Bima, seorang mahasiswa semester akhir yang stres kerena skripsi nya, lalu meninggal dunia secara tiba-tiba di kostannya. Bima kemudian terbangun di tubuh Devano, Bima kaget karena bunyi bip... bip... di telinganya. dan berfikiran dia sedang mendapatkan hukuman dari Tuhan.
Namun, ternyata dia memasuki tubuh Devano, remaja berusia 16 tahun yeng memiliki sakit jantung dan tidak di perdulikan orang tuanya. Tetapi, yang Bima tau Devano anak orang kaya.
Bima yang selama ini dalam kemiskinan, dan ingin selalu memenuhi ekspektasi ibunya yang berharap anak menjadi sarjana dan sukses dalam pekerjaan. Tidak pernah menikmati kehidupan dulu sebagai remaja yang penuh kebebasan.
"Kalau begitu aku akan menikmati hidup ku sedikit, toh tubuh ini sakit, dan mungkin aku akan meninggal lagi," gumam Bima.
Bagaimana kehidupan Bima setelah memasuki tubuh Devano?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere Lumiere, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[10] Rekrut Geng
Ibu Citra memasuki ruangan BK dengan cepat, kemudian menuju kearah meja dan meminum air dari botol minumnya untuk menetralkan emosi yang sedang meluap-luap lalu duduk di kursi kerjanya dengan kasar.
"Kalian berdiri hadapan ibu yang rapi," ujar Citra menunjuk depan mejanya dengan mantap.
Kelima siswa itu mengikuti perintah Ibu Citra dengan menunduk tak berani menatap guru BK yang dalam amarah itu. Setelah semua sudah rapi sesuai dengan titah Citra, kemudian wanita itu mulai mengutarakan pertanyaan.
"Kenapa kalian berkelahi tadi? jawab ibu," tanya Citra menatap satu persatu siswa nya itu.
"Mereka duluan bu, saya di tendang dan di pukul…" tunjuk Liam pada Devano dan Theo.
Devano nampak menatap nyalang pada Liam seperti akan menusuknya dengan seketika, "Apa-apaan playing victim banget, dah," cerutu Devano dalam hati.
"Bohong bu, saya hanya membela teman saya, lihat Theo bu, kacamatanya sampai rusak, dan mata lebam bu," bela Devano tak mau kalah dari Liam.
"Bohong bu!" tunjuk Liam dengan kasar, tidak Terima dengan fakta yang diberikan oleh Devano.
"Dia juga ingin melukai saya, bu, untung saya bisa mengelak kalau tidak tubuh saya akan bernasib sama dengan Theo," ucap Devano melirik sinis pada Liam.
"Diam kalian, masih saja ribut!" bentak Citra menggebrak mejanya.
"Theo jawab Ibu?" Citra kini beralih pada Theo untuk memberikan keterangan.
Theo sedikit terdiam, karena selama ini geng Nico dan Liam ini selalu mem-bully nya dan tiba-tiba seseorang yang sering menjadi korban penindasan pula, membantunya dengan mempertaruhkan nyawanya demi dia, dan yang pasti Devano akan kena imbasnya, hati Theo sedikit bimbang.
"Benar Bu yang di katakan Devano, Liam selalu menindas saya dan memalak uang saya," ucap Theo menundukkan padangan nya, takut Liam memainkan emosinya yang akan mengurungkan niatnya untuk membela diri.
Citra menggebrak meja membuat mereka berlima kaget, Citra kemudian berdiri dari duduknya, "Liam, apa yang kamu lakukan itu sudah kelewatan, kamu harus mendapatkan hukuman berat,"
"Dan kamu Devano, kamu harus minta maaf pada Liam meskipun kamu membela diri, tidak selayaknya kamu memukul teman kamu," ujar Citra menatap kearah Devano.
Devano saat ini sedang meremas dadanya kencang karena jantung nya mulai bereaksi, udara di sekitarnya terasa menghilang begitu cepat.
Namun Devano menyeringai, "Kalau gue pingsan, gue perlu minta maaf sama nih anak, biar dia nggak besar kepala," gumam Devano dalam hati.
"Kenapa kamu Devano? minta maaf sekarang," tanya Citra melihat Devano terus meremas seragamnya dan terlihat keringat dingin menggenang di pelipisnya.
"Hhh…da- dada sa-saya sakit bu," ujar Devano mencoba meraup oksigen sebanyak mungkin. Kemudian, semua menjadi samar-samar di pandangannya.
Ibu Citra dengan buru-buru menghampiri nya seperti akan menangkap barang yang jatuh saja. Hingga akhirnya kepalanya berdengung nyaring, kemudian semuanya mengelap seketika, dan Devano tak tau apa yang terjadi selanjutnya.
"Devano, kamu kenapa, Devano!"
*
*
Beberapa jam kemudian, Devano memegang kepalanya yang sedikit pening, dia membuka matanya perlahan. Dia melihat pertama kali adalah ruangan putih dengan lampu yang mengandung di langit-langit ruangan itu, dan tercium pula bau obat-obatan dan minyak kayu putih.
"Minyak kayu putih? jangan-jangan gue…"
Devano kaget dan menoleh ke sebelah kanannya, laki-laki berkacamata itu nampak duduk di sebuah kursi dengan tangan yang diletakkan di atas pahanya dan Theo mencengkramnya dengan kuat, menatap Devano dengan sendu.
Devano menoleh ke arah lain, dan ternyata itu ruangan UKS, "Gue kenapa?" tanya Devano pada Theo yang sedang melamun.
"Lo udah bangun," ujar Theo nampak tersenyum, seperti sangat senang karena Devano sudah sadar.
"Gue baru bangun liat lo senyum gitu, ngeri sumpah," ledek Devano memalingkan wajahnya.
"Ya Maaf, tapi lo tadi pingsan. Lo nggak pura-pura kan," ucap Theo ikut memalingkan wajahnya.
"Gila lo ya, gue beneran sumpah, gue sakit benaran puas lo," jawab Devano mencoba bersandar pada ujung ranjang UKS.
"O… oke, tapi lo sakit apa?"
"Jantung," singkat Devano seperti tak ingin membahasnya.
"Berat juga, gimana kalau kita temenan? gantian sekarang gue jagain lo," ujar Theo menjulurkan tangan sebagai tanda bahwa mereka telah menjadi teman akrab
"Nggak perlu, emang gue batita," jawab Devano memalingkan wajahnya.
Theo terlihat murung dan ingin menurunkan tangannya, "Tapi, kalau temanan gue setuju, gimana kalau kita rekrut lebih banyak orang buat jadi geng," kata Devano dengan cepat menyambar tangan Theo yang akan turun.
Mata Theo berbinar karena keinginan bertemannya di terima dengan oleh Devano. Namun, dia mengerutkan dahinya dengan apa yang dikatakan Devano terakhir.
"Geng… apa maksudnya geng?" tanya Theo mengaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya, biar rame doang, dan kita bisa menguasai sekolah… hahaha… uhuk…" tawa Devano menggelegar hingga terbatuk-batuk membayangkan dunia remaja yang bebas.
"Untuk membantu anak-anak yang tertindas?"
"Boleh juga, kita rekrut dari sana, sesekali melakukan hal baik seru juga," gumam Devano memegangi dagunya.
"Tapi, gue boleh belajar bela diri dari lo?" tanya Theo ragu.
"Boleh, semua teman gue harus bisa bela diri, biar nanti kalau ada mengancam kalian, kalian bisa membela diri," ucapnya disertai lamunan.
"Iya juga ya, gue harus belajar pernafasan, biar gue nggak kayak gini, seenggaknya nggak merepotkan temen-temen gue dan bergantung sama orang lain," fikir Devano dalam hati.
"Oh, gue tau di mana anak-anak yang bisa kita bantu," celetuk Theo membuyarkan lamunan Devano.
"Bagus Theo, gue ngandelin lo," ujar Devano menepuk bahu teman barunya itu seraya tersenyum ke arah Theo.
"Woy, Devano!"
Tiba-tiba sebuah suara sumbang memasuki ruang UKS, membuat atensi kedua laki-laki itu menoleh kearah sumber suara itu. Dan Devano terkejut melihat kakak tengahnya itu datang dengan wajah datarnya, padahal laki-laki itu sangat membencinya lalu mengapa dia datang kesini.
"Ngapain Kak Elio datang kesini," kata Theo merentang tangannya mencoba menghalangi Elio yang mungkin akan menindas Devano, meskipun dia tidak punya kekuatan sekarang namun dia ingin menjadi teman yang berguna.
"Minggir lo bego!" Elio mencoba menyingkirkan Theo, namun Theo tak bergeming meskipun di dorong dengan kasar oleh nya.
"Theo, udah biarin dia mau ngapain," ucap Devano menyingkirkan tubuh temannya itu dengan sedikit tenaga.
Kini tak ada jarak di antara kakak dan adik yang tak ingin saling mengakui hubungan mereka itu.
"Mau apa lo?" pertanyaan itu yang terlontar pertama kali dari mulut Devano.
"Gue mau liat lo mati, apa belum?" jawab Elio menyeringai melihat wajah adiknya lebih dekat.
"Cih… mau gue mati atau nggak bukan urusan lo," geram Devano.