Berawal dari seorang Pelukis jalanan yang mengagumi diam-diam objek lukisannya, adalah seorang perempuan cantik yang ternyata memiliki kisah cinta yang rumit, dan pernah dinodai oleh mantan tunangannya hingga dia depresi dan nyaris bunuh diri.
Takdir mendekatkan keduanya, hingga Fandy Radistra memutuskan menikahi Cyra Ramanda.
Akankah pernikahan kilat mereka menumbuhkan benih cinta di antara keduanya? Ikuti kelanjutan cerita dua pribadi yang saling bertolak belakang ini!.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10.
Malam beranjak pelan, hawa dingin seiring menyelimuti dua insan manusia yang terlelap di peraduan. Kehangatan tubuh keduanya seakan menepis hawa dingin di sekitar mereka.
Dinginnya pendingin udara di kamar Cyra ditambah hawa dingin dari sisa air hujan yang hadir sejak matahari terbenam tadi.
Hawa sejuk itu seolah mendukung pengantin baru ini untuk tidur berselimutan dengan tubuh tetap saling berpelukan erat.
Malam kian larut, kedua sejoli masih terlelap dengan nyenyaknya. Hingga beberapa saat kemudian, Fandy terjaga lebih dulu. Dia merasa haus, ingin segera minum untuk melepas dahaganya.
Fandy bergerak pelan sekali, takut Cyra terbangun karenanya. Diusapnya lembut kepala Cyra sebelum dia beranjak turun dari ranjang.
Ranjang berderit karena ada gerakan dari Fandy membuat Cyra terbangun juga akhirnya.
“Maaf Cyra jika membangunkanmu, kamu lanjut tidur lagi aja ya," ucapnya lembut.
“Hmm... Abang mau kemana memangnya? Masih malam ini,” tegur Cyra setelah mengucek kedua matanya.
“Abang haus, mau turun sebentar ambil minum. Tidak apa-apa, kan?”
Cyra mengangguk. “Iya Bang, tapi jangan lama-lama. Aku masih mau meluk kamu saat tidur lagi,” pinta Cyra manja.
Fandy terkekeh, gemas dengan sikap manja istrinya ini. Dirinya tidak menyangka, sosok istrinya yang terlihat cantik, anggun dan berwibawa ini terselip sifat manjanya yang seperti anak kecil.
Fandy tidak masalah, justru senang jika Cyra suka bermanja pada dirinya. Otomatis seharian bahkan sampai semalaman tubuhnya nanti akan dipeluk terus oleh Cyra. Baginya tidak mengapa asalkan Cyra bahagia.
“Iya Cyraku yang cantik, tunggu sebentar lagi ya. Tak akan lama kok aku ambil minumnya,” katanya lembut.
“Kamu pejamkan mata lagi aja ya. Nanti aku peluk kamu lagi tidurnya hingga pagi tiba.”
Cyra hanya mengangguk. Mata indahnya kembali terpejam, melanjutkan tidurnya kembali. Fandy bergegas turun ke arah dapur untuk mengambil minum.
Tidak lama kemudian, Fandy sudah membawa dua gelas berisi air putih hangat untuknya dan Cyra.
“Cyra mau minum gak? Ini Abang ambilkan minum juga.” Fandy menepuk pelan bahu Cyra dan menciumi rambutnya.
Cyra membuka matanya kembali, tertarik dengan tawaran Fandy untuk minum setelah dirasa tenggorokannya pun kering.
Fandy membantu Cyra untuk duduk bersandar di ranjang, pelan-pelan dia bantu istrinya untuk memegang gelas yang berisi air hangat tadi.
“Makasih ya Bang,” kata Cyra begitu selesai meminumnya.
“Iya sama-sama Cyra,” balas Fandy sambil tersenyum.
Fandy kemudian berbaring di samping Cyra, perlahan dia raih tubuh istrinya masuk ke dalam pelukannya. Cyra kini bersandar manja di atas dada Fandy.
“Hmm... Bang, aku mau ngomong sesuatu yang terasa penting buat kita boleh?”
“Boleh saja kok, memangnya apa yang kamu mau omongin?”
“Tadi siang, kan kita sudah berhubungan intim, kalau misalnya aku mau minum pil pencegah kehamilan sekarang Bang Fandy keberatan enggak?”
“Aku… aku belum siap, baik secara fisik maupun mental jika hamil dalam waktu dekat ini Bang,” ucap Cyra lirih dengan rasa gugup dan takut yang menderanya saat ini.
Cyra takut suaminya ini akan marah bahkan menolaknya dengan tegas. Pikirnya salah juga baru memberi tahu malam ini.
Fandy tampak terdiam sesaat, seolah berpikir keras dan menimbang dengan matang keputusan dan perkataan yang tepat yang akan dia sampaikan pada Cyra.
“Cyra masih trauma dengan operasi kecelakaan tempo hari ya?” tanya Fandy hati-hati.
Cyra mengangguk pelan. ”Iya Bang, sisa bekas operasi waktu itu kadang masih terasa. Tapi satu yang pasti, aku belum siap lahir batin menjadi seorang ibu saat ini.”
“Beri aku sedikit waktu, hingga aku bisa menerima semua keadaan ini.”
“Aku juga ingin mengenal Abang lebih jauh lagi, begitupun sebaliknya. Kamu harus mengenaliku lebih dalam lagi.”
“Siapa tau Bang Fandy menyesal telah mengenalku bahkan sampai menikahiku,” ucapan terakhir Cyra seolah menandakan dia seperti tidak percaya diri dan tidak yakin dengan suaminya.
“Kok Cyra ngomongnya begitu? Selama ini apa yang sudah kutunjukkan padamu sedikit demi sedikit tidak terasa atau tidak mengena di hatimu?”
“Usahaku ternyata belum maksimal ya? Terus aku harus bagaimana?” tanya Fandy dengan nada pelan tanpa emosi.
Cyra menggeleng, matanya menatap lurus ke mata Fandy. “Abang sudah tepat kok, semua effortmu untuk hubungan kita ini aku bersyukur dan sangat menghargainya.”
“Aku cuma kadang ragu, mampukah aku membahagiakanmu apalagi dengan meminta menunda memiliki anak. Takut Abang akhirnya kecewa, lelah dan meninggalkanku.” Cyra terisak perlahan.
“Hei! Kok kamu jadi menangis sih, aku tidak akan seperti yang kamu pikirkan tadi. Amit-amit deh jangan sampai kejadian.”
“Cyra, kan udah jelasin alasannya kenapa, jadi kupikir itu alasan yang logis. Aku masih bisa menerima dan mentolerirnya kok.”
Fandy mengusap-usap rambut dan punggung Cyra, diciumnya berkali-kali ujung rambut dan kening Cyra, seolah memberi kekuatan dan dukungan penuh padanya.
“Makasih Cyra sudah mau jujur dan berbagi apa yang ada dalam hati dan pikiranmu saat ini. Abang setuju jika kita menunda dulu memiliki anak.”
“Kamu boleh meminum pilnya, aku ikhlas dan ridho jika ini semua demi kebaikan dan kesehatanmu,” kata Fandy dengan tenang.
Cyra makin terisak, air matanya terus mengalir. Dirinya tidak menyangka suaminya tidak marah ataupun kecewa tetapi malah tetap mendukungnya.
Cyra makin membenamkan kepalanya di dada Fandy dan memeluk erat tubuh suaminya itu dengan penuh perasaan.
Dadanya terasa agak plong, beban yang dirasa berat tadi seolah menjadi ringan kini. Fandy balas memeluk tak kalah eratnya.
“Makasih ya Abang... tidak marah, tidak menolak keras bahkan tetap mensupportku. Aku sangat bersyukur memiliki kamu.”
“Sama-sama Cyra. Aku juga bersyukur memilikimu, kamu juga salah satu jawaban dari doa-doaku selama ini.”
“Mana pilnya? Diminum dulu ya biar enggak lupa.”
Cyra melepas pelukannya dan beranjak bangun. Dia membuka laci meja nakas dekat ranjangnya dan mengambil pil pencegah kehamilan yang dia simpan dua hari sebelum pernikahan.
Fandy memberikan Cyra gelas yang masih berisi air setengah, sisa yang telah diminum istrinya tadi. Cyra menerimanya lalu menelan pil tersebut dan minum setelahnya.
Fandy melihat Cyra dan merasa sesak, perlahan dia hapus sisa air mata di pipi dan di mata indahnya Cyra.
“Jangan bersedih lagi ya, dadaku terasa sesak melihatmu menangis seperti ini.”
“Pasti besok pagi, papa dan mama akan menginterogasi kita deh,” gurau Fandy yang langsung membuat Cyra tertawa pelan.
“Hehehe... iya kayanya Bang, maafin aku lagi kalau gitu,” kata Cyra setelah tawanya terhenti.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Ini masalah kita, jika terlalu privasi aku harap hanya kita yang tahu. Papa dan mama hanya tahu garis besarnya saja,” ucap Fandy bijak.
“Iya Bang, aku mengerti,” balas Cyra singkat.
“Yuk kita lanjut tidur lagi, dan…” ajak Fandy ambigu.
“Dan apa Bang?” tanya Cyra penasaran.
Fandy berbisik di telinga Cyra. "Aku sebenarnya setelah bangun dan minum tadi susah mau tidur lagi."
"Mau ajak Cyra beribadah nikmat mantap tapi takut ditolak,” ucap Fandy sambil senyum-senyum ada motif lain.
Cyra mendadak diam, bingung awalnya. Saat otaknya sudah mencerna, dirinya baru sadar suaminya mengajaknya bukan hanya sekadar tidur seperti biasanya.
“Abang mesum ihh, pikirannya pasti selalu mengarah ke sana,” omel Cyra.
“Wajar dong... mesumnya sama istri sendiri ini, kalau ke perempuan lain baru enggak wajar,” dalih Fandy.
“Awas aja kalau Abang berani mesum ke selain aku, nanti kupotong milikmu itu sampai habis!" ancam Cyra sambil melotot tajam.
Fandy bergidik ngeri, refleks dia memegangi miliknya yang sempat terbangun tadi. Bayangan akan mengulangi ibadah nikmat lagi dengan Cyra pupus sudah.
Miliknya kembali seperti semula seolah takut dengan ancaman Cyra tadi. Akhirnya mereka kembali berbaring dan mencoba tidur lagi.
Fandy seolah tak mau rugi, diraihnya wajah Cyra mendekat padanya. Cyra menatap heran Fandy. Suaminya balas menatapnya.
Dengan gerakan cepat bibir Fandy melumat mesra bibir Cyra, keduanya berciuman dengan penuh perasaan. Fandy terus melumatnya tanpa henti hingga dia puas dan berhenti tak lama kemudian.