Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
APEL & MATEO
Dentuman musik berdentum keras memenuhi ruang VIP klub malam milik Justin. Lampu warna-warni menari-nari di dinding, memantul dari botol-botol alkohol mahal yang tersusun rapi di bar. Suara tawa dan teriakan bercampur dengan irama elektronik, membuat suasana semakin liar dan bising.
Di sudut ruangan, Mateo duduk santai di sofa kulit hitam, mengenakan kemeja gelap dengan kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit dadanya. Satu tangan menggenggam gelas kristal berisi vodka, sementara tangan satunya diletakkan di sandaran sofa, seolah ia adalah raja di tengah hingar-bingar malam.
Beberapa wanita cantik mengelilinginya. Mereka tertawa genit, menggoda Mateo dengan sentuhan halus di lengannya, mencoba menarik perhatiannya. Salah satu dari mereka bahkan membisikkan sesuatu di telinganya, membuatnya terkekeh kecil.
Namun, di balik ekspresi santainya, pandangan mata Mateo kosong. Wajahnya tidak benar-benar menikmati suasana itu. Meski ia mencoba larut dalam alkohol dan keramaian, pikirannya tetap dihantui oleh kabar kehamilan Livia.
Dia mendongakkan kepala, meneguk vodka di tangannya sampai habis, lalu meletakkan gelas itu dengan kasar di meja.
“Isi lagi,” ucapnya dingin pada bartender yang berjaga di dekat pintu VIP.
Salah satu wanita berambut merah menyandarkan kepalanya ke bahu Mateo. “Kau kelihatan stres, Sayang. Mungkin aku bisa bantu melupakan semuanya malam ini,” ucapnya manja.
Mateo tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arah lantai dansa, melihat orang-orang menari, tertawa, dan hidup dalam kebebasan yang tak lagi ia miliki.
"Sialan," gumamnya pelan, terlalu pelan untuk didengar siapapun.
Di balik gaya hidupnya yang penuh kemewahan dan pesta, ada satu fakta yang tak bisa ia hindari dia akan menjadi ayah dari anak yang tak pernah ia inginkan. Dan itu membuatnya ingin menghancurkan segalanya.
Justin datang menghampiri dengan langkah santai namun penuh wibawa. Pria itu mengenakan setelan kasual mewah, kemejanya sedikit terbuka, rambutnya rapi, dan aroma parfum mahal menyertai tiap langkahnya. Pandangannya langsung tertuju pada Mateo yang tengah duduk dikelilingi para wanita penghibur.
Tanpa basa-basi, Justin menghentikan langkah tepat di depan sahabatnya, lalu menatap tajam ke arah wanita berambut pirang yang sedang menempel manja di sisi Mateo.
"Pergilah, Jessica. Jangan ganggu sahabatku," ucap Justin datar, tapi cukup tegas untuk membuat Jessica bangkit dengan ogah-ogahan.
“Aku cuma pengen nemenin, kok...”
“Keluar.” Kali ini suara Justin lebih dingin. Jessica pun menyerah dan melangkah menjauh, meninggalkan Mateo yang kini hanya duduk sendirian.
Justin lalu duduk di samping Mateo, mengangkat tangan dan memberi isyarat ke bartender untuk membawa dua gelas vodka.
"Kau kelihatan kacau, bro. Biasanya kalau kau ada di sini, kau yang paling sibuk nikmatin malam. Tapi sekarang... kau bahkan tidak menyentuh cewek satu pun tanpa kelihatan jijik," ujar Justin sambil menyandarkan punggung ke sofa.
Mateo tak langsung menjawab. Ia hanya memutar gelasnya perlahan, menatap cairan bening dalam gelas vodka seperti sedang menatap masa depannya yang buram.
"Dia hamil," ucap Mateo tiba-tiba, suaranya rendah namun sarat tekanan.
Justin menaikkan alisnya. "Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan si gadis kampungan itu. Livia." gumam Mateo, penuh amarah tertahan.
Justin terdiam sejenak, mencoba mencernanya. Lalu ia menatap Mateo, kali ini lebih serius.
"Kau yakin itu anakmu?"
"Itulah masalahnya. Semuanya mencurigakan. Semua CCTV kantor malam itu hilang. Seperti ada yang menghapus semuanya. Dan sekarang, dia hamil." Mateo meneguk vodka dalam satu tarikan, lalu menghantamkan gelas itu ke meja hingga terdengar bunyi nyaring.
Justin mengangguk pelan. "Kau pikir dia menjebakmu?"
"Kalau bukan dia, pasti ada yang membantunya. Dan orang itu pasti dekat denganku." gumam Mateo dengan tatapan tajam.
Justin menyandarkan tubuhnya sambil memikirkan ucapan sahabatnya. Lalu, dengan suara pelan, ia berkata,
"Kalau kau benar, kita harus cari tahu siapa dalangnya. Tapi satu hal, jangan sampai kau kehilangan kendali, bro. Anak itu... bisa jadi kunci atau bisa jadi kehancuranmu."
Mateo menghela napas panjang, untuk pertama kalinya menunjukkan sisi lelahnya.
"Aku tidak ingin anak itu."
"Lalu? Nathan... apa dia sudah punya hasil dari penyelidikannya?" tanya Justin sambil menyilangkan tangan di depan dada. Tatapannya serius, penuh selidik. Siapa sangka, ternyata selama ini Nathan, orang kepercayaan Mateo yang membantu menyelidiki siapa dalang di balik jebakan itu.
Mateo menggeleng pelan sambil kembali meraih gelas vodka yang baru saja diisi ulang oleh bartender. "Belum ada hasil. Masih abu-abu. Semua petunjuk mengarah ke jalan buntu. Seolah semuanya sengaja ditutupi dengan sangat rapi."
Justin mendecak pelan. "Berarti kita berhadapan dengan orang yang bukan cuma licik, tapi juga cerdas. Dan... mungkin lebih dekat daripada yang kita kira."
Mateo mengangguk pelan, lalu menatap kosong ke arah lantai dansa yang dipenuhi cahaya lampu kelap-kelip.
"Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini, Justin. Aku harus tahu siapa yang bermain di belakangku. Dan kalau aku tahu siapa orangnya..." suara Mateo mengeras, penuh ancaman, "...aku pastikan dia akan menyesal pernah lahir ke dunia ini."
Justin menepuk bahu sahabatnya dengan nada tenang namun tajam, "Tenang. Kita akan temukan dia. Dan saat itu tiba... kau akan pegang kendali penuh."
Malam itu rumah sudah lengang. Hanya suara pendingin ruangan dan detik jam yang terdengar dari kejauhan. Livia melangkah pelan, menahan napasnya agar tidak menimbulkan suara saat berjalan ke arah dapur.
Tangannya gemetar saat membuka pintu kulkas. Tatapannya langsung tertuju pada apel merah segar yang menggiurkan itu.
Perutnya mual, tubuhnya lemah, tapi rasa ingin mencicipi apel itu begitu kuat. Ia ragu sejenak, lalu dengan gerakan pelan, ia meraih apel dan segera menyelipkannya ke kantung celana.
Namun baru beberapa langkah ia menjauh dari kulkas
Brak!
Lampu dapur menyala mendadak. Livia terlonjak kaget.
Mateo berdiri di ambang pintu dengan sorot mata tajam. Wajahnya gelap, napasnya berat. Pria itu baru saja pulang dan tidak menyangka akan melihat istrinya tengah mencuri makanan.
"Apa yang kau lakukan?" suara Mateo terdengar datar namun dingin.
Livia langsung menunduk, berusaha menyembunyikan apel di balik tubuhnya. "Ma-maaf, saya hanya ingin sedikit saja... saya lapar..."
Mateo melangkah cepat mendekat, mencengkeram lengan Livia dengan kasar.
"Kau pikir rumah ini supermarket? Seenaknya kau ambil barang tanpa izin!"
"Sa..saya hamil... saya hanya ingin apel itu, tolong—" suara Livia bergetar.
"Jangan bawa-bawa anak itu untuk minta belas kasihan!" bentak Mateo. Tangan kirinya merenggut apel dari kantung Livia, lalu membantingnya ke lantai hingga apel itu terbelah dan tergeletak basah.
Dengan mata penuh amarah, Mateo mendorong tubuh Livia hingga gadis itu terjatuh membentur lantai dapur. Ia meringis menahan sakit, tapi tidak berani melawan.
"Sekali lagi kau ambil tanpa izin, kau akan benar-benar tahu artinya hukuman." ucap Mateo dingin sebelum melangkah pergi, meninggalkan Livia yang terguncang dalam diam dan air mata.
Mateo melangkah naik ke lantai atas menuju kamarnya tanpa menoleh ke belakang. Langkah kakinya berat, penuh amarah yang belum reda. Suara pintu kamar utamanya terdengar tertutup keras dari kejauhan.
Sementara itu, Livia masih terduduk di lantai dapur. Matanya menatap kosong pada apel yang kini tergeletak di lantai terbelah, basah, dan sedikit memar. Ia menunduk, memungut apel itu dengan hati-hati seolah sedang menyentuh sesuatu yang rapuh.
Pelan-pelan, ia membasuh apel tersebut di wastafel, lalu membawanya ke kamar kecil yang selama ini menjadi tempatnya beristirahat. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi apel itu sebelum akhirnya menggigitnya perlahan.
Rasanya manis. Tapi bukan rasa itu yang membuat air matanya mengalir.
Dengan lembut, Livia mengusap perutnya yang sedikit membuncit. Ukurannya memang belum terlihat jelas karena tubuhnya yang berisi, tapi ia tahu… di dalam sana, ada kehidupan kecil yang tumbuh.
"Seperti ini ya rasanya ngidam?" bisiknya lirih.
Ia tersenyum tipis meski matanya basah.
"Maaf ya nak… kalau ibu nggak bisa selalu menuruti kamu. Ayahmu… dia sangat galak. Dia bahkan tidak menyukai keberadaan kita di rumah ini."
Tangannya tetap mengusap lembut perutnya, memberikan rasa hangat yang tak ia dapatkan dari siapapun.
"Tapi ibu janji… ibu akan tetap bertahan demi kamu. Jangan nakal ya di dalam sana, bantu ibu kuat."
Malam itu, Livia makan apel itu perlahan sambil memeluk dirinya sendiri. Ia tak punya siapa-siapa, tapi kini, di dalam tubuhnya, ada seseorang yang membuatnya merasa tidak sepenuhnya sendirian.
Di tempat berbeda, dalam sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi cahaya dari beberapa monitor, seorang pria duduk santai di kursi kulit usang. Asap rokok mengepul dari jemarinya, mengambang di udara pengap dan pekat dengan aroma tembakau murahan.
Matanya menatap tajam ke layar monitor yang menampilkan berbagai sudut rumah Mateo termasuk dapur, ruang tengah, hingga tangga menuju lantai atas. Kamera itu jelas bukan bagian dari sistem keamanan resmi. Ia telah menyadap rumah itu sejak lama, entah bagaimana caranya, tapi semuanya berjalan sempurna.
Di layar, terlihat Livia sedang duduk di tempat tidurnya, memakan apel sambil mengusap perutnya.
Pria itu terkekeh kecil, suaranya berat dan mengandung ironi.
"Rumah tangga yang harmonis," ejeknya sembari menghisap dalam rokoknya.
Asap keluar perlahan dari mulutnya, membentuk lingkaran kecil sebelum memudar.
Ia bersandar, lalu menekan tombol di keyboard di depannya, memperbesar sudut pandang ke wajah Livia yang lelah dan sedih.
"Kau sungguh malang, nona kecil... tapi ini baru permulaan."
Di belakangnya, sebuah papan penuh foto, catatan, dan benang-benang merah terlihat menggantung. Foto Mateo, Livia, Don Marsel, bahkan Justin terpasang rapi seperti potongan teka-teki.
Satu catatan kecil tertempel tepat di tengah:
“Waktu balas dendam hampir tiba.”
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/