Raisa tidak menyangka bahwa hidup akan membawanya ke keadaan bagaimana seorang perempuan yang menjalin pernikahan bukan atas dasar cinta. Dia tidak mengharapkan bahwa malam ulang tahun yang seharusnya dia habiskan dengan orang rumah itu menyeretnya ke masa depan jauh dari bayangannya. Belum selesai dengan hidup miliknya yang dia rasa seperti tidak mendapat bahagia, malah kini jiwa Raisa menempati tubuh perempuan yang ternyata menikah tanpa mendapatkan cinta dari sang suami. Jiwanya menempati raga Alya, seorang perempuan modis yang menikah dengan Ardan yang dikenal berparas tampan. Ternyata cantiknya itu tidak mampu membuat Ardan mencintainya.
Mendapati kenyataan itu Raisa berpikir untuk membantu tubuh dari orang yang dia tempati agar mendapatkan cinta dari suaminya. Setidaknya nanti hal itu akan menjadi bentuk terima kasih kepada Alya. Berharap itu tidak menjadi boomerang untuk dirinya. Melalui tubuh itu Raisa menjadi tahu bahwa ada rahasia lain yang dimiliki oleh Ardan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eloranaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Bolu Sisa
"Terima kasih semua atas kerja kerasnya!"
"Selamat pulang lebih awal!"
Seruan demi seruan membumbung tinggi menguarkan atmosfer bahagia di udara. Tak luput juga bagi Raisa. Dia segera menuju meja riasnya, mengistirahatkan diri di sana sebentar sembari memikirkan kegiatan apa yang hendak dia lakukan karena dia pulang bekerja lebih awal, di siang hari, sedangkan Pak Dadang pasti menjemputnya sesuai dengan jam dia pulang biasanya. Mau mengabari pun Raisa sejak jiwanya berpindah tidak memegang ponsel barang sekali saja. Mau pegang ponsel pun ponsel siapa? Punyanya Alya saja entah kemana, apalagi miliknya sendiri.
"Wah, bawa apa tuh, Al?"
Raisa menoleh, Devan mengajaknya berbicara. Lelaki itu melakukan hal seperti biasanya ketika waktu istirahat sejak pertama kali Raisa menginjakkan kaki di kantor tersebut. Menggeser kursinya untuk mendekati Raisa dan mengobrol bersama ketika jadwal pemotretan mereka dipertemukan.
"Bolu. Lo mau?"
"Boleh."
"Tapi ini sisa gue kemarin."
"Nggak papa."
"Tapi ini buatan gue sendiri jadi kalau nggak seenak yang beli, aman?"
"Aman aja."
"Okey, deh. Bentar," ujar Raisa. Dia membuka thin wall yang berisi potongan bolu. Dia terkekeh saat melihat Devan lelaki itu matanya tampak senang mengikuti gerakan Raisa yang membuka penutupnya.
Sebetulnya Raisa kemarin hanya memakan sedikit saja dan saat tadi ingin berangkat dia hendak memberikan ke orang rumah tetapi ingat itu adalah sisa, dia urung dan memilih membawanya ke kantor berniat memakannya sedikit demi sedikit, karena merasa tidak enak memberikan makanan sisa kepada orang lain, sekali pun itu bisa disebut keluarga.
Raisa menyerahkan wadah yang dibawanya kepada Devan yang diterima dengan mata berbinar.
Devan mengambil sepotong dan memakannya sekali hap. "Boleh minta lagi?"
"Boleh donggg. Makan aja, kalau mau dihabisin juga boleh."
Devan tersenyum lebar mendengarnya. Dengan mulut penuh dia berucap, "Lo juga makan dong. Ini kesannya gue kayak—"
"Ih, nggak papa. Tapi enak nggak itu?"
"Enak, Al. Approved bintang lima."
Raisa tertawa. "Bisa aja lo."
"Makanlah, Al. Bareng gue." Devan mendorong sepotong bolu ke mulut Raisa akan tetapi perempuan itu langsung menjauhkan wajahnya.
"Iya, iya. Gue makan sendiri aja." Raisa lalu mengambil bolu buatannya sepotong menggunakan tangan sendiri. Devan berhasil dibuat canggung karena tadinya dia ingin menyuapi Raisa, lelaki itu segera memutar arah tangan dan menyuapkannya sendiri pada mulutnya.
"Enak, kok, Al. Nanti kalau-kalau bawa lagi gue dibagi yaaa."
...****************...
Dari semenjak jam pulang Raisa dan Devan telah menghabiskan waktu mengobrol bersama hampir dua jam. Meskipun beberapa kali mereka kehabisan topik Devan selalu mencoba untuk menciptakan bahan pembicaraan baru sampai-sampai tidak terasa satu jam lagi sudah waktunya mereka pulang seperti jam biasanya tanpa pulang lebih awal. Dan itu tandanya Raisa tidak perlu terlalu pusing-pusing lagi memikirkan hal apa yang ingin dia lakukan sampai dijemput.
Mereka berdua mengobrol tanpa tujuan dengan sekali-kali mengganti topik secara mendadak. Mulai dari makanan, pekerjaan, kartun, dan saling memberi masukan mengenai peforma masing-masing tanpa menjatuhkan ataupun harus menyeret kehidupan pribadi. Raisa yang tidak tahu banyak tentang industri yang sekarang tengah dia tapaki— yang telah dibangun lama oleh pemilik tubuh yang dia tinggali tentu saja banyak diam dan merasa bersyukur dengan adanya pulang kerja lebih awal kali ini. Karena dengan itu dari ngalor-ngidul pembahasan yang mereka bawa dia bisa mendapatkan berbagai macam wejangan dari Devan yang seumurannya. Lelaki itu orang yang hangat, simpulnya.
Sekarang ini mereka berdua bersama Laura dan Mita duduk mengitari salah satu meja yang ada di kafetaria Starlit. Di hadapan mereka telah tersaji berbagai jenis makanan. Di saat Devan, Laura, dan Mita menerapkan cheating day untuk hari ini dalam segi makanan alias mereka bertiga memilih makanan berat Raisa tetap berusaha menjaga tubuh Alya. Setidaknya dia tidak ingin menghancurkan tubuh Alya. Dipinjam dalam kondisi baik, harus dikembalikan dalam kondisi baik pula. Itu prinsipnya.
"Besok lo ada pemotretan lagi, Dev?" Mita yang bertanya.
"Iya."
"Di ruangan mana?"
"Sama kayak Alya."
"Busettt, kayaknya sejak Alya masuk lo berdua ada pemotretan bareng terus." Kali ini Laura yang menimpali. Nadanya terdengar mencecar tetapi sebenarnya dia tengah bercanda.
"Penglaris nih," jawab Devan sekenanya, dia menepuk dua kali dada kirinya dengan wajah angkuh yang dibuat-buat, mengundang tawa seisi meja tersebut.
"Hati-hati, cinlok." Kalimat datar tanpa intonasi terucap, tak ada yang bisa menebak emosi apa yang ada di dalamnya.
Mita tanpa berpikir seketika menceletuk. Dia sontak saja langsung mendapat pukulan di bahunya yang berasal dari Laura.
"Mulutnya kalau ngomong!"