NovelToon NovelToon
Istri Terbuang

Istri Terbuang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Janda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: ummushaffiyah

Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9 — Rasa yang Berubah

Rumah baru itu akhirnya berdiri. Dinding-dindingnya masih harum semen, lemari masih kosong, dan dapur luas yang Zahwa desain sendiri seolah memanggil-manggil semangatnya yang sempat redup. Ia membayangkan meja kerja untuk meracik adonan, sudut kecil untuk tripod, dan lampu warm yang akan menemani ia membuat konten masakan.

Hari itu Farhan pulang sedikit lebih awal. Mata lelaki itu tampak lelah, namun ada senyum kecil di ujung bibirnya.

“Waa… rumahnya sudah kayak majalah,” ujar Farhan sambil duduk di kursi baru di ruang makan.

Zahwa tersenyum malu, “Aku cuma pengen kita nyaman, Han. Dan biar aku bisa kerja dari rumah juga.”

“Masakin aku nasi goreng spesial, ya? Yang kaya dulu.”

“Siap, Han.”

Zahwa melangkah ke dapur dengan hati hangat. Ia memasak seperti biasa: bawang dicincang halus, telur digoreng setengah kering, udang dicampur kecap manis racikan sendiri. Ini menu cinta mereka. Menu rujuk. Menu kenangan.

Tapi saat Farhan menyendokkan suapan pertama, ekspresinya berubah.

“Hm…” Ia mengunyah pelan. “Rasanya… beda ya?”

Zahwa membeku sejenak.

“Beda gimana, Han? Kurang apa?”

“Enggak tau. Kayak… bukan kamu yang masak. Terlalu manis. Atau asin? Entahlah, enggak kayak biasanya.”

Ia mencoba tersenyum, “Maaf, mungkin aku kecapekan.”

Farhan tidak marah, hanya diam. Tapi diam itu tajam. Diam yang menyisakan jarak.

---

Besoknya, komentar itu berkembang di balik pintu.

Bu Nina mencicipi sedikit sisa nasi goreng yang ada di dapur.

“Hmm… Ya ampun, ini mah kemanisan banget. Pantesan Farhan bilang aneh. Zahwa, kamu tuh kalau masak jangan asal.”

Zahwa menarik napas panjang. “Iya, Bu. Maaf.”

Rita yang sedang mengaduk kopi hanya bersuara lirih, namun cukup untuk menusuk.

“Kemarin waktu di rumah kami, Mama bilang masakan Zahwa memang suka berubah-ubah. Enggak stabil. Tapi sudahlah, mungkin capek bangun rumah.”

Nada suaranya bukan peduli. Lebih seperti menyiram bensin ke bara api.

Zahwa menggenggam tangannya sendiri.

“Maaf ya kalau rasanya kurang pas.”

Farhan datang dari teras, mendengar sebagian percakapan itu. Bukannya membela, ia hanya berkata datar,

“Ya, lain kali diperhatikan aja ya, Wa.”

Dan itu cukup membuat dada Zahwa mengetat.

---

Malam itu Zahwa duduk di lantai dapurnya yang luas, ruang yang ia impikan, yang dibangunnya dari keringat tabungan dan doa. Tapi tiba-tiba ruang itu terasa sempit. Sesak.

Dulu, Farhan selalu memuji masakannya. Sekarang, setiap rasa menjadi salah. Setiap usahanya terasa kurang.

Ia meraba perutnya sendiri,

“Ya Allah… kalau Engkau beri aku amanah anak kali ini, biarkan ia menjadi penyejuk hatiku. Aku mulai lelah, Ya Rabb…”

Air mata jatuh pelan.

Ia bukan menangis karena nasi goreng.

Ia menangis karena rasa-rasa kecil yang berubah seperti pertanda badai besar.

Tapi Zahwa tetap Zahwa, perempuan yang tidak mundur.

Besok pagi, ia akan tetap memasak. Tetap tersenyum. Tetap berusaha.

Walau hatinya sedang ia jahit ulang, satu benang harap demi satu benang doa.

...

Rasa yang Semakin Asing

Sejak hari itu, perubahan sikap Farhan semakin terasa. Bukan tiba–tiba kasar, bukan juga marah-marah tak jelas. Tapi ada sesuatu yang hilang dari dirinya, kelembutan yang dulu mencairkan letih Zahwa kini seperti tersedot entah ke mana.

Zahwa merasakannya setiap pagi.

Dulu Farhan selalu meminta teh hangat racikannya, kini ia lebih memilih kopi instan yang dibuat Rita saat mereka mampir.

Dulu Farhan suka memeluk dari belakang saat Zahwa memasak, kini ia hanya masuk dapur untuk mengambil gelas lalu keluar lagi tanpa menoleh.

Dan rumah yang Zahwa bangun dengan cinta… kini sering dipenuhi suara-suara yang membuatnya mengecil.

---

Bisikan yang Menggerogoti

Suatu sore, saat Zahwa memotong bahan untuk frozen food pertamanya—usaha kecil yang sudah ia impikan lama—ia mendengar suara samar dari ruang tamu.

Suara Bu Nina.

“Han, ibu cuma kasihan sama kamu. Sekarang tiap hari Zahwa capek sendiri, masak aneh-aneh, sibuk urus frozen apa tuh… Kamu jadi kurang diperhatikan.”

Kemudian suara Rita menimpali, lembut tapi menusuk,

“Iya, Han. Cewek itu kalau sibuk biasanya suka lupa sama suaminya. Nanti kamu malah dianggurin.”

Zahwa berhenti memotong.

Pisau di tangannya bergetar.

Ia tidak bermaksud menguping, tapi dinding itu terlalu tipis, dan kata-kata itu terlalu keras.

Farhan menjawab lirih,

“Entahlah… akhir-akhir ini juga aku ngerasa beda. Dia kayak… jauh.”

Serasa dada Zahwa ditarik dari dalam.

Padahal yang jauh justru bukan ia.

---

Isu Kecil Jadi Bara

Malamnya, Zahwa menyiapkan makan seperti biasa. Lauk kesukaan Farhan. Porsi pas. Rasa yang ia cicipi pun sudah seimbang.

Namun baru satu suapan, Farhan meletakkan sendok.

“Kenapa asin begini?”

Zahwa terkejut.

“Masya Allah, masa sih? Tadi aku—”

"Tadi, tadi… Wa, kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Masakan selalu salah.”

Bu Nina yang duduk di sudut langsung masuk,

“Udah kubilang Han, Zahwa tuh sekarang sibuk sendiri. Masakan enggak keurus.”

Rita menambahkan dengan nada prihatin palsu,

“Kasihan kamu Farhan… pulang kerja malah dapat makanan yang enggak karuan.”

Zahwa menunduk.

“Maaf, aku coba lagi ya, Han. Aku salah—”

“Tiap hari salah, Wa,” potong Farhan datar.

Dan itu lebih menyakitkan dari teriakan mana pun.

---

Lelah yang Menumpuk

Malam semakin larut.

Farhan tidur lebih cepat, membelakangi Zahwa tanpa pelukan.

Zahwa duduk di tepi ranjang, tangannya memegang perutnya sendiri yang masih datar.

“Ya Allah… aku cuma ingin membahagiakan suamiku,” bisiknya serak.

“Kenapa aku seperti selalu gagal?”

Air mata jatuh, bukan satu dua, tapi seperti hujan halus yang menetes tanpa suara.

Pada titik itu, Zahwa merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan selama menikah:

kesepian di sebelah orang yang seharusnya menjadi rumah.

Tapi meski hatinya robek, ia tetap ingat doa.

“Kalau memang sedang Kau uji aku dengan batin, kuatkan aku, Ya Rabb. Jangan biarkan aku membenci. Jangan biarkan aku berhenti bersabar.”

Zahwa menarik napas panjang.

Ia usap air matanya.

Ia berdiri kembali dan menuju dapur, ruang yang selalu menjadi tempatnya memulihkan diri.

1
Hafshah
terus berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!