Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Dua minggu setelah pernikahan rahasia itu, Bramantyo harus pergi ke Singapura untuk mengurus pengalihan aset yang sangat mendesak. Ia meninggalkan rumah di tengah hutan itu dengan pengamanan ekstra. Namun, Larasati bukanlah orang asing. Sebagai wanita yang mendampingi Bramantyo selama 15 tahun, ia tahu seluk-beluk sistem keamanan Dirgantara, termasuk kode darurat yang belum sempat diganti oleh Bramantyo.
Sore itu, kabut turun sangat tebal. Bu Rina sedang berada di dapur, sementara Guntur melakukan patroli keliling pagar luar.
Suara pintu utama yang terbuka dengan kode digital mengejutkan Nadia yang sedang beristirahat di kamar Bramantyo. Ia mengira itu Bramantyo yang pulang lebih cepat. Namun, yang muncul di ambang pintu bukanlah suaminya.
Larasati berdiri di sana. Mengenakan pakaian serba hitam yang elegan namun memancarkan aura kematian. Di belakangnya, ada dua pria berbadan tegap yang bukan merupakan tim keamanan Bramantyo.
"Jadi, di sini tempatnya," suara Larasati tenang, namun bergetar oleh kebencian yang dalam. "Tempat Bram menyembunyikan mainan barunya."
Nadia mencoba bangkit, tangannya secara naluriah melindungi perutnya. "Siapa Anda? Bagaimana Anda bisa masuk?"
"Aku?" Larasati tertawa sinis, melangkah masuk ke dalam kamar yang dulu sering ia tempati. "Aku adalah pemilik sah dari semua ini, sebelum kau datang dengan benih harammu itu."
Tanpa peringatan, Larasati memberi isyarat pada anak buahnya. Mereka dengan cepat meringkus Nadia, menekan lengannya ke tempat tidur. Nadia menjerit, tapi suara itu teredam oleh dinding kedap suara kamar itu.
Larasati mendekat, ia mengeluarkan sebotol cairan dari tasnya. Bukan racun, tapi sesuatu yang lebih menyiksa secara mental: Air keras encer.
"Bram menikahimu karena dia menginginkan anak ini, kan?" Larasati menjambak rambut Nadia, memaksa wajahnya mendongak. "Dia tidak peduli padamu. Kau hanya inkubator berjalan baginya. Bagaimana jika wajah cantik yang membuat suamiku gila ini sedikit... diubah?"
Larasati tidak menyiramkan air itu ke wajah Nadia, melainkan meneteskannya sedikit demi sedikit ke lengan Nadia. Rasa panas yang membakar membuat Nadia menjerit kesakitan.
"Itu untuk malam di hotel," desis Larasati.
Ia kemudian beralih ke perut Nadia. Ia mengambil sebuah alat pemacu (stunt gun) kecil dari sakunya. "Dan ini... untuk mengakhiri ancaman bagi warisan anak-anakku."
"Jangan! Tolong, jangan anak ini!" tangis Nadia pecah. Ia tidak lagi peduli pada rasa sakit di lengannya. "Dia tidak berdosa!"
"Dosanya adalah dia ada!" teriak Larasati. Ia menekan alat pemacu itu ke paha Nadia, memberikan sengatan listrik yang membuat seluruh tubuh Nadia mengejang hebat.
Larasati menyiksa Nadia dengan sangat terukur—ia tidak ingin Nadia mati dengan cepat. Ia ingin Nadia merasakan penderitaan setiap detik karena telah berani masuk ke dalam hidup Bramantyo. Ia menampar Nadia berkali-kali hingga sudut bibirnya pecah, lalu memaksa Nadia berlutut di atas pecahan kaca dari gelas yang ia hancurkan sendiri.
"Kau pikir kau adalah Nyonya Dirgantara sekarang?" Larasati menjatuhkan Nadia ke lantai yang penuh pecahan kaca. "Kau tetaplah sampah yang dipungut Bram dari jalanan."Kau jalang!".
Siksaan itu berlangsung hampir satu jam. Nadia sudah hampir kehilangan kesadaran, tubuhnya penuh memar dan luka goresan kaca. Yang paling menakutkan adalah rasa kram hebat yang mulai menyerang perut bawahnya.
"Sakit..." rintih Nadia, darah mulai merembes dari luka-lukanya.
Larasati menatap Nadia dengan puas. Ia merasa telah membalaskan dendamnya. Sebelum pergi, ia membisikkan sesuatu di telinga Nadia yang sudah setengah sadar.
"Jika kau selamat dari ini, sampaikan pada Bram... ini hanyalah peringatan kecil. Aku tidak akan membiarkan anak haram itu menghirup udara dunia ini."
Larasati dan anak buahnya pergi lewat pintu belakang, menghilang ke dalam kabut hutan sebelum Bu Rina menyadari ada yang salah.
Beberapa menit kemudian, Bu Rina masuk ke kamar untuk mengantarkan susu hamil dan menjerit histeris melihat keadaan kamar yang hancur dan Nadia yang tergeletak bersimbah darah di lantai.
"Tolong... anakku..." bisik Nadia sebelum semuanya menjadi gelap.
Ternyata, Larasati tidak hanya ingin meninggalkan luka fisik pada Nadia. Baginya, membiarkan Nadia tetap berada di bawah perlindungan rumah Bramantyo—meskipun dalam keadaan terluka—masih terlalu berisiko. Ia ingin kendali penuh. Ia ingin Nadia menghilang selamanya dari jangkauan Bramantyo.
Saat Bu Rina sedang menuju kamar dengan baki susu, ia tidak menyadari bahwa Larasati belum benar-benar pergi. Di lorong yang gelap, salah satu anak buah Larasati membekap mulut Bu Rina dari belakang. Tanpa suara, wanita paruh baya itu pingsan setelah sebuah hantaman keras di tengkuknya.
Di dalam kamar, Larasati menatap Nadia yang terkulai lemas di lantai dengan tatapan dingin yang tak tersentuh.
"Bawa dia," perintah Larasati singkat. "Jangan lewat pintu depan. Gunakan jalur evakuasi yang pernah Bram ceritakan padaku."
Dua pria bertubuh kekar itu menyeret Nadia yang sudah setengah sadar. Darah dari luka goresan kaca di kakinya meninggalkan jejak merah di karpet mahal kamar Bramantyo. Nadia mencoba berteriak, tetapi suaranya hanya berupa rintihan parau yang tenggelam dalam kebisingan napasnya sendiri yang tersengal.
Mereka membawa Nadia keluar melalui pintu rahasia di ruang bawah tanah yang terhubung langsung ke area luar pagar, melewati titik buta kamera pengawas yang kodenya telah dimanipulasi oleh peretas suruhan Larasati.
Sebuah mobil off-road hitam tanpa plat nomor sudah menunggu di balik rimbunnya pepohonan hutan. Nadia dilemparkan ke bagasi belakang seperti barang rongsokan.
"Kita ke mana, Nyonya?" tanya si sopir.
Larasati masuk ke kursi penumpang depan, memperbaiki riasannya di cermin. "Ke gudang tua di pinggiran Pelabuhan Ratu. Tempat itu tidak terdaftar atas namaku atau perusahaan Dirgantara. Bram tidak akan pernah menemukannya di sana."
Mobil itu melaju menembus jalanan hutan yang berlumpur, menjauh dari rumah pengasingan yang kini sunyi senyap. Di dalam bagasi yang gelap dan pengap, Nadia meringkuk, memeluk perutnya dengan sisa-sisa tenaga yang ada.
"Tolong... bertahanlah..." bisik Nadia dalam hati, merujuk pada janin yang ada di rahimnya. Rasa kram di perutnya semakin hebat, pertanda stres luar biasa yang dialami tubuhnya.
Sementara itu, di Singapura, ponsel Bramantyo bergetar hebat. Sebuah notifikasi darurat masuk: Security Breach - Sector 1 - Master Bedroom.
Wajah Bramantyo seketika pucat. Ia langsung membatalkan rapatnya dan menghubungi Guntur. Namun, tidak ada jawaban. Ia menghubungi Bu Rina. Nihil.
Bramantyo segera memerintahkan David untuk menyiapkan jet pribadi. "Sesuatu terjadi di rumah hutan. Jika sampai ada satu helai rambut Nadia yang hilang, aku akan meratakan tempat itu!"
Enam jam perjalanan yang menyiksa, Nadia akhirnya tiba di sebuah gudang tua yang berbau amis garam dan solar. Ia diturunkan dengan kasar dan diikat di sebuah kursi kayu di tengah ruangan yang hanya diterangi satu lampu bohlam yang berkedip.
Larasati berdiri di hadapannya, memegang ponsel Nadia yang ia ambil dari kamar tadi.
"Aku baru saja mengirim pesan pada Bram menggunakan ponselmu," ujar Larasati dengan senyum kemenangan. "Aku bilang padanya bahwa kau melarikan diri karena tidak tahan dengannya, dan kau telah menggugurkan kandunganmu di bidan jalanan."
Nadia mendongak, matanya yang sembap menatap Larasati dengan kebencian murni. "Kau... kau iblis..."
"Aku hanya istri yang terkhianati, Nadia," sahut Larasati tenang. Ia mengeluarkan sebuah pisau bedah kecil dari tasnya. "Dan sekarang, aku akan memastikan pesan itu menjadi kenyataan. Aku tidak butuh dokter untuk mengeluarkan benih itu dari perutmu."
Larasati mendekatkan mata pisau yang berkilau itu ke perut Nadia, sementara suara ombak yang menghantam dermaga di luar menenggelamkan jeritan ketakutan Nadia yang membahana di dalam gudang kosong itu.