Semua berawal dari rasa percayaku yang begitu besar terhadap temanku sendiri. Ia dengan teganya menjadikanku tumbal untuk naik jabatan, mendorongku keseorang pria yang merupakan bosnya. Yang jelas, saat bertemu pria itu, hidupku berubah drastis. Dia mengklaim diriku, hanya miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusi Fitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 9
Aku mendengus sebal mendengar ucapannya. Kenapa pula aku jadi dibawa- bawa.
"By the way, nama rivalmu siapa?" tanyaku yang masih penasaran.
"Walaupun kuberitahu, kau tak akan kenal."
Benar juga.
"Oh ya, lihat leherku! Banyak bercak merah, pasti di kamar banyak serangga." Aku kembali mengeluhkannya, tapi kali ini kepada Elbarra.
Dapat kulihat wajahnya bengong sejenak. Ada apa dengannya?
"Haruskah aku periksa ke dokter? Aku takut bercak ini lama menghilangnya. Mungkin dokter akan memberiku salep penghilang bekas luka."
Elbarra tertawa geli, "Tidak perlu. Ini akan hilang dengan sendirinya."
"Benarkah? Apakah lama?"
"Tidak. Mungkin 3 atau 5 hari sudah menghilang."
"Tau darimana? Apakah kau pernah digigit serangga juga?" tanyaku penasaran.
Cup!
Bukannya menjawabku, Elbarra malah memberiku sebuah kecupan. Dia kembali menjadi pria menyebalkan.
"Pasti serangga yang menggigitmu sangat besar, sampai-sampai bercaknya begitu banyak," timpalnya sambil mengulum senyum.
"Aku tidak tahu. Sepertinya iya," jawabku asal.
"Eh, bukankah kau berangkat kerja? Kenapa kembali?" Aku mengganti topik, seingatku Elbarra sudah pergi bekerja, kenapa tiba-tiba kembali?
"Mia menghubungiku. Dia bilang, kau pergi entah kemana. Dia sudah mencarimu di kamar hingga ke taman, tapi tidak kunjung ketemu. Aku jadi khawatir, lalu memutuskan untuk pulang."
Kepalaku mengangguk-angguk paham. "Tapi, darimana kau tahu jika aku berada disana?"
Elbarra menggenggam tanganku, "Feelingku berkata kau disana, jadi aku pergi kesana untuk memastikan."
Aku jadi merasa tidak enak. Bagaimanapun, Elbarra sudah kelabakan gara-gara aku. "El, tidakkah kau ingin memulangkanku saja? Dengan begitu, kau tidak perlu merasa khawatir."
"Sekali lagi kau mengatakan 'ingin pulang', aku akan mengikatmu dibawah. Kau mau seperti itu?"
Refleks, aku menggeleng.
Ia tersenyum simpul, "Kembalilah ke kamar. Pergilah mandi, lalu ganti pakaianmu."
"Memangnya kenapa? Apakah tubuhku bau?" Aku mencium tubuhku sendiri, tapi masih wangi.
"Kapan aku mengatakan bahwa kau tidak wangi, hmm? Kau selalu wangi, bahkan tanpa mandi sekalipun."
"Lalu, kenapa kau menyuruhku mandi?"
Kulihat Elbarra yang menghela nafas panjang, "Tidakkah kau merasa tubuhmu lengket dan kotor? Kau baru saja kembali dari bawah, tempat yang begitu kotor dan berdebu. Tidakkah kau merasakannya?"
Ah, benar juga. Tak terpikir olehku.
"Baiklah. Aku pergi mandi dulu kalau begitu."
Saat hendak bangun dari pangkuannya, Elbarra lebih dulu menahan pinggangku. "Beri aku ciuman sebentar."
"Aku tidak mau."
"Kalau begitu, tidak usah bangun."
Aku mendelik kesal, dia selalu begitu. "Baiklah-baiklah. Tutup matamu!"
Pria itupun menurut.
Cup!
Matanya langsung melotot kearahku, "Bukan di pipi, tapi disini."
Licik sekali.
"Sama saja. Baik itu di pipi maupun di bibir, bukankah sama-sama dicium?"
"Rasanya berbeda, Sayang. Cepat lakukan lagi!"
Ish, dia ini. Selalu mengatur dan memaksa.
Aku memutar bola mata jengah, kututup matanya menggunakan tanganku, lalu...
Cup!
"Sudah," ucapku, kemudian buru-buru bangkit dan segera pergi dari sana.
Entah apa yang terjadi setelahnya, apakah Elbarra marah karena aku cepat-cepat pergi? Aku tidak tahu. Tapi tidak mungkin jika dia marah, bukankah aku sudah menuruti apa yang dia inginkan?
Tidak seperti kemarin aku memakan waktu yang lama untuk mandi, pagi ini cukup waktu 10 menit dan aku sudah menyelesaikannya.
Setelah mengenakan pakaian, aku bergegas keluar dari Walk-in Closet. Aku sedikit tersentak saat mendapati Elbarra yang duduk di ujung kasur. Ia menatapku sambil tersenyum tulus.
"Kemarilah!"
Aku menghampirinya kemudian ikut duduk disampingnya. Tiba-tiba pria itu memelukku dengan sangat erat.
"Aku mencintaimu, Sisi. Kumohon jangan tinggalkan aku," pintanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Mataku mengerjap pelan, seolah mencerna apa yang dia katakan.
"Berjanjilah kepadaku yaa?" Ia melepaskan pelukannya, lalu menatapku lekat.
Aku masih bungkam dan membalas tatapannya. Hingga tak kusadari ia mendekatkan wajahnya denganku. Ciuman yang awalnya lembut berubah menjadi ganas. Aku memberontak untuk melepaskan diri dari kungkungannya.
"Emm.. El.." Nafasku ngos-ngosan dibuatnya.
"Barra?" Tiba-tiba saja seseorang muncul dari balik pintu. "Upss, sorry."
Wanita yang muncul tadi, kembali menutup pintu lalu pergi.
Elbarra menghentikan aksinya, ia memandang pintu kamar yang sudah tertutup. Aku yang sadar bahwa ia lengah, bergegas bangun untuk menjauhinya.
Tak berselang lama, bunyi ketukan pintu terdengar. Wanita itu kembali, namun sambil menahan senyumnya.
"Ada Mommy dan Daddy bawah."
"Hmm, kau turunlah dulu!"
Wanita tersebut tersenyum kearahku, sebelum akhirnya benar-benar pergi dari pandangan kami.
"Siapa itu?" tanyaku.
"Adikku, Evelyn." Elbarra menjawab tanpa minat. Ia bangkit, kemudian menarik tanganku untuk ikut bersamanya.
"Kita mau kemana?"
"Bertemu kedua orangtuaku."
Setibanya di bawah, diruang tamu, kudapati orangtua Elbarra dan adiknya sedang ditemani oleh Lucas dan Mia. Mereka tampak bercengkerama, namun saat melihat kedatangan kami, pandangan mereka pun teralihkan.
"Inikah yang namanya Sisi?" Wanita paruh baya yang kuyakini Mommy dari Elbarra menyambutku.
Aku tersenyum canggung, malu-malu aku menerima uluran tangan dari wanita tersebut.
"Namaku Valentina, dan ini suamiku Sebastian. Kami adalah orangtua Elbarra." Ia tersenyum ramah kearahku, seolah kami merupakan dua orang yang sudah saling mengenal sebelumnya.
Sebastian? Oh berarti Elbarra menggunakan nama Daddy-nya untuk menyamar saat di kampus. Ckck
Tapi jika boleh jujur, Tuan Sebastian jauh lebih tampan dan berkharisma dari Elbarra. Bolehkah jika aku memilihnya saja?
"Saat mendengar kabar bahwa Elbarra menahan seorang wanita dirumahnya, buru-buru aku mengajak suamiku untuk kemari. Aku ingin melihat, wanita mana yang berhasil menaklukan putraku, ternyata wanita itu begitu cantik dan manis," sambungnya yang langsung membuatku tersipu.
"Nak, sepertinya kau bukan orang sini? Dari wajahmu, kau terlihat seperti orang asia." Tuan Sebastian menimpali.
Aku mengangguk malu, "Aku dari Indonesia, Tuan."
"Kenapa memanggilnya Tuan? Panggil dia 'Daddy'!" protes Nyonya Valentina, aku pun mengangguk.
"Sisi, apakah kau sudah hamil?" Adik Elbarra yang bernama Evelyn bertanya dengan suara lantang.
Mataku membulat mendengarnya. Kulirik Elbarra yang duduk di sampingku, ia pun menghembuskan nafas kasar.
"Eve, jangan bertanya aneh-aneh!" kata Elbarra yang memperingatinya.
Evelyn mengerucutkan bibirnya, ia memilih bungkam seraya memalingkan wajahnya. Nampaknya, Elbarra dan Evelyn tidak terlalu dekat.
"Bisakah Sisi hamil?" Mommy Valentina bertanya ragu-ragu.
Elbarra tersenyum kecut, ia tidak menimpali justru sibuk menggenggam tanganku. Posisiku saat ini diapit oleh kedua ibu dan anak itu, kami duduk di sofa yang cukup panjang.
"Aku.. aku belum menginginkannya, Moms. Lagipula, aku masih harus menyelesaikan kuliahku."
"Kau masih kuliah?" Mommy menatapku seolah tak percaya.
Aku tersenyum, "Sebentar lagi lulus kok. Mungkin 6 bulan lagi."
Kulihat Mommy menghela nafas lega. Ia tersenyum, senyum yang begitu lembut. "Aku benar-benar bahagia. Aku sangat menantikan ini. Terima kasih karena kau sudah hadir dalam hidup putraku. Kuharap kau sedikit sabar, Elbarra memang sedikit keras kepala."
Elbarra mendengus kesal, "Moms.."
"Apa? Bukankah kau memang keras kepala? Sulit sekali bagi Mommy untuk mengaturmu. Setelah ini, Mommy harap kau bisa ubah sifatmu yang keras kepala itu!"
Oh, ternyata memang sudah sedari dulu Elbarra menjengkelkan. Bahkan, Mommy-nya sendiri angkat tangan tentangnya.
"Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya Daddy Sebastian, yang sejak tadi hanya menyimak pembicaraan kami.
"Secepatnya." Aku melotot mendengar jawaban Elbarra.
"Tentu saja. Hal baik harus disegerakan, bukankah begitu, Cantik?"
Ingin rasanya aku menolak dan membantah ucapan Mommy, tapi aku takut membuatnya tersinggung. Bukankah dia sudah mengharapkannya? Aku tidak mau mengecewakannya, dan membuatnya bersedih dengan ucapanku.
Aku hanya tersenyum kecil, hingga obrolan kami pun berlanjut. Evelyn yang sedari tadi berdiam diri, akhirnya ikut mengeluarkan suara. Satu hal yang kuketahui tentangnya, dia begitu aktif, sama seperti Addie. Bahkan usianya hanya berbeda 1 tahun denganku.