Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 10.
Malam itu, hujan turun pelan.
Rintiknya membasahi kaca jendela, menimbulkan bunyi lembut yang terasa seperti ratapan. Rumah itu hanya diterangi cahaya lampu temaram di ruang tengah. Aroma obat-obatan dan bunga lily menyelimuti udara.
Adrian duduk di kursi, menatap kosong ke arah kamar Aruna yang pintunya sedikit terbuka. Ia belum berganti pakaian sejak pulang dari kantor. Tatapannya kosong, seperti seseorang yang tersesat dalam pikirannya sendiri.
Alana datang perlahan membawa secangkir teh hangat. “Minumlah sedikit, Tuan…”
Adrian menoleh sekilas, lalu menggeleng. “Aku nggak bisa menelan apa pun.”
“Tuan harus kuat, Nyonya butuh Anda.”
Adrian memejamkan mata. “Aku kuat karena dia. Kalau dia pergi, aku nggak tahu… bagaimana caranya hidup lagi.”
Tiba-tiba, dari dalam kamar terdengar suara batuk keras.
Adrian langsung bangkit dan berlari ke dalam.
“Aruna!”
Tubuh wanita itu bergetar lemah, tangan kurusnya berusaha menggenggam selimut. Wajahnya pucat pasi, napasnya terengah.
Adrian berlutut di sampingnya, memegang tangannya erat-erat. “Aku di sini, sayang… aku di sini.”
Aruna membuka mata perlahan, tatapannya berusaha fokus pada wajah suaminya. Bibirnya bergerak, suaranya hampir tak terdengar. “Mas… jangan menangis.”
Adrian menggigit bibir, menahan tangis yang sudah di ujung. “Jangan bicara dulu, aku panggil dokter, tunggu sebentar—”
Aruna menahan tangannya. “Tidak usah…”
Alana sudah berdiri di sisi lain ranjang, berusaha tetap tenang meski hatinya bergetar hebat. Ia mengatur napas Aruna, menepuk pelan dadanya, mencoba membuatnya lebih nyaman.
“Tarik napas perlahan, Nyonya. Begitu, bagus…” ucap Alana lirih.
Aruna menatapnya dan tersenyum samar. “Lana…”
“Ya, Nyonya?”
“Terima kasih. Kamu… sudah mau menjaga Mas Adrian meski dengan cara yang berat. Jangan tinggalkan dia, ya?”
Air mata Alana langsung jatuh. “Jangan bicara begitu. Nyonya harus kuat...”
“Lana.”
Suara Aruna lembut tapi pasti. “Aku titip dia padamu.”
Adrian menggeleng keras, matanya mulai memerah. “Jangan, sayang. Tolong, jangan bicara seperti itu…”
Aruna tersenyum. “Aku bahagia, Mas. Aku sempat menikahkanmu… dan aku melihat, kalian berdua baik-baik saja.”
Napasnya semakin berat, matanya setengah terpejam.
Adrian panik, ia memegang wajah istrinya. “Aruna! Jangan tidur! Dengar aku, sayang! Aku di sini!”
“Mas…”
“Hm?” Adrian menggenggam tangannya kuat-kuat.
“Aku cinta kamu. Sekarang dan nanti… sampai Tuhan menjemputmu. Laa ilaaha illallaah..." lirih Aruna sebelum akhirnya pergi untuk selamanya.
Dan senyum itu perlahan berhenti, mata Aruna terpejam. Dada yang semula naik-turun kini... diam.
“Aruna?”
Tidak ada jawaban.
“Aruna!” suara Adrian pecah. Ia mengguncang tubuh itu pelan, lalu semakin keras. “Sayang! Bangun, dengar aku! Aku di sini!”
Adrian memanggil Aruna berkali-kali, berharap akan ada keajaiban.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.“ Alana menahan air mata yang mengalir deras.
Adrian terhuyung, ia menciumi kening Aruna dan menangis seperti anak kecil.
“Kenapa secepat ini? Aruna… kita belum selesai bicara.”
Dunia seakan berhenti.
Alana hanya bisa berdiri di sisi tempat tidur, menggenggam ujung selimut dan menangis diam-diam. Ia menyaksikan cinta yang begitu suci berakhir di depan matanya.
Aruna pergi dengan senyum tenang, meninggalkan dua hati yang sama-sama remuk. Malam itu, rumah kembali sunyi.
Adrian duduk di lantai kamar, memeluk tubuh Aruna yang kini telah ditutupi kain putih.
Alana berdiri tak jauh, menatap keduanya dalam diam. Ia ingin mendekat, ingin memeluk Adrian. Ia juga ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi ia tahu itu belum waktunya.
Cinta sebesar itu tak bisa digantikan dalam semalam.
Hujan di luar semakin deras, seolah langit pun turut berduka. Alana perlahan mendekat, menutup jendela agar angin malam tak masuk.
Namun sebelum keluar kamar, ia menatap pria itu sekali lagi. Wajah yang tenggelam dalam duka mendalam, bibir yang terus memanggil nama Aruna dalam bisikan yang hampir tidak terdengar.
Malam itu menjadi saksi, akhir dari satu cinta.
Pemakaman Aruna digelar pada pagi hari. Hujan yang sejak malam turun akhirnya berhenti, menyisakan tanah becek dan udara dingin. Para pelayat satu per satu pulang setelah mendoakan kepergian Aruna. Namun Adrian tetap berdiri di depan pusara, diam seperti batu yang kehilangan bentuknya.
Alana berdiri beberapa langkah di belakangnya. Ia tidak ingin mengusik duka yang masih membungkus Adrian rapat-rapat. Pria itu bahkan belum menatapnya sejak upacara pemakaman dimulai, seolah keberadaan Alana tidak lebih dari bayangan yang menempel pada hidupnya.
Adrian menatap nisan itu lama sekali. “Aku sudah memenuhi permintaanmu… tapi aku tidak tahu bagaimana harus menjalani hidup tanpa kamu,” gumamnya hampir tanpa suara.
Saat mendengarnya, Alana tak sakit hati. Ia sadar, pernikahan ini hanya permintaan terakhir Aruna dan bukan keinginan Adrian. Ia tahu dirinya hanyalah sosok cadangan yang disiapkan Aruna saat ajal mendekat.
Ketika hari beranjak siang, seorang kerabat menyentuh bahu Adrian mengajak kembali ke rumah. Adrian tidak menjawab, hanya berbalik dan berjalan tanpa benar-benar melihat arah. Alana mengikuti pelan, menjaga jarak.
Rumah duka sudah lebih sepi saat mereka tiba. Foto Aruna tersenyum dalam bingkai besar di ruang tamu membuat ruangan terasa semakin kosong. Lilin-lilin kecil masih menyala, menyisakan aroma lembut yang justru menusuk perasaan.
Adrian masuk ke kamar, pintunya tertutup pelan. Alana mematung di depan pintu, ragu untuk mengetuk. Ia ingin menenangkan Adrian, tetapi ia sadar tidak punya posisi untuk melakukan itu.
Perempuan itu akhirnya memilih ke dapur, membuatkan teh hangat. Tangannya bergetar saat menuang air, ia sendiri hampir tidak merasakan apa pun selain cemas dan getir.
Saat ia kembali membawa teh untuk Adrian, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Adrian berdiri di sana dengan mata bengkak, serta nafasnya berantakan.
Tatapan itu dingin, penuh amarah dan kehilangan.
“Aku tidak butuh teh.” Suaranya rendah dan tajam.
Alana hanya bisa diam dan menunduk.
Adrian menatap wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu. “Aku sudah bilang... aku menikah denganmu karena Aruna memintanya, jangan mengharapkan apa pun dariku.”
Hatinya sedikit sakit kali ini, namun Alana tetap berusaha kuat.
“Saya tidak mengharapkan apa pun,” jawabnya lirih. “Saya hanya ingin menepati permintaan Nyonya Aruna, untuk tetap berada di sisi Tuan… dalam keadaan apapun.“
Adrian terdiam, ia terlihat ingin mengucapkan sesuatu yang lebih tajam, namun menahan diri. Ia memalingkan wajah dan kembali masuk ke dalam kamar.
Pintu tertutup lagi, kali ini sedikit lebih keras.
Alana berdiri di sana, menatap pintu yang seolah menjadi dinding tak kasat mata antara mereka berdua. Ia hanya menarik napas panjang.
Ia melihat sekeliling ruang tamu, foto-foto Aruna… kenangan yang menempel di setiap sudut.
Ini bukan rumahnya, ini rumah Aruna. Cinta Aruna dan duka Adrian. Dan dia... hanya seorang tamu yang diberi label istri.
Alana berjalan ke kamar yang dulu sering ia tempati saat merawat Aruna, ia menutup pintu pelan dan duduk di ranjang.
Ia sadar perjuangannya baru dimulai, untuk menjadi seseorang yang layak berdampingan dengan pria yang hatinya telah mati sebagian.
Alana menatap langit-langit. “Nyonya, maaf kalau aku tidak setangguh yang Nyonya harapkan. Tapi, aku akan bertahan...”
Di kamar sebelah, Adrian terisak tanpa suara. Lelaki itu memeluk bantal Aruna yang masih berbau tubuhnya, dia kehilangan segalanya hari ini.