Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Retakan di Tianhan
Langit malam di atas Tianhan tampak gelap pekat, seperti menyimpan rahasia yang tak terucapkan. Di tengah sunyi yang menyesakkan, cahaya lentera biru pucat berpendar di ruang pertemuan terdalam, sebuah tempat yang hanya bisa diakses oleh mereka yang menyandang gelar tetua penuh.
Delapan sosok berjubah panjang duduk melingkar. Wajah mereka tertutup bayangan, tapi tekanan spiritual yang terpancar dari tubuh mereka cukup untuk melumpuhkan satu sekte kecil.
Lu Ming duduk di sisi utara, punggung tegak dan tatapan tajam menyapu ruangan. Di seberangnya, Tetua Fan menyilangkan tangan dengan wajah dingin seperti batu.
"Anak itu harus disegel," ujar Tetua Fan dingin. "Sebelum kita kehilangan lebih dari yang sudah dikorbankan."
Beberapa tetua mengangguk setuju.
"Kau lihat sendiri bagaimana dia berubah. Mata itu... bukan mata manusia," ujar Tetua Zhong, seorang tua bertubuh kurus dengan suara serak.
"Karena dia selamat dari kehancuran lembah?" balas Lu Ming, nadanya penuh amarah yang tertahan. "Kalian takut pada apa yang tidak kalian pahami."
"Tepat!" sela Tetua Bao, "Itu justru alasan kita harus bertindak. Kekuatannya bukan dari ajaran sekte kita. Apa pun itu… benda yang ia ambil dari lembah membuatnya jadi sesuatu yang lain."
Suasana menjadi tegang. Uap spiritual seperti menekan langit-langit ruangan.
Lu Ming menatap mereka satu per satu.
"Kalian bicara seolah-olah kita tidak pernah tahu seperti apa dia sebelum ini. Yanzhi bukan anak bodoh yang akan menjual jiwanya untuk kekuatan. Kalau ada perubahan, itu bukan karena pilihan... tapi karena kita membiarkannya terluka terlalu dalam."
Tetua Fan menyipitkan mata.
"Kau terlalu lunak, Lu Ming. Rasa bersalah bukan alasan untuk membiarkan monster tumbuh di dalam rumah kita."
"Lalu apa rencana Tetua?" Lu Ming mendesis. "Mengasingkannya? Membunuhnya diam-diam?"
"Tidak," ucap Tetua Nian pelan tapi tegas. "Menara Penyegelan."
Seketika ruangan menjadi hening.
Salah satu tetua muda yang belum lama diangkat bergumam gugup, "Tempat itu… hanya digunakan untuk menyimpan makhluk iblis peringkat langit yang tak bisa dibunuh…"
"Dan Yanzhi mulai menunjukkan ciri-ciri seperti itu," tambah Tetua Fan. "Kau lihat sendiri bagaimana tubuhnya bereaksi saat terluka. Itu bukan seni penyembuhan apa pun yang kita kenal."
Lu Ming berdiri perlahan. "Jika kalian memutuskan itu, aku akan mundur dari jabatan dan membawanya pergi sendiri."
"Kau akan dianggap pengkhianat," Tetua Bao memperingatkan.
"Biar begitu," ucap Lu Ming dengan mata membara. "Kalau sekte ini lebih suka menjadi budak ketakutan daripada mempercayai murid sendiri… maka sekte ini bukan lagi Tianhan yang aku kenal."
Suasana menjadi semakin mencekam. Aura para tetua saling bertabrakan diam-diam, tak terlihat, tapi menyiksa udara di ruangan.
Akhirnya, Tetua Nian angkat tangan.
"Cukup. Kita tidak akan mengambil keputusan malam ini. Biarkan waktu membuktikan, apakah Yanzhi masih bisa dipulihkan, atau sudah menjadi ancaman."
Ruangan perlahan dibubarkan. Tapi benih perpecahan telah tumbuh. Dan bayangan Menara Penyegelan mulai menggantung di atas kepala Yanzhi, bahkan sebelum ia bisa bangkit dari tempat tidurnya.
......................
Angin dingin menyapu perbatasan utara pegunungan Liuyun. Kabut pekat menggantung di antara celah tebing, menutupi jejak-jejak langkah yang tertinggal di tanah beku. Di balik reruntuhan kuil kuno yang ditinggalkan sejak zaman perang besar, obor kecil menyala redup, dikelilingi oleh sosok-sosok berjubah hitam.
Mereka tidak berbicara. Hanya suara desir angin dan napas pelan yang terdengar di antara mereka.
Satu dari mereka melangkah ke tengah lingkaran. Wajahnya tersembunyi di balik tudung, tapi dari tatapan tajam yang memancar di balik kain hitam itu, jelas ia bukan orang biasa.
"Rohnya telah bangkit," gumamnya pelan, hampir seperti doa. "Darah yang menolak takdir, tubuh yang belum siap, dan jiwa yang belum runtuh, ia menyatu dengan tuan kita."
Seseorang dari bayangan lain menyela, suaranya rendah dan berat.
"Kau yakin ini bukan hanya roh pemberontak biasa?"
"Tentu saja yakin." Sosok itu menatap mereka semua. "Kita tidak mengejar roh rendahan. Roh itu… adalah pecahan dari sang Dewa Lama. Ia tak sepenuhnya hancur dalam perang terakhir. Dan kini, setelah berabad-abad tersegel, ia menempel pada tubuh bocah itu."
Keheningan menyelimuti lagi. Lalu terdengar suara tawa kecil, kering dan dingin.
"Kalau begitu," kata salah satu dari mereka, "maka waktunya telah tiba."
......................
Sementara itu, di dalam Sekte Tianhan, hari-hari Yanzhi masih diliputi pengawasan. Para tetua belum mengambil keputusan, tapi tekanan perlahan berubah jadi belenggu. Setiap langkahnya terasa seperti ditimbang, setiap kata seperti dipelintir dan dinilai. Ia dipindahkan dari Paviliun Dalam ke aula pengawasan timur, jauh dari inti sekte, dan dijaga dua murid tingkat tinggi siang malam.
Namun tidak semua ancaman datang dari luar.
Malam itu, saat Yanzhi sedang duduk sendiri di ruangannya, mata setengah terpejam karena meditasi paksa yang tak juga membuahkan hasil, suara pintu berderit pelan.
Seorang murid baru muncul di ambang pintu. Ia membawa nampan berisi ramuan, wajahnya teduh, suaranya tenang.
"Obat dari Senior Lu Ming."
Yanzhi menatapnya. Ada sesuatu yang aneh dari tatapan pemuda itu. Terlalu lembut. Terlalu... hampa.
Ia tidak berkata apa-apa, hanya menerima ramuan itu dengan alis sedikit mengernyit.
Namun begitu pemuda itu berbalik dan keluar dari ruangan, bayangan samar mengikutinya. Di balik lorong, di sela cahaya lentera, matanya memancarkan cahaya ungu tipis yang tak bisa dilihat mata manusia biasa.
......................
Malam berikutnya, di balik tirai realitas, roh dalam tubuh Yanzhi kembali bicara.
"Aku mencium bau mereka," geramnya, suaranya rendah dan dalam. "Para pengumpul dari barat. Mereka lapar. Mereka percaya aku milik mereka. Bodoh."
Yanzhi mengerutkan kening. "Siapa ‘mereka’?"
"Bayangan yang tersisa dari perang yang kalian sembunyikan dari sejarah. Yang dikalahkan dan dibuang. Tapi tak satupun dari mereka pernah benar-benar mati."
Yanzhi menatap bayangan yang muncul samar di permukaan meja batu.
"Kau pernah jadi bagian mereka?"
Roh itu tertawa, keras dan mengejek.
"Aku adalah sebab perang itu terjadi."
......................
Di tempat lain dalam sekte, beberapa laporan mulai masuk. Seorang penjaga hilang tanpa jejak di malam hari. Seorang murid mendadak sakit parah dengan luka-luka yang tak bisa dijelaskan. Bahkan formasi pelindung luar sekte menunjukkan adanya celah kecil di sisi barat, sesuatu yang mustahil jika tak ada yang membukanya dari dalam.
Tetua Fan, yang selama ini paling lantang menentang Yanzhi, mulai mencium keganjilan. Tapi sebelum ia sempat membawa hal itu ke pertemuan para tetua, ia dicegat oleh seseorang yang wajahnya ia kenali... tapi aura spiritualnya berbeda.
"Tetua Fan," sapa pemuda itu ramah.
"Boleh saya bantu?"
Tetua Fan menyipitkan mata. Ia mundur setengah langkah. "Siapa kau?"
Pemuda itu tersenyum. Dalam sekejap, matanya berubah, menyala ungu gelap seperti kabut.
"Kami hanya datang untuk mengambil kembali milik kami. Tak lebih."
Sebelum Tetua Fan bisa menarik pedangnya, semuanya jadi gelap.
......................
Hari berikutnya, kabar tentang Tetua Fan yang hilang menyebar. Beberapa murid terpilih mulai menyelidiki secara diam-diam, dan di antara mereka ada seorang murid perempuan bermarga Yi, ahli dalam teknik pelacak. Ia menemukan jejak energi asing di salah satu aula bawah tanah, sesuatu yang tidak berasal dari sekte.
"Ini... bukan teknik dari daratan tengah," gumamnya ngeri.
Ketika ia hendak melapor, seseorang mencegatnya.
Dan untuk pertama kalinya, mata Yi memperlihatkan rasa takut yang nyata.
Bayangan mulai merayap, tak hanya dari utara dan barat, tapi juga dari dalam. Sekte Tianhan perlahan menjadi medan perburuan tersembunyi.
Dan di tengah semua itu, satu-satunya yang tahu kebenaran, tentang roh itu, tentang yang datang dari luar, hanya Yanzhi.
Tapi siapa yang akan percaya padanya?
Si bocah yang dikutuk.
Atau mungkin... si bocah yang akan membawa akhir dunia.
...****************...