Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
Alya berdiri di depan cermin, sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Rambut hitamnya diikat sederhana, memperlihatkan wajah manis berkulit sawo matang, meski ekspresinya selalu terlihat masam.
Di ruang tengah, ia sibuk membongkar isi tasnya. Seolah sedang mencari sesuatu.
"Dimana ya..." gumamnya sambil terus mengaduk-aduk isi tas, dengan kening yang berkerut.
Dari arah kamar, Reihan keluar dengan setelan kemeja hitam rapi dan celana bahan, siap untuk berangkat bekerja. Wajahnya segar, wangi parfum maskulin nya menyebar saat ia lewat. Langkah nya terhenti saat Ia menatap Alya yang terlihat kebingungan.
"Cari apa, Yank?" tanyanya sambil melongok ke arah tas Alya.
Karena tidak ada jawaban. Reihan hanya bisa mengangkat bahu, lalu duduk di kursi meja makan. Ia mulai menyendok nasi dan lauk ke piringnya tanpa terburu-buru.
"Sayang, ayo sarapan dulu," panggilnya santai.
Namun Alya, tetap tidak menjawab.
"Yang... makan dulu, yuk."
Suara langkah kaki terdengar menghentak lantai marmer. Alya mendekat dengan wajah kesal.
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu," katanya tajam.
Reihan menoleh dengan senyum menggoda. "Sebutan yang mana?"
"Yang tadi," jawab Alya, menahan kesal.
Reihan menyuap nasi ke mulut. "Tadi yang mana, ya?"
Alya mengepalkan tangan, matanya menyipit. Tapi sebelum Alya kembali berucap. suara Reihan lebih dahulu terdengar.
"Kayaknya kamu lagi nyari ponsel, ya?" tebak Reihan.
Alya menggebrak meja pelan. "Dimana ponselku?!"
"Makan dulu, baru aku kasih tahu," balas Reihan dengan nada santai.
Tanpa protes, Alya langsung duduk dan menyantap makanan yang sudah disiapkan lebih dulu oleh Reihan. Gerakannya tergesa, bahkan nyaris terburu-buru.
"Pelan-pelan, sayang," ucap Reihan sambil terkekeh.
Alya hanya mendesah, malas menanggapi. Yang ia pikirkan hanya ponsel dan secepat mungkin pergi dari rumah.
Beberapa menit kemudian, piringnya kosong.
"Mana ponselku?" tanyanya lagi. Setelah menyelesaikan makanannya.
Reihan tak langsung menjawab, ia meneguk air dari gelas kaca terlebih dahulu, lalu menatap Alya.
"Udah aku buang."
"Apa?!" Alya berdiri, wajahnya memerah. "Berani-beraninya kamu!"
"Ponsel itu udah rusak, Sayang."
"Itu punyaku! Meski layarnya pecah, masih bisa dipakai. Kamu nggak berhak membuangnya tanpa izin!" Suaranya mulai bergetar karena amarah, matanya berkaca-kaca. Pasalnya hanya itu yang ia punya, dan ia tak punya cukup uang untuk membeli yang baru.
Tanpa bicara, Reihan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah ponsel keluaran terbaru yang harganya bisa untuk membeli sebuah sepeda motor.
"Aku ganti ponselmu," ucap Reihan dengan entengnya.
Alya menepis. "Aku nggak mau! Aku mau ponselku sendiri!" tangisnya pecah.
Reihan menarik napas panjang. "Sayang, suamimu ini punya banyak uang. Masa aku biarin istriku pakai ponsel pecah begitu?"
Ia mengeluarkan dompet, mengambil sebuah kartu ATM berwarna hitam, dan meletakkannya di meja.
"Pakai ini. Beli apa aja yang kamu mau. Aku nggak mau istriku pakai barang rusak," ujarnya serius.
Alya tetap menangis. Ia masih menyesali ponselnya yang dibuang begitu saja.
“Ponselku…” lirihnya.
Tak lama setelah itu, mereka berangkat bersama. Sebelum ke tempat kerja, Reihan terlebih mengantar Alya ke sekolah. Di sepanjang perjalanan, tangan Reihan menggenggam tangan Alya erat. Meski Alya masih marah, Reihan tidak melepasnya.
Di dalam mobil, Alya terus memandangi jendela. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Reihan hanya tersenyum kecil. Meski kesal, Alya terlihat sangat menggemaskan di matanya.
Sesampainya di sekolah, Reihan menahan tangan Alya yang hendak membuka pintu.
"Sebentar."
Ia menarik Alya hingga gadis itu menghadap ke arahnya. Tanpa aba-aba, Reihan mencium kening istrinya dengan lembut.
"Jangan lupa hubungi aku kalau udah pulang," katanya.
Alya masih diam, bibirnya sedikit manyun. Tapi saat hendak turun, Reihan masih menahan tangannya.
"Ada apa lagi, sih...?" tanya Alya mulai jengah dengan kelakuan Reihan.
Reihan menatapnya lekat.
"Jangan dekat-dekat sama cowok bernama Bagas. Aku nggak suka."
Alya mendengus, melepaskan genggaman Reihan lalu membanting pintu mobil.
"Dasar aneh!" gumamnya, sebelum berjalan cepat menuju gerbang sekolah.
...
Alya melangkah dengan tergesa, seolah tak sabar ingin menghapus bayangan Reihan dari pandangannya. Udara pagi yang sejuk tak mampu menenangkan degup jantungnya yang kacau.
Pria itu… aneh. Dulu Reihan selalu menegaskan bahwa pernikahan mereka hanyalah kesalahan, sebuah kecelakaan hidup yang tak seharusnya terjadi. Tidak ada cinta, tidak ada ikatan perasaan. Tapi sekarang?
Alya menggigit bibir bawahnya, menahan gelisah yang merambat hingga ke ubun-ubun. Tangan Reihan yang menggenggamnya tadi masih terasa hangat di kulitnya, dan kecupan lembut di kening itu, seharusnya tak berarti apa-apa, tapi entah mengapa malah membuatnya resah.
"Jangan-jangan dia udah nggak waras," gumam Alya lirih, nyaris tak percaya dengan sikap posesif pria itu akhir-akhir ini.
Ia mempercepat langkah, menyusuri lorong sekolah yang mulai ramai. Derap sepatunya bergema samar di lantai keramik, seolah ikut mengejar pikirannya yang berantakan.
“Alya!”
Suara itu membuat langkahnya terhenti. Ia menoleh cepat. Bagas.
Pria itu berlari ke arahnya, wajahnya cemas, mata penuh tanya. Bekas pukulan di pelipisnya belum sepenuhnya hilang. Luka yang Alya tahu pasti, datang dari tinju Reihan.
“Bagas…” ucap Alya pelan. Matanya langsung tertuju pada lebam di wajah pria itu.
“Masih sakit, ya?”
Bagas menggeleng, tetapi tatapannya tetap tajam.
“Bukan itu yang penting sekarang. Aku mau tahu, kamu… baik-baik aja, kan?”
Alya menarik napas dalam.
“Aku nggak kenapa-kenapa.”
Bagas memajukan langkah.
“Alya, pria kemarin itu, siapa dia? Kenapa dia bersikap kasar kayak gitu ke kamu?”
Tatapan Alya langsung berpaling, menunduk. Tapi Bagas belum selesai.
“Kamu juga nggak masuk sekolah kemarin, dan ponselmu nggak bisa dihubungi. Aku khawatir, Alya. Aku kira kamu kenapa-kenapa. Aku datang ke rumah kamu. Tapi kosong.”
Alya hanya diam. Kata-kata Bagas terdengar tulus, tapi sekaligus mengiris. Ia tak ingin berbohong, tapi juga tak siap mengatakan yang sebenarnya.
“Dia bukan siapa-siapa,” ucapnya lirih, berusaha terdengar meyakinkan.
“Cuma… supir.”
Bagas mengernyit. “Supir?”
“Iya,” jawab Alya cepat.
“Supir keluarga. Kadang suka sok bertingkah kayak pengawal pribadi.”
Bagas memandangnya dengan tatapan penuh curiga. Ada yang janggal. Wajah Alya seperti menyimpan lebih dari sekadar kebohongan kecil. Pasalnya yang Bagas tau, keluarga Alya bukanlah keluarga kaya, yang harus mengunakan supir. Ayah nya saja hanya seorang tukang ojek.
Namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, bel sekolah berbunyi nyaring, menyelamatkan Alya dari interogasi lebih lanjut.
“Aku masuk kelas dulu, ya…” Alya buru-buru melangkah pergi, tanpa menunggu respons.
Tapi langkahnya tidak tenang. Detak jantungnya masih kacau. Karena yang ia katakan barusan, adalah dusta.
Reihan bukan supir. Reihan adalah suaminya. Suami sahnya. Dan Bagas, adalah pria yang seharusnya tak pernah tahu kenyataan itu.