Menjadi Istri Kedua Pria Beristri
Pagi menyapu halaman rumah keluarga Adrian dengan sinar keemasan yang lembut. Halaman itu dipenuhi mawar putih yang sedang mekar penuh, bunga favorit Aruna. Wanita itu berdiri menyandarkan tubuh pada pagar balkon di lantai dua. Tubuhnya tampak jauh lebih kurus dibanding dulu, meskipun senyuman yang ia kenakan masih kokoh seolah tidak ada yang berubah.
Padahal seluruh hidupnya sedang berubah, sedang menuju akhir yang ia sendiri tidak siap menghadapi.
Tangannya menyentuh perut bagian kiri yang terasa nyeri menusuk, ia meremas gaunnya agar tidak jatuh terkulai. Napasnya memendek, dada seperti dipenuhi batu. Rasa sakit itu semakin sering datang belakangan ini. Obat dari dokter tidak lagi mampu menipu tubuhnya untuk terlihat baik-baik saja.
“Sedikit lagi, Aruna. Sedikit lagi...” Ia bergumam kepada dirinya sendiri, memaksa tubuhnya berdiri tegak. Ada misi yang masih harus ia selesaikan, impian terakhir sebelum ia pergi.
Aruna menatap selembar foto keluarga di genggamannya. Ia, Adrian, dan putrinya—Alima yang tertawa ceria di taman bermain. Foto yang diambil setahun lalu ketika hidup masih terasa utuh dan masa depan tidak terlalu menakutkan.
Sekarang, ia hanya punya hitungan bulan, mungkin lebih singkat. Dokter tidak lagi memberikan harapan dalam kalimat yang manis.
Ada dua hal yang mengikat Aruna bertahan. Cinta pada suaminya, dan putri kecil mereka yang baru berusia lima tahun.
Ia tak bisa membayangkan Adrian hancur sendirian setelah kepergiannya. Ia juga tidak ingin Alima hidup tanpa sosok yang menyayanginya seperti ibu. Ia tahu Adrian bukan tipe pria yang mudah jatuh cinta lagi. Setia itu adalah kebaikan, sekaligus kelemahan dari pria itu.
Satu-satunya cara mempertahankan keluarga ini adalah dengan melepaskan diri dari keluarga itu. Dan membiarkan wanita lain mengisi tempat yang akan ia tinggalkan.
Dari kejauhan, ia mendengar suara langkah kaki.
Adrian baru pulang dari kantor.
“Sayang.” Suara itu terdengar lelah, namun tetap hangat.
Aruna berbalik dan menyisipkan kepedihan jauh ke dalam dadanya. “Kamu sudah pulang.”
Adrian menatap istrinya dengan pandangan yang sulit dibaca. Ia mendekat, mencium kening Aruna lembut. “Kamu baik-baik saja? Kamu kelihatan pucat.”
Aruna tertawa kecil. “Aku hanya kurang tidur.”
Padahal tubuhnya sudah kalah jauh dari kurang tidur saja, Adrian tidak tahu apa pun tentang penyakitnya. Aruna sengaja merahasiakannya, ia tidak mau melihat laki-laki itu menderita sebelum waktunya.
Untuk apa Adrian tahu? Bukankah itu hanya akan membuat setiap detik tersisa penuh air mata?
“Kalau kamu tidak enak badan, bilang. Aku bisa atur pekerjaanku dan tinggal di rumah menemanimu.” Adrian menatapnya serius.
Aruna menatap mata suaminya yang selalu menjadi rumah baginya. “Kamu sudah melakukan banyak hal, aku baik-baik saja.”
Itu adalah kebohongan paling menyakitkan dalam hidupnya.
Di ruang keluarga, Alima berlarian kecil sambil memeluk boneka kelinci lusuh kesayangannya. Gadis kecil itu berhenti tepat di depan Aruna dan menarik gaun ibunya.
“Mama! Alima dapat bintang di sekolah, lihat!” Ia menunjukkan stiker bintang berwarna emas yang ditempelkan di buku gambarnya.
Aruna tersenyum bangga. “Mama selalu tahu kalau Alima pintar, Mama bangga.”
Adrian ikut mengacak rambut putrinya dengan sayang. “Papa bangga juga.”
Keluarga kecil itu terlihat sempurna, semua orang yang melihat pasti menganggap hidup mereka tanpa cela. Tidak ada yang tahu bahwa Aruna tengah berjalan menuju akhir, selangkah demi selangkah tanpa bisa mundur.
“Kalian duduk dulu ya, aku siapkan cemilan.” Aruna perlahan bangkit. Ia menahan sakit yang menyambar tulang punggungnya, tetap mempertahankan senyum agar Adrian tidak ragu.
Saat ia melangkah keluar ruang keluarga, Adrian memandangi punggung istrinya yang mulai membungkuk samar. Ada sesuatu yang tidak beres, ia bisa merasakannya. Namun Aruna selalu menolak saat ia mencoba bertanya lebih dalam. Adrian hanya bisa menyimpan kekhawatiran itu dan berpura-pura tidak melihat apa pun.
Di dapur, Aruna mendekap dadanya. Serangan sakit itu datang lagi, lebih kuat dari yang sebelumnya. Ia terhuyung hingga punggungnya membentur lemari kayu.
Air matanya menetes.
Ia memaksa dirinya agar tak merintih. Dia rak ingin terlihat lemah dan tidak boleh membuat Adrian curiga.
“Aku tidak boleh menyerah.” Suaranya pecah dalam bisikan sangat pelan.
Aruna menarik napas panjang, mencoba menegakkan tubuh. Ia menata dua cangkir minuman di nampan, dan cemilan. Lalu, ia membawanya ke ruang keluarga.
Adrian datang membantu, memperhatikan wajah Aruna lebih lama dari biasanya namun tak mengatakan apapun.
Malam itu setelah menidurkan Alima, Aruna duduk di tepi ranjang di kamarnya. Ia membuka laptopnya, di layar terdapat sebuah daftar berjudul.
Kandidat Babysitter untuk Alima.
Aruna menatap daftar itu lama sekali. Setiap nama, ia periksa satu per satu karakter. Latar belakang, dan rekam hidup calon baby sitter itu. Karena, ia tidak mencari babysitter biasa.
Ia mencari seorang wanita yang tulus, yang tidak serakah, yang mampu membuat Adrian jatuh cinta meskipun harus melalui ribuan salah paham dan dinginnya sikap suaminya nanti.
Aruna menekan tombol panggil pada sebuah nomor yang sudah ia simpan tiga minggu lalu, setelah beberapa nada sambung suara seorang perempuan terdengar di seberang.
“Halo, saya Alana.”
“Halo Alana, saya Aruna. Apakah kamu masih tertarik bekerja sebagai babysitter untuk putri saya?”
Suara Lana terdengar antusias bercampur gugup. “Masih, Nyonya.”
“Besok pagi, kamu bisa datang ke rumah. Saya ingin mengenalmu lebih dekat.”
“Tentu, Nyonya. Terima kasih banyak atas kesempatan ini.”
Percakapan berakhir, Aruna menutup laptop itu dengan tangan bergetar.
“Semoga kamu orang yang tepat.” Ia bergumam.
Suara pintu kamar terbuka. Adrian yang baru saja kembali dari ruang kerja, berdiri di ambang pintu dan memperhatikan Aruna yang buru-buru menghapus air mata.
“Sayang, apa kamu menangis?” Adrian melangkah mendekat, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
Aruna menggeleng cepat. “Tidak, aku hanya lelah.”
“Kamu tampak berbeda akhir-akhir ini.” Adrian duduk di sampingnya. “Apa ada yang kamu sembunyikan dariku?”
Pertanyaan itu seperti pisau menembus dada Aruna, namun ia tetap memilih berbohong.
“Aku hanya takut Alima cepat besar dan tidak butuh aku lagi.” Ia tertawa kecil, padahal hatinya sangat pedih.
Adrian memeluk istrinya dengan lembut. “Alima akan selalu butuh kamu, aku juga.”
Aruna menutup mata, kata-kata itu bagai racun sekaligus obat. Ia juga ingin selalu ada di samping suami dan putrinya, namun ia lebih tahu dari siapa pun bahwa waktu tidak memihaknya.
Aku ingin kamu bahagia, Mas. Bahkan... setelah aku tiada.
Pelukan malam itu terasa selamanya bagi Aruna, sebab dalam pelukan yang sama ia juga mengucapkan selamat tinggal yang tidak terucap.
Esok pagi akan menjadi awal dari rencana paling gila dalam hidup Aruna, rencana yang tidak pernah terlintas bahkan dalam mimpi terburuknya.
Besok, seorang gadis bernama Alana akan masuk ke rumah ini. Menjadi babysitter, menjadi harapan terakhir.
Menjadi istri kedua dari suaminya.
Tak lama Aruna menatap suaminya yang tertidur di sampingnya dengan damai, ia mengusap rambut Adrian lembut. Dalam hati ia berdoa yang sama setiap malam.
Tuhan, izinkan aku pergi dengan tenang. Pastikan mereka tetap bahagia... setelah aku tiada.
Di balik ketegaran, ia hancur. Di balik cinta, ia sedang belajar melepaskan.
Dan dalam keheningan itu… takdir mulai menggerakkan catur yang akan menguji etika, cinta, dan pengorbanan manusia sampai titik paling rapuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Watini Salma
hadir kakak , semoga cerita nya bisa menghibur pembaca semua 👍💪
2025-10-28
3
Tiara Bella
wow baru lg ini ka Rere.....biasa aku mampir....😍😍💪💪
2025-10-29
2