NovelToon NovelToon
Diam-Diam Mencintaimu

Diam-Diam Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Fantasi Wanita
Popularitas:424
Nilai: 5
Nama Author: Nildy Santos

Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 10

Hari pertunangan Bastian dan Vita digelar di sebuah ballroom hotel bintang lima. Lampu kristal menjuntai megah, bunga segar menghiasi setiap sudut ruangan, dan lantunan musik klasik lembut mengiringi suasana. Para tamu berdatangan dengan pakaian glamor.

Bastian berdiri di samping Vita, mengenakan setelan jas navy yang membuatnya semakin berwibawa. Senyum ramah ia tunjukkan kepada para tamu, meski dalam hati ia dihantui satu pertanyaan: Apakah Jenia akan datang?

Jawabannya muncul ketika pintu ballroom terbuka.

Jenia masuk dengan gaun sederhana berwarna biru pastel yang membalut tubuhnya anggun. Rambut panjangnya dibiarkan terurai dengan hiasan tipis di salah satu sisi. Wajahnya dipoles make up natural yang membuat pesonanya semakin memikat. Dan di sisinya Raka berjalan gagah dengan setelan hitam klasik, menemaninya dengan penuh percaya diri.

Seisi ruangan sontak menoleh. Beberapa tamu bahkan berbisik, kagum pada sosok Jenia yang begitu mempesona.

Bastian yang berdiri di pelaminan nyaris kehilangan fokus. Pandangannya terpaku pada Jenia, matanya tak berkedip, seolah lupa ia sedang berdiri di samping Vita. Detak jantungnya melompat tak karuan. Dia… cantik sekali…

Vita yang menyadari perubahan ekspresi Bastian, menggenggam tangannya lebih erat. Namun justru genggaman itu terasa kaku.

Jenia menatap sekilas ke arah Bastian, lalu tersenyum sopan sebelum mengalihkan perhatiannya kembali pada Raka. Senyum itu sederhana, tapi cukup untuk membuat dada Bastian terasa sesak.

“Kenapa dia bisa terlihat begitu bahagia dengan pria lain?” batinnya panas.

Raka memperhatikan reaksi sekitar, lalu menunduk pada Jenia sambil berbisik, “Lihat? Semua mata ke kamu. Kamu memang pantas jadi pusat perhatian, Jen.”

Jenia hanya tersenyum tipis. Namun jauh di dalam hatinya, ia merasa aneh melihat tatapan Bastian yang terus menempel padanya.

Acara terus berjalan dengan meriah, tapi di kepala Bastian hanya ada satu hal:

Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Jenia.

Acara pertunangan sudah melewati puncaknya. Para tamu sibuk berbincang, musik masih mengalun pelan, sementara Bastian berulang kali melirik ke arah Jenia yang duduk bersama Raka. Senyumnya, tawanya, caranya berbicara semuanya mengusik hati Bastian.

Merasa dadanya semakin sesak, ia memilih berjalan keluar ballroom. Langkahnya tanpa sadar membawanya menuju lorong menuju kamar kecil.

Saat hendak masuk ke sana, ia berhenti karena mendengar suara yang sangat familiar.

Suara Jenia.

Bastian terdiam di balik dinding, telinganya menangkap jelas percakapan Jenia dengan Leony yang sedang berdiri di depan cermin kamar mandi wanita.

“Le, kadang aku merasa bodoh banget…” suara Jenia lirih.

“Kenapa lagi kamu, Jen?” tanya Leony lembut.

Jenia menghela napas panjang.

“Bayangin aja, enam tahun aku nyimpan perasaan ke orang yang bahkan nggak pernah lihat aku. Aku pikir setelah ketemu lagi di kantor, aku bisa kuat. Tapi nyatanya, rasa itu masih ada… dan justru bikin aku sakit setiap hari.”

Leony menatap sahabatnya dari cermin.

“Kamu masih sayang sama Bastian, ya?”

Ada jeda. Suara Jenia bergetar.

“Iya, Le. Dari dulu sampai sekarang… dia satu-satunya. Tapi aku sadar, aku nggak pernah ada di level dia. Jadi biar gimana pun, aku harus belajar ikhlas. Apalagi sekarang dia sudah resmi sama Vita.”

Bastian yang mendengar itu seperti tertusuk ribuan jarum. Nafasnya tercekat. Jantungnya berdentum keras tak terkendali. Enam tahun? Dia… menyukaiku selama itu?

Tangannya mengepal, wajahnya pucat. Ingatan tentang kata-katanya sendiri pada Vita tempo hari bahwa Jenia tidak selevel dengannya menampar dirinya sendiri begitu keras.

“Kenapa aku bisa sebodoh itu? Kenapa aku nggak pernah sadar…,” gumamnya hampir tanpa suara, matanya mulai memerah.

Leony kemudian memeluk Jenia yang menahan air mata.

“Sudah, Jen. Kamu itu berharga. Kalau dia nggak lihat kamu, berarti dia yang buta.”

Bastian mundur perlahan, tubuhnya lemas. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa benar-benar kalah. Bukan oleh orang lain, tapi oleh kesombongannya sendiri.

Sejak acara pertunangan Bastian dan Vita, Jenia berusaha lebih keras menata dirinya. Ia sudah cukup lelah menunggu sesuatu yang tak pasti. Kehadiran Raka kekasih masa kecil yang kini sukses pelan-pelan membuatnya sadar, bahwa ia masih layak dicintai dengan tulus.

Suatu sore di sebuah kafe, Raka menatap Jenia dengan serius.

“Jen, aku tahu kamu masih menyimpan luka… tapi aku nggak akan berhenti sampai kamu membuka hatimu lagi. Aku ingin kamu percaya, kalau bersamaku kamu nggak perlu merasa ‘tidak selevel’ dengan siapa pun. Kamu cukup jadi dirimu sendiri.”

Ucapan itu mengguncang hati Jenia. Air matanya hampir jatuh, namun ia tahan dengan senyum kecil.

Beberapa hari kemudian, Raka menepati janjinya. Ia menawari Jenia posisi impian di perusahaannya sebuah jabatan yang selama ini hanya ada dalam angan.

“Bukan karena aku ingin ‘membeli’ hatimu, Jen. Tapi karena aku percaya kamu mampu. Aku ingin kamu ada di timku, berjuang bersama,” kata Raka mantap.

Jenia menatapnya lama. Ada rasa hangat yang selama ini ia rindukan. Perlahan ia mengangguk.

“Aku akan pertimbangkan, Rak…”

Malam itu di kamar, Jenia menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Kata-kata Raka terngiang, bercampur dengan suara hatinya sendiri.

Akhirnya, jemarinya menari di atas keyboard. Ia menulis sebuah dokumen sederhana, namun penuh makna:

Setiap kata yang ia ketik seperti menutup satu bab panjang dalam hidupnya. Bab tentang Bastian, tentang cinta diam-diam yang hanya melukai dirinya.

Selesai menulis, ia mencetak surat itu, lalu meletakkannya di atas meja kerja. Nafasnya terasa lebih ringan.

“Sudah cukup, Jen. Saatnya mulai dari awal.”

Keesokan harinya, Jenia melangkah ke kantor dengan tenang. Surat itu berada di tangannya, siap ia serahkan ke meja HRD. Ia tahu ini bukan keputusan mudah, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa yakin dengan langkahnya.

Dan tanpa ia sadari, dari lantai atas, sepasang mata memperhatikannya penuh gelisah.

Bastian.

Pagi itu, suasana kantor tampak biasa saja. Namun bagi Jenia, setiap langkah menuju meja HRD terasa begitu berat sekaligus melegakan. Di tangannya tergenggam erat sebuah map berisi surat pengunduran diri.

“Setelah ini… aku akan bebas,” batinnya menenangkan diri.

Ia mengetuk pintu ruang HRD, menyerahkan surat itu dengan senyum tenang. “Ini… pengunduran diri saya. Terima kasih atas kesempatan yang sudah diberikan selama ini.”

Staf HRD menerima surat itu dengan kaget. “Kamu yakin, Jenia? Padahal kariermu di sini sedang bagus…”

Jenia hanya mengangguk, lalu pamit keluar tanpa banyak kata.

Sementara itu, di ruangannya, Bastian sedang menandatangani beberapa berkas. Tiba-tiba Dion asisten pribadinya masuk terburu-buru.

“Bos… Anda sudah dengar? Mbak Jenia barusan menyerahkan surat pengunduran diri.”

Bastian sontak menjatuhkan pulpen dari tangannya.

“Apa?!” suaranya meninggi.

“Iya, bos. Katanya dia sudah punya tawaran posisi baru di perusahaan lain.”

Wajah Bastian langsung pucat. Dadanya berdegup tak karuan. Ia berdiri, berjalan mondar-mandir dengan gelisah.

“Tidak… itu tidak mungkin. Dia nggak bisa pergi begitu saja.”

Dion menatap bingung. “Bos… memangnya kenapa? Bukankah dia hanya staf biasa di divisi itu?”

Bastian menghentikan langkahnya, menatap Dion tajam. “Bukan hanya staf biasa. Dia…” suaranya tercekat, “…dia berbeda.”

Untuk pertama kalinya, Bastian merasakan ketakutan nyata. Selama ini ia selalu berpikir Jenia hanya akan diam, selalu ada di tempatnya, meski tersakiti. Ia tak pernah membayangkan gadis itu benar-benar bisa pergi.

Di meja kerjanya, Jenia mulai membereskan barang-barang kecil: mug favoritnya, foto keluarganya, dan beberapa buku catatan. Senyum tipis menghiasi wajahnya, meski matanya sedikit berkaca-kaca.

“Terima kasih… sudah menemaniku sejauh ini,” bisiknya pada meja yang telah menjadi saksi segala perjuangannya.

Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka keras.

Bastian berdiri di sana. Napasnya terengah, wajahnya tegang.

“Jenia… apa yang kamu lakukan?”

Jenia terdiam. Hatinya bergetar, tapi ia berusaha tetap tenang.

“Saya hanya memilih jalan saya sendiri, Pak.”

Bastian melangkah mendekat, matanya menatap dalam.

“Kamu nggak bisa pergi. Aku… aku tidak mengizinkanmu.”

Kata-kata itu meluncur begitu saja, mencerminkan kepanikan yang tak lagi bisa ia sembunyikan.

Jenia menatapnya dengan tatapan dingin untuk pertama kalinya.

“Selama ini, Pak, Anda selalu bilang saya tidak selevel. Jadi biarlah saya mencari tempat yang memang pantas untuk saya.”

Bastian terdiam. Kata-kata itu menohoknya lebih dalam daripada apa pun yang pernah ia dengar.

1
[donel williams ]
Aku bisa tunggu thor, tapi tolong update secepatnya.
Fathi Raihan
Kece banget!
Celty Sturluson
Ga sabar buat kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!