Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Negara yang sama tapi hati tak lagi sama.
Di kediaman megah keluarga Takahashi, suasana begitu hening. Dari balik jendela besar yang menjulang tinggi, pemandangan Tokyo diselimuti butiran salju putih. Lampu-lampu kota berpendar lembut, menciptakan nuansa syahdu.
Aluna berdiri menatap keluar, matanya sayu. Pikirannya melayang jauh, bukan pada salju di depannya, melainkan pada sosok kakeknya yang kini sedang kritis di ranjang rumah sakit. Haryanto, satu-satunya orang yang dulu selalu percaya padanya.
“Aluna…” suara berat namun lembut terdengar dari belakang. Taka mendekat dengan langkah tenang. Ia menghentikan langkah di samping istrinya, menatap wajah yang jelas gelisah. “Kamu bahkan tidak menoleh saat Raka bertanya kepadamu di meja makan. Apa terjadi sesuatu?”
Aluna menghela napas panjang, suaranya lirih. “Kakekku … beliau sakit keras. Aku takut … kalau aku terlambat datang.”
Tanpa bicara lagi, Taka meraih tubuh Aluna, mendekapnya erat. Kecupan hangat singgah di kening wanita itu. “Kalau begitu, kita pulang ke Indonesia. Besok aku atur penerbangan. Kamu bisa menemaninya.”
Aluna menegang mendengar kata itu. “Indonesia…” gumamnya lirih.
Belum sempat ia merespons lebih jauh, suara cadel memecah keheningan. “Mommy … Daddy…”
Seorang bocah kecil berusia lima tahun berdiri di ambang pintu. Dengan piyama biru bergambar bintang, rambut sedikit berantakan, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Ia berlari kecil menghampiri Aluna, lalu memeluk pinggang ibunya erat-erat.
“Mommy, tadi Daddy bilang kita mau ke … apa itu tadi? Indo … Indo…?” tanyanya polos, lidah kecilnya terbata mengucap kata asing itu.
Aluna terdiam, menatap putranya. Bocah itu menengadah, wajahnya penuh rasa penasaran. “Itu apa, Mommy? Di mana? Ada saljunya juga nggak?”
Dengan senyum tipis yang dipaksakan, Aluna berjongkok sejajar dengan anaknya. “Indonesia itu … tempat Mommy lahir dan besar. Tapi di sana tidak ada salju, Sayang. Cuacanya hangat, banyak laut, gunung, dan pohon-pohon hijau.”
“Benarkah?” Bocah itu membelalakkan mata, suaranya riang. “Kalau begitu aku mau lihat! Aku mau berenang di laut Indonesia!”
Aluna tersenyum samar, menahan gejolak hatinya. “Nanti kalau kita sampai di sana, Mommy akan tunjukkan padamu.”
Taka yang berdiri di samping mereka menunduk, mengusap kepala putranya. “Kamu akan suka, Sayang. Indonesia itu indah, sama indahnya dengan Mommymu.”
Anak itu menoleh pada Taka dengan semangat. “Kalau begitu, besok kita pergi ya, Daddy! Aku mau bawa mainanku semua!”
Aluna menatap anaknya lama, lalu memeluk tubuh mungil itu erat-erat. Air matanya hampir jatuh, bukan karena bahagia semata, melainkan karena luka yang selama ini ia simpan rapat. Anak itu tidak pernah tahu mengapa mereka tinggal di Jepang, tidak pernah tahu alasan ibunya menghindari tanah kelahirannya.
“Mommy…” suara kecil itu kembali terdengar di pelukannya. “Kalau kita ke Indonesia, aku janji … aku akan jagain Mommy. Aku kan sudah besar.”
Kali ini air mata Aluna benar-benar jatuh. Ia mengecup ubun-ubun putranya sambil berbisik, “Terima kasih, Sayang. Kau adalah kekuatan Mommy.”
Taka menatap keduanya dengan mata yang penuh cinta. Ia tahu, apa pun yang menanti mereka di tanah air nanti, Aluna tidak akan menghadapinya sendiri. Ia, dan anak mereka, akan selalu berdiri di sisinya.
Bandara sore itu dipenuhi hiruk pikuk orang-orang yang baru saja tiba dari berbagai penerbangan internasional. Aluna turun dari pesawat dengan wajah tegang, jemari menggenggam erat tangan kecil Raka yang sibuk celingak-celinguk melihat suasana baru.
Taka berjalan di samping mereka, koper jinjing terseret oleh asistennya. Begitu menginjakkan kaki di area kedatangan, Taka menoleh pada Aluna. Ia menangkap jelas kegelisahan istrinya yang sejak dari pesawat tak pernah berhenti menggigit bibir.
“Aluna,” panggilnya lembut. Perempuan itu menoleh, matanya tampak berair. “Kamu harus langsung ke rumah sakit. Asistenku akan mengantarmu bersama Raka.”
Aluna menggeleng pelan. “Bagaimana denganmu?” suaranya bergetar, antara cemas dan ragu.
“Aku harus ke pertemuan dulu dengan pihak Wijaya. Ini penting,” jawab Taka dengan nada mantap, lalu meraih kedua bahu istrinya. “Tapi dengarkan aku … Jangan khawatir. Kamu harus ada di sisi kakekmu sekarang. Aku akan menyusul begitu urusanku selesai.”
Raka menatap wajah kedua orang tuanya bergantian, lalu menarik lengan ibunya. “Mommy … ayo cepat, Kakek nungguin, kan?” katanya polos, logat itu membuat Aluna hampir menangis seketika.
Taka tersenyum kecil, lalu berjongkok di depan bocah itu. “Raka, kamu jadi pengawal Mommy, ya. Jaga Mommy baik-baik sampai aku datang.”
Bocah lima tahun itu mengangguk mantap, meski ekspresinya masih lugu. “Siap, Daddy!”
Taka berdiri, menatap Aluna dengan tatapan yang dalam. “Percayakan sisanya padaku. Aku akan mengurus semua halangan, kau fokus saja pada keluargamu.”
Aluna menunduk, lalu mengangguk pasrah. Hatinya sesak tapi hangat sekaligus Taka tahu bagaimana menenangkan dirinya di saat paling rapuh. Tak lama kemudian, Aluna dan Raka naik ke mobil yang sudah disiapkan, diantar oleh asisten Taka menuju rumah sakit. Dari balik kaca jendela, ia sempat melihat suaminya berdiri tegak, menatap kepergiannya sebelum berbalik menuju mobil lain yang akan membawanya ke pertemuan penting.
Mobil melaju, dan Aluna hanya bisa meremas tangan kecil Raka semakin erat. Ia tahu, sebentar lagi ia akan berhadapan dengan masa lalu yang begitu ia hindari namun juga begitu ia rindukan.
Semoga karma cepat menjemput mu 😡😡😡