Belva Kalea harus menelan kekecewaan saat mengetahui calon suaminya berselingkuh dengan saudara tirinya tepat di hari pernikahannya. Bukan hanya itu saja, Glory diketahui tengah mengandung benih Gema Kanaga, calon suaminya.
Di sisi lain, seorang pengusaha berhati dingin bernama Rigel Alaska, harus menelan pil pahit saat mengetahui istrinya kembali mengkhianatinya. Disakiti berulang kali, membuat Rigel bertekad untuk membalas rasa sakit hatinya.
Seperti kebetulan yang sempurna, pertemuan tak sengaja nya dengan Belva membuat Rigel menjadikan Belva sebagai alat balas dendam nya. Karena ternyata Belva adalah keponakan kesayangan Roland, selingkuhan istrinya sekaligus musuhnya.
Akankah Rigel berhasil menjalankan misi balas dendam nya?
Ataukah justru cinta hadir di tengah-tengah rencananya?
Mampukah Belva keluar dari jebakan cinta yang sengaja Rigel ciptakan?
Ataukah justru akan semakin terluka saat mengetahui fakta yang selama ini Rigel sembunyikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan dwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
"Tuan, Nona Abel ada di luar."
Ucapan Vander berhasil menghentikan Rigel yang tengah sibuk memeriksa beberapa dokumen pekerjaannya. Bibirnya tersungging saat Vander mengatakan satu nama yang beberapa hari ini ia tunggu.
Namun panggilan yang Vander sematkan pada Belva membuat senyum di bibir Rigel memudar, berganti dengan tatapan tajam yang menghunus pada asistennya itu.
"Panggil dia dengan benar. Hanya aku yang boleh memanggilnya Abel."
Rigel tidak tahu saja, justru rival sekaligus om Belva lah yang lebih dulu menyematkan panggilan itu pada wanita cantiknya.
Vander mengangguk, namun dalam hatinya asisten Rigel itu mencibir sang atasan. "𝘈𝘯𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘣𝘢𝘭𝘢𝘴 𝘥𝘦𝘯𝘥𝘢𝘮 𝘭𝘦𝘸𝘢𝘵 𝘕𝘰𝘯𝘢 𝘉𝘦𝘭𝘷𝘢? 𝘚𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘈𝘯𝘥𝘢 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘵𝘶 𝘱𝘰𝘴𝘦𝘴𝘪𝘧, 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘩𝘢𝘭 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘬𝘢𝘳𝘢 𝘱𝘢𝘯𝘨𝘨𝘪𝘭𝘢𝘯."
"Jangan mengejekku!" Rigel bisa melihat ekspresi asistennya yang terlihat menahan tawa. "Aku tahu isi kepalamu itu."
"Maaf Tuan, apa aku boleh kasih saran?"
Tidak ingin dianggap lancang, Vander meminta ijin terlebih dahulu pada atasannya untuk sekedar mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya.
"Hmmm... katakan!"
"Sebaiknya Tuan pikirkan lagi rencana Tuan. Jangan sampai Anda menyesal."
Vander tidak bermaksud untuk menggurui tuannya, hanya saja Vander tidak ingin tuannya menyesal hanya karena dendam, ia harus mengorbankan seseorang yang tak bersalah. Apalagi melihat sikap Rigel yang sepertinya memiliki perasaan pada Belva.
Vander berharap tuannya itu lebih fokus menata masa depannya, dari pada membalas dendam yang hanya akan berakhir menghancurkan hidupnya sendiri.
Rigel sedikit tertegun oleh perkataan asistennya. Ia sendiri sebenarnya tidak tega melibatkan Belva dalam balas dendam nya. Namun saat mengingat kembali pengkhianatan Livia dan Roland, hati Rigel kembali bergejolak yang akhirnya mendorongnya untuk bersikap egois. Menjadikan Belva yang tidak tahu apa pun menjadi target kehancuran Roland.
"𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘱𝘢𝘯𝘤𝘪𝘯𝘨 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢𝘢𝘯 𝘝𝘢𝘯𝘥𝘦𝘳. 𝘚𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘶 𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯, 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘢𝘴 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘫𝘪𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯, 𝘙𝘰𝘭𝘢𝘯𝘥 𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘵𝘶-𝘴𝘢𝘵𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣."
"Aku sudah memikirkan nya. Dan aku sudah siap menghadapi konsekuensi apa pun ke depannya."
Vander hanya bisa menghembuskan napasnya kasar. Ia tidak mampu berbuat apa pun lagi saat tuannya itu sudah teguh pada pendiriannya.
"Baiklah. Semoga Anda tidak terjebak oleh permainan Anda sendiri," ucap Vander penuh penekanan. Tanpa Rigel ketahui dalam hati asistennya itu justru mendoakan yang sebaliknya.
"𝘚𝘦𝘮𝘰𝘨𝘢 𝘛𝘶𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘴𝘢𝘭, 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘈𝘯𝘥𝘢 𝘴𝘢𝘥𝘢𝘳 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪, 𝘕𝘰𝘯𝘢 𝘉𝘦𝘭𝘷𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪."
Setelah mengatakan itu, Vander undur diri dan mempersilahkan Belva yang sejak tadi menunggu di luar untuk masuk ke dalam ruangan Rigel.
"Pagi, Om. Ehhh... Pak." Belva tersenyum kikuk saat merasa panggilannya salah.
Rigel terkekeh, tingkah wanita yang kini berdiri di hadapannya itu sangat menggemaskan. Cantik dan periang, serta pembawaannya yang natural membuat Belva terlihat sempurna di mata Rigel.
"𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘮𝘱𝘶𝘳𝘯𝘢, 𝘈𝘣𝘦𝘭."
Rigel dengan cepat menggelengkan kepalanya. Ia harus menghilangkan perasaan yang akan membuatnya hilang fokus pada tujuannya.
"𝘍𝘰𝘬𝘶𝘴 𝘙𝘪𝘨𝘦𝘭, 𝘥𝘦𝘯𝘥𝘢𝘮 𝘮𝘶 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘱𝘦𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘢𝘱𝘢 𝘱𝘶𝘯. 𝘈𝘬𝘶 𝘺𝘢𝘬𝘪𝘯, 𝘪𝘯𝘪 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘴𝘢𝘫𝘢."
Rigel berdiri dari kursi kebesarannya. Ia menuntun Belva duduk di sofa yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Kamu bebas memanggil Om apa saja. Mau panggil Sayang juga boleh."
Uhuk uhuk
Belva tersedak ludahnya sendiri. Beruntung saja ia selalu membawa air minum berukuran kecil dalam tasnya. Wanita cantik itu pun langsung menenggaknya hingga habis.
Matanya menatap kesal Rigel yang kini terbahak sambil memegang perutnya.
"Becanda Anda tidak lucu, Pak!" Kesal Belva.
Rigel menghentikan tawanya saat melihat wajah Belva berubah masam.
"Aku gak becanda, Bel. Kamu boleh kok memanggilku sayang."
Deg
Jantung Belva berdebar kencang, tatapannya bertemu dengan netra tegas Rigel yang juga tengah menatapnya. Belva sama sekali tidak menangkap adanya kebohongan di mata pria yang akan menjadi atasannya itu. Jujur dan tulus, itulah yang Belva rasakan.
Belva memutuskan pandangannya lebih dulu, ia tidak ingin semakin hanyut dalam perasaan aneh yang tiba-tiba menghampirinya. Belva jelas tahu perasaan apa ini, namun ia tidak belum siap untuk kembali merasakan perasaan yang menurutnya bodoh itu.
"Ayolah, Pak. Stop bercanda. Saya diterima bekerja di sini, kan?"
Rigel tersenyum tipis, ia tahu Belva mencoba mengalihkan pembicaraannya. Untuk sekilas Rigel juga menangkap wanita cantik itu seperti membentengi hatinya.
"Kamu diterima. Meja kerjamu di sana." Rigel menunjuk meja kerja yang berada di sudut ruangannya. "Nanti tu---"
"Bapak serius? Saya bekerja satu ruangan dengan Bapak?" Belva reflek menutup mulutnya dengan tangannya, saat menyadari kesalahannya. "Maaf, Pak. Aku tidak bermaksud memotong ucapan Bapak," ucapnya penuh sesal.
Rigel hanya mengangguk dan kembali melanjutkan ucapannya.
"Sekertarisku sebelumnya juga memang bekerja di situ," ucapnya penuh dusta. Yang sebenarnya Rigel sengaja menempatkan Belva di sana untuk lebih memudahkan rencananya. "Itu akan lebih memudahkan pekerjaan kita dan membuat efisiensi waktu."
Belva mengangguk, ia percaya begitu saja oleh ucapan Rigel yang terlihat meyakinkan.
"Baiklah, aku mengerti. Sekarang pekerjaanku apa, Pak?"
"Pelajari itu. Kamu harus menghafalnya di luar kepala."
Rigel memberikan sebuah map yang harus Belva pelajari. Belva menerimanya dan dengan tidak sabar ia langsung membuka map itu.
Matanya membola saat melihat isi map yang diberikan Rigel.
𝘓𝘪𝘴𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘸𝘢𝘫𝘪𝘣 𝘴𝘦𝘬𝘦𝘳𝘵𝘢𝘳𝘪𝘴 𝘪𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘥𝘪 𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢
𝘕𝘢𝘮𝘢 𝘭𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱: 𝘙𝘪𝘨𝘦𝘭 𝘟𝘢𝘷𝘪𝘦𝘳 𝘈𝘭𝘢𝘴𝘬𝘢
𝘜𝘴𝘪𝘢: 32 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯
𝘞𝘢𝘳𝘯𝘢 𝘧𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵: 𝘔𝘦𝘳𝘢𝘩
𝘏𝘰𝘣𝘪: 𝘖𝘭𝘢𝘩𝘳𝘢𝘨𝘢
𝘚𝘵𝘢𝘵𝘶𝘴: 𝘋𝘶𝘥𝘢 𝘰𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘸𝘢𝘺
"𝘐𝘯𝘪 𝘭𝘪𝘴𝘵 𝘱𝘦𝘬𝘦𝘳𝘫𝘢𝘢𝘯 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘣𝘪𝘰𝘥𝘢𝘵𝘢 𝘯𝘺𝘢𝘳𝘪 𝘫𝘰𝘥𝘰𝘩?" 𝘎𝘶𝘮𝘢𝘮 𝘉𝘦𝘭𝘷𝘢 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢.
Namun ada satu poin yang membuat Belva mengernyitkan keningnya.
"Duda on the way, maksudnya apa Pak?"
...----------------...
"Dad, aku mohon katakan di mana Belva?"
"Untuk apa Kamu mencari putriku lagi? Harusnya Kamu hidup bahagia dengan istrimu." Gefanda tersenyum sinis menatap mantan calon suami putrinya. "Bukankah dia wanita pilihanmu, Gema? Atau... Kamu menyesal sudah melepaskan putriku demi jalang seperti dia?"
"Cukup Tuan Gefanda yang terhormat, stop menjelek-jelekkan putriku!" Nadin tidak terima saat Gefanda terus menghina putrinya. "Sekarang kita resmi bercerai, aku mohon jangan pernah mencampuri urusanku lagi," ucapnya lagi penuh penekanan.
Gefanda tergelak dengan ucapan Nadin yang terdengar menggelitik di telinganya.
"Menantumu itu yang mengemis padaku, ingin mengetahui keberadaan putriku," ucap Gefanda. "Sekarang aku tanya, siapa yang mencampuri urusan siapa?"
Gefanda dan Nadin hari ini resmi bercerai. Nadin datang ke pengadilan ditemani Glory dan Gema. Sedangkan Gefanda hanya datang bersama pengacaranya saja.
Sebenarnya tujuan Gema ikut ke persidangan bukan untuk memberi support pada mertuanya. Ia datang karena memiliki tujuan lain, ingin bertemu Belva. Gema pikir Belva akan menemani Daddynya, namun ternyata wanita cantik itu tidak terlihat batang hidungnya sedikit pun.
Gema ingin sekali bertemu Belva, sejak mereka pergi dari kediaman Gefanda, Gema tidak pernah bertemu lagi dengan Belva. Karena tidak tahan menahan rindu yang semakin menggerogoti hatinya, Gema memberanikan diri untuk menanyakan keberadaan mantannya itu pada Gefanda.
"Tapi, tidak seharusnya Kamu menghina putriku."
"Aku tidak menghinanya. Aku berbicara fakta," ucapnya dengan tegas. Tatapan Gefanda berubah tajam. Ia ingin menegaskan sekali lagi jika tidak ada yang salah dengan ucapannya.
"Wanita yang merebut calon suami wanita lain, dan juga rela menyerahkan tubuhnya pada pria yang jelas-jelas calon suami wanita lain. Bahkan sampai hamil di luar nikah. Apa namanya kalau bukan jalang?"
Gefanda tersenyum puas menatap wajah Nadin dan Glory yang memerah menahan amarah.
𝘛𝘰 𝘣𝘦 𝘤𝘰𝘯𝘵𝘪𝘯𝘶𝘦𝘥
waduh keluarga gila anak tiri hamil sm bpk tiri dasar edan
Kalo emang cinta Belva, yo sono datengin bpknya lamar secara gentle bukan malah minta DP duluan gitu...
Syukurin, kalo perlu si Anaconda disunat bae smpe ngepook aja, biar tau rasa Rigel
Jangan mudah terbujuk rayuan Rigel,Abel.Biar dia berjuang dululah