HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Pesan Terakhir Ayah dan Luka Ibu
#
Tiga hari setelah pertemuan itu, Dewanga datang lagi ke rumah ibunya—kali ini membawa nasi bungkus dan buah untuk Rini.
Ia melihat ibunya sedang duduk di teras, menatap kosong ke arah jalan. Ada kesedihan yang berbeda di wajahnya—kesedihan lama yang sepertinya baru saja digali kembali.
"Bu, ini buat Ibu." Dewanga meletakkan bungkusan di samping ibunya, lalu duduk.
Rini tersenyum tipis. "Terima kasih, Nak."
Hening sejenak.
Dewanga menatap ibunya lebih lama. "Bu... kemarin Ibu bilang Ibu takut aku kayak Ayah. Tapi... sebenarnya kenapa sih Ibu kayak... kayak takut banget aku nikah sama Tini?"
Rini menarik napas panjang. Tangannya meremas-remas ujung kain sarungnya—kebiasaan lama saat ia gugup atau sedih.
"Dewa... Ibu mau cerita sesuatu. Biar kamu ngerti kenapa Ibu khawatir."
Dewanga mengangguk pelan.
Rini menatap ke kejauhan—ke jalan tanah yang pernah dilalui suaminya setiap pagi untuk bekerja. "Ayah kamu... Pak Sentanu... dia laki-laki yang paling baik yang pernah Ibu kenal, Dewa. Dia kerja siang malam. Gak pernah ngeluh. Gak pernah marah sama Ibu. Padahal kita miskin. Padahal hidup susah."
Air mata Rini mulai mengalir perlahan. "Tiga tahun terakhir sebelum dia meninggal... dia sakit keras, Dewa. Kamu inget kan? Dia gak bisa kerja lagi. Tubuhnya udah gak kuat. Tapi dia tetep maksa. Dia bilang, 'Bu, anak-anak harus makan. Anak-anak harus sekolah. Kalau aku gak kerja, siapa yang nafkahi?' Ibu bilang, 'Pak, udah gak usah kerja. Biar Ibu yang kerja. Bapak istirahat aja.' Tapi dia gak mau dengerin."
Dewanga menunduk. Ia ingat. Ia ingat bagaimana ayahnya terbatuk-batuk setiap pagi, tapi tetap bangun untuk mendorong gerobak warung nasi. Ia ingat bagaimana ayahnya tersenyum meski wajahnya pucat kesakitan.
"Ayah kamu sering ngeluh sama Ibu, Dewa. Dia nangis di malam hari. Dia bilang, 'Bu, maafin aku. Aku gak bisa nafkahi kalian dengan layak. Aku suami yang gagal.' Tapi Ibu selalu bilang, 'Pak, kamu gak gagal. Kamu udah kerja keras. Itu udah cukup. Sekarang Bapak istirahat. Jangan paksakan lagi.'"
Rini menangis lebih keras. "Tapi dia keras kepala, Dewa. Dia tetep kerja sampai tubuhnya ambruk. Dan Ibu... Ibu gak pernah nuntut apa-apa. Ibu cuma mau dia berhenti kerja. Ibu gak peduli kita miskin. Ibu cuma gak mau dia mati kelelahan."
Dewanga memeluk ibunya—dadanya sesak mendengar cerita yang sudah ia tahu tapi tidak pernah ia pahami sedalam ini.
"Sebelum Ayah kamu meninggal..." Rini berbisik parau, "dia ngomong sesuatu. Terakhir kali dia ngomong sama Ibu sebelum dia gak bisa ngomong lagi. Dia bilang... 'Bu, tolong sampaikan ke Dewa kalau dia udah gede nanti... suruh dia cari istri yang kayak Ibu. Istri yang sabar. Istri yang gak nuntut macem-macem. Istri yang tetep setia meski hidup susah.'"
Dewanga terdiam. Air matanya jatuh—ia ingat detik-detik terakhir ayahnya. Ia ingat wajah ayahnya yang tersenyum lemah sebelum napasnya berhenti. Tapi ia tidak ingat pesan itu—karena waktu itu ia terlalu kecil, terlalu hancur, terlalu takut.
"Setelah itu, Ayah kamu gak ngomong lagi. Berhari-hari dia cuma terbaring. Napasnya sesak. Matanya kadang terbuka, kadang tertutup. Dan suatu pagi... dia pergi."
Hening panjang.
Hanya suara angin dan burung-burung pagi yang terdengar.
Lalu Rini melanjutkan—kali ini dengan nada yang lebih berat. "Dewa... setelah Ayah kamu meninggal tiga tahun... Ibu... Ibu pernah menikah lagi."
Dewanga mendongak, menatap ibunya. "Ibu cerita ke aku waktu itu, Bu. Aku ingat. Aku bahkan yang nyuruh Ibu nerima lamarannya. Karena aku gak mau Ibu sendirian terus."
Rini mengangguk pelan. "Iya, Nak. Pak Darta. Laki-laki tua yang Ibu pikir baik. Dia bilang dia duda. Dia bilang dia kesepian. Ibu percaya. Kamu juga setuju waktu itu."
"Iya, Bu. Aku inget."
"Tapi... belum sampai setahun, Dewa... belum sampai setahun rumah tangga kami hancur." Suara Rini bergetar. "Ternyata... ternyata dia pembohong besar. Dia udah punya istri. Bukan cuma satu. Beberapa. Dia ngajak Ibu nikah siri. Ibu gak tau. Ibu baru tau pas istri-istri dia yang lain datang ke rumah kita... ngacak-ngacak rumah... marah-marah... bilang Ibu perebut suami orang."
Air mata Rini pecah. "Mereka nyerang Ibu, Dewa. Mereka bentak-bentak. Mereka rusak barang-barang. Dan Pak Darta cuma diem. Dia gak bela Ibu. Dia cuma bilang, 'Udah, udah. Sabar.' Seolah ini cuma masalah kecil!"
Dewanga menggenggam tangan ibunya erat. Ia ingat hari itu—hari ketika ia pulang dari kerja dan melihat rumahnya berantakan. Ia ingat bagaimana ibunya menangis sendirian di dapur. Ia ingat kemarahannya pada Pak Darta yang tidak berguna itu.
"Ibu langsung minta cerai. Ibu bilang, 'Bapak pembohong. Bapak gak tau diri. Bapak udah tua tapi masih aja serakah pengen banyak istri.' Dan Ibu pergi. Ibu gak mau jadi istri simpanan."
Rini menatap anaknya dengan mata merah. "Makanya, Dewa... makanya Ibu bilang ke kamu kemarin. Ibu bukan gak suka sama Tini. Tapi Ibu takut. Ibu takut kamu nikah karena alasan yang salah. Ibu takut kamu ngejar penerimaan, bukan cinta. Karena kalau dasarnya salah... ujungnya sengsara."
Dewanga terdiam lama. Ia menatap tangannya yang kasar—tangan yang selama ini bekerja keras, tangan yang selama ini ditolak, tangan yang selama ini mencari penerimaan.
"Tapi Bu..." Dewanga berbisik pelan, "aku udah cape ditolak. Aku udah cape sendirian. Aku cuma pengen... pengen ada yang nerima aku."
Rini memeluk anaknya erat. "Ibu ngerti, Nak. Ibu ngerti kamu cape. Tapi Ayah kamu bilang... cari istri yang kayak Ibu. Istri yang sabar. Istri yang gak nuntut. Istri yang setia. Bukan istri yang bentak-bentak. Bukan istri yang kasar. Bukan istri yang bikin kamu ngerasa kecil."
Dewanga tidak menjawab. Ia hanya memeluk ibunya—memeluk satu-satunya orang yang tidak pernah meninggalkannya.
Dan jauh di dalam hatinya, ia tahu ibunya benar.
Tapi ia terlalu takut untuk mengakuinya.
Karena mengakui itu berarti ia harus memulai dari awal lagi.
Dan ia tidak tahu apakah ia masih kuat untuk itu.