Kontrak Panas Sang Aktris

Amara sedang duduk bersama dua teman kampusnya di sebuah ruang belajar kecil. Mereka seharusnya menyelesaikan tugas yang diberikan dosen, namun suasananya justru jauh dari kata serius. Kedua temannya tampak asyik menonton sebuah acara siaran langsung di ponsel sambil berteriak heboh, seolah melihat sesuatu yang sangat menarik.

Amara yang dari tadi berusaha fokus mengerjakan tugas, akhirnya tidak tahan juga. "Kalian lagi ngapain sih? Emang tugasnya udah selesai ya?" tanyanya dengan dahi berkerut.

Salah satu temannya, seorang perempuan dengan dua kunciran lucu, langsung menjawab antusias. "Tugas nanti dulu lah, gampang! Kamu tahu Aruna, si aktris cantik itu? Aku nggak nyangka kalau dia udah nikah! Bahkan suaminya tuh ... astaga! Suara berat, kalem banget, dan tanpa lihat wajahnya aja aku yakin dia tampan!"

Amara memicingkan mata. Ia mulai penasaran. “Coba lihat,” pintanya sambil mendekat.

Kedua temannya langsung menunjukkan ponsel mereka yang menampilkan tayangan live. Terlihat seorang pria—hanya setengah badan, tanpa menunjukkan wajah. Tapi ... ada sesuatu yang membuat Amara membelalak.

Amara menyipitkan matanya. Tatapannya berubah serius.

“Kalung itu ... kayak kalung abang. Suaranya juga mirip. Masa cuma mirip?” batinnya, penuh tanda tanya.

“Eh, ada rekaman livenya nggak? Nanti kirim ke aku ya,” pintanya sambil mengembalikan ponsel.

Tak lama setelah itu, video live dikirim ke ponselnya. Tanpa banyak bicara, Amara langsung memasukkan semua barangnya ke dalam tas. Ia pamit buru-buru kepada teman-temannya.

“Kalau itu benar abang, kenapa dia nggak bilang ke keluarga? Nikah diam-diam? Ini kabar baik atau justru ... kabar yang tak harus di beritahu?” pikirnya. Rasa penasaran mencambuk hatinya. Perasaan tidak tenang menguasai dirinya.

Ia berlari menuju parkiran. Di sana, motor kesayangannya, berwarna merah muda dan penuh aksesoris lucu sudah menanti. Ia segera memakai helm dan menghidupkan mesin.

“Harus cepat, harus cepat, harus ce—AAAAH!”

Sebuah mobil tiba-tiba menyenggol bagian belakang motornya. Amara terjatuh. Sikutnya membentur kerasnya aspal. Perihnya menyengat.

Seorang pria keluar dari mobil dengan wajah panik. “Mbak, nggak apa-apa?” tanyanya.

Amara cepat-cepat berdiri, menyeka lutut dan lengannya yang tergores. “Nggak apa-apa,” jawabnya singkat sambil mendirikan motornya dan langsung pergi tanpa menoleh sedikit pun.

Pria itu hanya terpaku. “Dia nggak minta tanggung jawab sama sekali? Bahkan nggak minta ganti rugi? Minimal marah gitu? Hah ... wanita terlangka,” gumamnya heran.

Amara melaju dengan kecepatan tinggi. Ia memang tidak suka menyetir mobil, bukan karena tak bisa, tetapi karena terlalu ceroboh. Berkali-kali Ervan, mencoba mengajarinya, namun hasilnya selalu sama, bemper mobil selalu penyok. Akhirnya, mereka sepakat, Amara cukup naik motor saja.

Sesampainya di rumah besar dengan halaman luas, Amara buru-buru memarkir motornya. Namun, saking tergesanya, ia menurunkan standar dengan asal.

BRUGH!

Motornya jatuh ke samping. Tapi Amara tak peduli. Ia sudah berlari masuk ke rumah.

“PAAAA!! PAPAAAA!!!” teriaknya keras.

Arion, sang ayah, keluar dari ruang kerja sambil mengernyitkan dahi. “Kenapa sih teriak-teriak?” katanya sambil menuruni tangga.

Amara terengah, wajahnya panik. “Pa, Mama mana?”

“Mama ke salon. Kenapa?”

Amara menghela napas, kemudian mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan video live itu kepada sang ayah.

“Pa, ini ... ini abang, kan?” tanyanya lirih.

Arion memperhatikan baik-baik. Pria dalam video itu memang tak memperlihatkan wajah. Hanya tubuh bagian atas, dengan kalung yang sangat dikenalnya. Kalung pemberian Skyla, wanita yang dulu sangat dicintai Ervan.

“Masa iya abang jadi suami artis, Pa?” pekik Amara.

“Mungkin hanya mirip,” jawab Arion pelan. Tapi matanya menyipit, wajahnya tak yakin.

“Iya kali, ya ... Mana mungkin abang nikah dan nggak kasih tahu kita." Meski berkata demikian, ada suara kecil dalam hati Amara yang tetap merasa itu benar-benar Ervan.

“Sudahlah, kamu jangan terlalu dipikirin. Selesaikan kuliahmu, dan ... menikahlah. Papa heran deh, dari Ervan sampai Dara, nggak ada yang mau nikah muda kayak Papa dan Mama dulu. Nikah muda itu enak, loh,” celetuk Arion.

Amara menyipitkan mata, lalu berkata datar, “Tapi hampir cerai, kan?”

Arion mendadak diam, “Ya ... tapi kan nggak jadi,” sahutnya lirih.

Amara menarik napas kasar, “Abang Ervan masih menunggu Kak Skyla. Dia masih nyari tahu di mana Kak Skyla, padahal usianya udah 30 tahun. Kalau Kak Dara, lebih sibuk ngumpulin uang daripada cinta.”

Arion terdiam. Ada yang mengganjal di d4danya. Kalung itu, suara itu terlalu familiar. Tapi mungkin saja itu hanya kebetulan. Kalung bisa dibuat duplikat. Suara? Terkadang otak manusia memang bisa tertipu.

“Mungkin ... hanya kebetulan,” gumam Arion pelan.

.

.

.

.

Sementara itu, kabar pernikahan Aruna menyebar cepat ke berbagai kalangan. Termasuk sampai ke telinga Niko dan istrinya, Novalie. Saat itu, Niko sedang duduk tenang di ruang tengah, hingga suara ledakan emosi dari istrinya terdengar keras.

BRUK!

“KAMU LIHAT INI?! UNTUK APA KAMU MINTA ARUNA DATANG KE KAMARMU?! UNTUK APA?!” bentak Novalie dengan mata merah dan suara bergetar setelah melempar ponselnya ke arah suaminya.

Niko mengambil ponsel itu. Ia sudah melihat video klarifikasi Aruna sebelumnya. Ia tahu hal ini akan datang.

“Aku udah coba maafin kamu yang SELINGKUH berkali-kali! Tapi apa?! Kamu ulangi lagi!” isak Novalie sambil menepis tangan Niko yang mencoba menyentuhnya.

“Sayang ...,”

“KAMU SUKA SAMA DIA?! SAMA ARUNA?! JAWAB AKU!”

Niko tertunduk, lalu perlahan mengangguk. Seperti disambar petir, Novalie menjerit dan mengambil bantal sofa, melemparkannya bertubi-tubi ke arah suaminya.

“BR3NGSEK! KURANG AJ4R! AKU UDAH CAPEK MEMAAFKANMU!”

Niko tidak melawan. Ia diam, menerima semuanya. Matanya memerah, tubuhnya lunglai. Tiba-tiba kedua orang tua Novalie masuk dan memisahkan mereka.

“Novalie, berhenti!” seru sang ayah.

“Dia SELINGKUH lagi, Pah! Berkali-kali!” raung Novalie, air matanya membanjir.

Bukan hanya amarah yang meluap, tapi juga luka yang sudah terlalu dalam. Ia mencintai suaminya, namun berkali-kali hatinya dirobek tanpa ampun.

“Maafkan aku,” ucap Niko pelan, berlutut di hadapan istrinya.

Novalie menatapnya dengan air mata jatuh tak terbendung. “Enggak ... aku udah capek, Niko ... aku capek,” katanya lirih, lalu pergi meninggalkan Niko yang terdiam, tersudut, penuh penyesalan yang tak berujung.

_________________________________

2 lagi yah😍 terima kasih dukungannya kawaaaan🤩