendela kecil.

“Aku ingin kau lihat sesuatu,” kata sang ayah sambil mengambil kain lap. Ia mengusap gagang pedang itu perlahan, hingga muncul ukiran samar berbentuk bintang yang dikelilingi garis melingkar seperti aliran darah.

“Aku tidak tahu siapa yang membuat pedang ini. Pedang ini sudah diwariskan jauh sebelum aku lahir. Tapi setiap kali aku ingin melelehkannya untuk membuat senjata baru, api seolah menolak memakannya.”

Liang Chen menatap ukiran itu. Cahaya matahari memantul pada permukaannya, menimbulkan kilau merah samar. “Bintang?” tanyanya.

“Bintang yang berdarah,” jawab sang ayah pelan. “Entah apa artinya. Tapi kakekmu selalu bilang, pedang ini bukan dibuat untuk menebas, melainkan untuk menanggung. Karena itu aku menyimpannya.”

Liang Chen menyentuh ukiran itu, dan seketika dada kirinya berdenyut. Ia menarik tangannya cepat-cepat, berusaha menutupi reaksi aneh itu. Ayahnya tidak memperhatikan.

“Apa pun asal pedang ini, rawatlah. Ini satu-satunya hal yang tersisa dari garis darah kita.”

Liang Chen mengangguk. “Aku akan menjaganya, Ayah.”

Di luar bengkel, langit perlahan memudar dari biru ke jingga. Waktu bergulir tenang, tetapi di jauh sana, roda takdir mulai bergerak. Di pinggir hutan yang mengelilingi lembah, dua sosok berdiri di bawah bayangan pohon besar.

Salah satunya adalah pengintai yang pernah datang sebelumnya, sementara yang lain adalah pria tinggi dengan jubah hitam berlapis merah. Wajahnya tenang, tapi udara di sekelilingnya bergetar hebat. Ia adalah kultivator tingkat Inti Berputar.

Udara di sekitar tubuhnya padat dan menekan, hingga daun-daun kering di tanah berubah menjadi abu.

“Di mana sumber energi itu?” suaranya dalam dan dingin.

Pengintai menunduk. “Di lembah bawah, Tuan. Energi aneh itu muncul dari tubuh seorang anak muda, tapi masih lemah. Sepertinya warisan itu belum bangkit sepenuhnya.”

Kultivator itu mengangguk perlahan. “Raja Naga Berdarah sudah menunggu. Kita akan memanen energi kotor itu sebelum matang. Siapkan pasukan, kita turun malam ini.”

Ia melangkah ke depan, dan tanah di bawah kakinya retak. Cahaya merah melingkar di sekeliling tubuhnya, seperti lingkaran darah yang mengembang. Suara serangga berhenti, burung-burung kabur ke langit. Alam menahan napas.

Sementara di desa, Liang Chen duduk di depan rumah, menikmati sisa sore. Angin membawa aroma bunga liar dan suara anak-anak tertawa. Ia menatap cakrawala, melihat garis tipis matahari yang perlahan tenggelam di balik gunung.

Senja di Desa Hijau selalu indah, tapi kali ini, langit tampak terlalu merah, terlalu hidup, seolah melukis pertanda yang tak bisa dihapus.

Saat matahari tenggelam sepenuhnya, keluarga mereka berkumpul di meja makan. Ibunya menyiapkan sup daging dengan bumbu herbal, hidangan yang jarang mereka nikmati karena kesederhanaan hidup mereka.

Ayahnya duduk di ujung meja, diam tapi matanya hangat. Liang Chen tersenyum melihat mereka, lalu mulai makan perlahan.

“Chen’er,” kata ibunya sambil menuangkan air, “apa yang akan kau lakukan jika desa ini benar-benar diserang?”

Ia terdiam sejenak, lalu menjawab tanpa menatap.

“Aku akan bertarung.”

“Dan jika kau kalah?”

Ia menoleh, menatap mata ibunya. “Maka aku akan jatuh di sini, bersama desa ini.”

Sang ibu menunduk, air matanya nyaris jatuh.

“Kau anak yang keras kepala, seperti ayahmu.”

Ayahnya tertawa kecil. “Kepala batu yang baik adalah kepala yang tidak mudah tunduk. Dunia butuh lebih banyak orang seperti itu.”

Mereka makan dengan tenang, meskipun di dalam hati masing-masing ada ketakutan yang tidak terucap. Liang Chen menatap wajah kedua orang tuanya bergantian.

Setiap kerut di wajah mereka terasa begitu nyata, begitu manusiawi. Ia tahu, pemandangan ini mungkin tidak akan terulang. Ia menatap sup di mangkuknya, lalu mengangkat sendok terakhirnya perlahan.

Malam turun sepenuhnya. Angin lembah bertiup lembut, membawa wangi kayu bakar dan suara serangga yang kini terdengar lebih jelas. Di luar rumah, Pedang Tumpul bersandar di dinding, bilahnya memantulkan cahaya lampu minyak. Di kejauhan, cahaya merah samar muncul di tepi hutan, terlalu jauh untuk disadari oleh penduduk desa.

Liang Chen duduk di beranda setelah makan malam, memandang bulan yang perlahan naik ke langit. Rembulan malam itu bulat sempurna, cahayanya lembut namun dingin. Ia merasa anehnya tenang, seolah tubuhnya tahu bahwa ini adalah ketenangan yang terakhir.

Di dadanya, Artefak Asura berdenyut pelan. Panas itu datang dan pergi, seperti napas. Ia menatap langit dan berkata dalam hati, “Aku siap.” Ia tidak tahu bahwa kata-kata sederhana itu adalah jawaban yang ditunggu oleh sesuatu yang jauh lebih tua darinya, sesuatu yang berdiam di dalam darahnya sendiri.

Angin malam membawa suara bambu bergesekan. Dari kejauhan, samar terdengar derap langkah berat, bukan langkah manusia biasa, tapi barisan yang berjalan dengan irama teratur. Liang Chen tidak mendengar. Ia hanya melihat bintang-bintang, berkilau di langit seperti mata-mata yang menyaksikan takdir.

Di rumah, ibunya membereskan meja dengan perlahan. Ayahnya memeriksa bilah sabit dan pacul yang telah diasah, lalu menyandarkannya di dinding bersama Pedang Tumpul. “Besok,” katanya lirih, “kita akan lihat seberapa kuat tanah ini menahan badai.”

Malam semakin dalam. Di kejauhan, burung-burung malam berterbangan ketakutan. Langit memerah di ufuk utara, meski tak ada matahari. Cahaya itu datang dari sesuatu yang lain, energi kultivasi yang menekan udara, merambat seperti kabut kematian.

Desa Hijau tetap tenang. Di bawah rembulan, rumah-rumah berdiri damai, dikelilingi suara jangkrik dan angin lembah yang lembut. Tapi di bawah ketenangan itu, dunia sudah menulis akhir mereka.

Narasi langit berbisik tanpa suara: Jika kekuatan terlahir dari pengorbanan, maka malam ini, Langit sedang menimbang harga dari Warisan Asura yang akan segera dibangunkan.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!