NovelToon NovelToon
Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:561
Nilai: 5
Nama Author: Sibewok

Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.

Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.

Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.

Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 - Pagi Yang Tak Ramah

Fajar belum sempurna terbit ketika derap langkah kuda Zevh menggema di pelataran istana Obscura. Gelap pagi masih membungkus, namun bau amis darah sudah lebih dahulu menyelinap ke udara.

Pelayan berbisik, pengawal berdehem resah. Mata mereka menatap sosok tuan mereka. Zevh Obscura. Panglima perang sekaligus Pangeran Timur Kerajaan Noctis. Baju zirahnya basah oleh darah, pedangnya meneteskan cairan merah yang masih hangat. Namun semua tahu: itu bukan milik Zevh. Itu milik musuh-musuhnya yang sudah tak bernyawa.

Langkahnya mantap, tegak, penuh aura kuasa yang menusuk. Tak ada kata terucap, hanya gema denting besi saat pengawal melepaskan zirahnya. Suara itu bagai nyanyian perang yang suram.

Seorang ajudan maju, ingin melaporkan sesuatu. Tapi sebelum ia sempat berbicara, Zevh berbalik.

“Aura mu terlalu riuh,” ucapnya dingin. Tatapannya menembus, seolah membaca langkah ajudannya yang dipenuhi kabar dari sang Ratu.

Hening sejenak, lalu suaranya terdengar lagi, berat dan final.

“Layani sang Putri. Pastikan Putri Obscura mendapat penghormatan sempurna di istanaku.”

Ia pun melangkah pergi. Hening kembali menelan aula megah itu.

Di lantai dua, seorang wanita berdiri diam. Liora Endless, Putri Obscura. Gaunnya jatuh anggun, matanya menatap punggung Zevh yang menjauh tanpa menoleh.

Apakah itu pengakuan… atau penolakan?

Pertanyaan itu menggema dalam dadanya, seperti pisau tipis yang menggores tanpa darah.

Ia menarik nafas dalam, lalu menuruni tangga perlahan. Sang ajudan membungkuk dalam hormat. Tapi Liora hanya berkata lirih, “Pergilah.”

Langkahnya menyusuri jejak Zevh, gaunnya berdesir di lantai batu yang dingin. Pikirannya berkecamuk.

“Aku akan menjadi ratu sempurna, yang pantas berdiri di sampingmu, Zevh Obscura,” bisiknya, suaranya penuh tekad.

Namun di balik tekad itu, cemburu merayap bagai ular. Kata-kata pelayan kembali menghantam telinganya.

Tawanan istimewa…

Gadis bandit…

Dan jawaban pengawal di ruangan tahanan. Panglima lebih berhak menjawab pertanyaan sang Ratu.

Pertanyaan yang menyesakkan.

Kenapa tawanan itu mendapat tempat dalam sunyi istana ini yang bahkan ia, istri sah, sulit memasukinya.

Langkah Liora kian cepat. Dingin lorong istana tak bisa menghalangi bara hatinya.

Ia ingin tahu. Ia harus tahu.

Di ujung lorong, di balik dinding batu yang berlumur bayangan obor, suara langkah Zevh masih bergema. Dan di sanalah, di persimpangan antara cinta dan kuasa, Liora Endless mulai menyadari: status Putri bukan berarti memiliki hati suaminya.

Dan jauh di ruang tahanan, Elara terpejam, tak menyadari bahwa keberadaannya kini telah menjadi duri dalam hati seorang calon Ratu tanah Timur.

---

Langkah kaki Zevh berhenti di lorong panjang istana yang diterangi obor pucat. Suara lembut memanggil namanya, penuh hormat namun bergetar halus—sebuah panggilan yang tak pernah ia dengar sebelumnya.

“Zevh…”

Sosok itu mendekat, gaun birunya menjuntai, mata beningnya berusaha menyelami dingin sang Panglima. Liora Endless, Putri Mahkota sekaligus Ratu sah yang dipersatukan lewat pernikahan politik, kini berdiri di hadapannya.

Untuk pertama kalinya, mereka bertemu tanpa jarak protokol.

Zevh hanya menatap sekilas. Aura yang melingkupi tubuhnya tetap dingin, seperti dinding besi yang tak bisa ditembus. Ia menghargai cara istrinya menyapa, tapi di balik matanya, ia sudah tahu apa yang tersembunyi: kerinduan, kecemasan, juga cemburu yang terbakar.

Suasana menjadi hangat sekaligus tegang.

“Suamiku…” suara Liora lirih, namun ada keberanian yang dipaksakan. “Apakah benar… kabar yang kudengar? Bahwa kau membawa seorang tawanan wanita ke istana ini?”

Mata Zevh menajam. Namun bukan pada kata-katanya, melainkan pada aura yang berkecamuk di tubuh istrinya. Ragu bercampur obsesi. Ketulusan bercampur ketakutan. Cemburu yang ia tutupi dengan kelembutan.

“Gosip menyebar cepat,” jawab Zevh datar. “Kau tak perlu mengusiknya.”

“Tapi…” Liora melangkah mendekat, jemarinya yang halus mengangkat sapu tangan abu-abu, berani menyeka darah di rahang tegas suaminya. “Apakah wanita itu… mengancam posisiku?”

Zevh terdiam sejenak, membiarkan sentuhan itu. Namun tatapannya tajam, seolah menembus hingga ke jiwa.

“Statusmu tidak akan tergeser,” ucapnya tenang, namun bagai pedang yang menancap di hati. “Putri mahkota tetaplah putri. Itu berharga dalam lingkaran politik. Tapi…” Zevh berhenti sejenak, suaranya merendah, dingin sekaligus menusuk. “Yang istimewa… tidak bisa dibandingkan dengan yang berharga.”

Jari Liora terhenti. Sapu tangan bergetar di tangannya. Darah yang ia usap di wajah Zevh terasa panas, namun lebih panas lagi kalimat yang baru saja ia dengar.

“Kalian sama-sama penting,” lanjut Zevh. “Dan karena penting, kalian ada dalam genggaman Zevh Obscura.”

Ketegasan itu membuat Liora membeku. Ia menunduk, takut pada kekuatan yang terpancar, tapi juga tak ingin kehilangan perhatian dari sosok yang tak tersentuh ini.

Tangannya bergetar makin kuat. Zevh menatapnya sejenak, lalu mengingat kata-kata ibunya: yang datang dengan kelembutan bisa saja menyembunyikan keburukan.

Dengan gerakan tegas namun tidak kasar, ia menyentuh lengan Liora, menurunkan tangan yang berusaha menempel di wajahnya.

“Selamat datang di istanaku,” ucapnya dingin.

Suara itu manis di telinga, namun getir di hati. Sentuhan itu bukan kehangatan cinta, melainkan penolakan halus yang dibalut hormat.

Zevh lalu berbalik. Langkah kakinya meninggalkan lorong, meninggalkan hawa dingin yang menusuk.

Liora terpaku. Matanya jatuh pada sapu tangan abu-abu di tangannya—berlumur darah segar, namun ia tahu itu bukan darah suaminya.

“Darah ini… bukan luka tubuhnya,” bisiknya. “Apakah dia tak pernah terluka dalam peperangan?”

Ia menatap sapu tangan itu lebih lama, perasaan getir menelusup.

“Apakah aku hanya akan selalu menjadi penghapus darah musuhnya, bukan darahnya sendiri? Aku bahkan tak bisa meninggalkan jejakku pada tubuhnya…”

Air matanya bergetar di pelupuk, namun ia menahan. Liora menggenggam kain itu erat, lalu berbalik.

Jika Zevh menjauh dengan dingin, maka ia akan menemukan jalannya sendiri untuk menarik perhatiannya kembali. Ia tidak akan kalah pada seorang tawanan yang bahkan tidak memiliki gelar.

Gaun biru itu berdesir, langkahnya menghilang ke lorong lain. Di antara cahaya obor yang redup, tekadnya tumbuh.

---

Di sebuah ruangan istana yang dipenuhi cahaya keemasan dari matahari pagi, tirai sutra bergoyang lembut tertiup angin. Namun suasana di dalamnya jauh dari kata damai.

Pangeran Arons Azrak—pewaris kerajaan Azora di Utara—menggebrak meja kayu berukir naga hingga piala emas berisi anggur terguncang dan menumpahkan isinya.

Matanya menyala penuh amarah. Ia menatap lurus para pengawal dan satu ajudannya yang berlutut gemetar di depannya.

“Dapatkan gulungan itu!” pekiknya lantang. Tangan kekarnya mendorong bahu ajudannya hingga hampir terjerembab. “Aku tidak ingin mendengar alasan, tidak ingin mendengar kegagalan. Gulungan itu harus ada di tanganku!”

Ajudan yang ketakutan menunduk makin dalam. “A—akan saya laksanakan, Paduka. Ampunilah kelalaian kami sebelumnya.”

Arons mendengus. “Kelalaian? Kau menyebut itu kelalaian? Separuh pasukanmu mati di tangan Zevh Obscura, panglima kejam itu, dan kau masih berani menyebutnya sekadar kelalaian?” Suaranya meninggi, menggelegar memenuhi ruangan megah dengan pilar marmer putih.

Ia melangkah perlahan mengitari ruangan, setiap hentakan sepatu botnya menegangkan urat leher para pengawal.

“Dia sudah mengendus sesuatu dari Osca,” gumam Arons, matanya menyipit. “Gulungan itu… berisi kunci rahasia tentang tanah perbatasan. Jika jatuh ke tangannya, ia akan tahu betapa berharganya desa Osca bukan hanya sebagai wilayah, tetapi juga sebagai jalur emas perdagangan antara Utara dan Timur.”

Ia berhenti tepat di depan ajudannya, menunduk sedikit hingga wajah mereka berdekatan.

“Dan aku tidak akan membiarkan seorang panglima sok suci menguasai tanah yang seharusnya menjadi milikku.”

Ajudan itu mengangguk cepat, tangannya gemetar. “Baik, Paduka. Kami akan… memperbaiki kesalahan. Gulungan itu pasti akan kami rebut.”

“Pastikan kau tidak mati sia-sia seperti yang lain,” Arons menukas dingin, lalu berbalik dengan jubah ungunya yang berkibar.

Seorang pengawal memberanikan diri membuka suara, suaranya bergetar.

“Paduka… bagaimana dengan tekanan perdagangan dari Desa Osca?”

Arons menghentikan langkahnya. “Tekanan?” tanyanya datar.

Pengawal itu menelan ludah. “Pemasok gandum dari wilayah kita… mereka berhenti mengirimkan hasil panen ke Osca. Desa itu… menutup pintunya dari kita.”

Keheningan mencengkeram ruangan. Lalu senyum miring melintas di wajah Arons. Ia terkekeh lirih, suara tawanya dingin.

“Ah… jadi Zevh mulai mengibarkan bendera perang. Menarik.”

Ia berjalan ke arah jendela tinggi, menyingkap tirai berat, membiarkan cahaya matahari menyorot wajah tampannya yang penuh arogansi. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat hamparan wilayah Utara yang luas—sawah, padang rumput, dan benteng megah yang berdiri angkuh.

“Bayangkan jika Osca mati… jika tanah itu kelaparan, jika rakyatnya merintih tanpa gandum dan daging. Apakah Zevh akan tega membiarkan rakyatnya sengsara?” gumamnya, matanya tajam menatap jauh.

Ia mengepalkan tinjunya. “Tidak. Dia akan menunduk. Karena sesombong apapun panglima itu, dia bukan dewa. Dia tidak bisa memberi makan ribuan mulut yang kelaparan tanpa jalur perdagangan.”

Pengawal menunduk makin rendah, tak berani menanggapi.

Arons tersenyum tipis, penuh rencana. “Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang ingin dia buat sengsara? Dirinya sendiri… atau orang-orang yang ia lindungi? Jawaban itu akan membawa kita pada kelemahannya.”

Ruangan sunyi. Hanya suara burung gagak dari luar yang terdengar seakan menjadi pertanda buruk.

Akhirnya Arons mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua pengawal dan ajudannya pergi. Mereka segera mundur, meninggalkan sang pangeran seorang diri.

Ia berdiri tegak di sisi jendela, tatapan matanya tertuju pada langit cerah Utara yang perlahan disapu awan gelap. Angin pagi menyapa wajahnya, membuat jubah ungu kebesarannya berkibar megah.

“Zevh Obscura…” bisiknya lirih, bibirnya melengkung dalam senyum sinis. “Kau mungkin panglima kejam yang ditakuti, tapi kau hanyalah manusia. Dan setiap manusia… punya titik runtuhnya.”

Suara tawanya menggema di ruangan megah itu, bercampur dengan sinar matahari yang kini terasa seperti pedang emas—siap menebas siapa pun yang berani melawan ambisi Pangeran Arons Azrak.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!