Di hari pernikahannya, Andi Alesha Azahra berusia 25 tahun, dighosting oleh calon suaminya, Reza, yang tidak muncul dan memilih menikahi sahabat Zahra, Andini, karena hamil dan alasan mereka beda suku.
Dipermalukan di depan para tamu, Zahra hampir runtuh, hingga ayahnya mengambil keputusan berani yaitu meminta Althaf berusia 29 tahun, petugas KUA yang menjadi penghulu hari itu, untuk menggantikan mempelai pria demi menjaga kehormatan keluarga.
Althaf yang awalnya ragu akhirnya menerima, karena pemuda itu juga memiliki hutang budi pada keluarga Zahra.
Bagaimanakah, kisah Zahra dan Althaf? Yuk kita simak. Yang gak suka silahkan skip!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lapor Polisi
Bu Jaenab yang matanya memerah karena tangis dan amarah langsung melangkah maju. Suaranya bergetar, namun penuh tudingan. “Gara-gara kalian berdua. Terbakar mi hasil panenku yang ta' simpan di lumbung. Kau Althaf bawa cilaka di kampung ta!”
Mata Zahra yang semula masih mengantuk seketika melotot tajam. Ia maju selangkah ke depan, berdiri sejajar dengan Althaf. “Eh Bu Jaenab. Apa hubungannya lumbung padi Anda yang terbakar dengan kami berdua?”
Belum sempat suasana mereda, Bu Mirna tiba-tiba berceletuk dengan nada sinis. “Karena kau berdua berbuat kotor. Makanya kampung ta ini kena sial. Tidak tahu malu.”
Kini giliran Althaf yang maju. Tatapannya dingin, suaranya rendah namun menekan. “Berbuat kotor apa maksud ta Bu Mirna?”
Bu Raodah langsung menimpali dengan cibiran. “Alah, ndag usah meko pura-pura ndag tahu.”
Warga lain ikut menyahut. “Iyo. Tidak nyangka ku saya. Padahal kau Althaf dilihat anak baik-baik ternyata kelakuanny begini. Berpura-pura ndag tahu lagi.”
Mak Mia yang sejak tadi berdiri gemetar akhirnya bersuara. “Apa maksudnya semua ini?”
Bu Mirna menatap Mak Mia tajam, bibirnya menyunggingkan senyum meremehkan.
“Eh Bu Mia kau sebagai orang tuanya juga Althaf, bisa-bisa mu itu menutupi kelakuan na anakmu.”
Zahra tak tahan lagi. Ia melangkah ke depan dengan sorot mata tajam. “Maksudnya kalian ini apa hah?! Datang-datang ke rumah orang malam-malam dan membuat keributan. Apa kalian tidak tahu ini bisa jadi tindak pidana hah?!”
Sekejap, warga terdiam, mereka terkeju.
Namun Bu Raodah segera membalas dengan nada menantang. “Eh ndag usah meko mengancam di situ. Saya istrinya polisi. Saya lebih tahu tentang hukum daripada kamu yang hanya tamatan SMA.”
Bu Mirna ikut menyambar. “Iyo, lebih kita usir mi ini Zahra!”
Beberapa warga mengangguk setuju dan mulai bergerak mendekat ke arah Zahra.
Saat itulah suara Althaf terdengar lantang dan dingin, memecah udara malam. “Berhenti kalian! Berani menyentuh istriku! Ku pastikan kalian masuk penjara semua!”
Langkah warga langsung terhenti. Suasana membeku. Tak lama kemudian, Pak RT datang tergesa bersama istrinya, Bu Dijah. Napas Pak RT masih sedikit terengah. Pria paruh baya bernama Pak Anwar itu rupanya baru saja menyelesaikan urusannya, yaitu BAB.
“Ada apa ini ribut-ribut malam-malam begini?” tanyanya tegas.
Bu Mirna cepat-cepat menyahut. “Ini e pak RT, kebakaran lumbung padinya Bu Jaenab, itu pasti gara-gara Zahra sama Althaf belum menikah, makanya kampung ta kenna cilaka.”
Warga langsung serempak bersuara. “Iyo! Lebih baik di usir pak RT sebelum tambah cilaka Ki semua.”
Zahra, Althaf, Mak Mia, serta Lisa dan Karel terkejut. Kini jelas sudah, inilah penyebab semua keributan ini.
Pak Anwar menatap satu per satu warga. “Memangnya ada buktinya Althaf sama zahra belum menikah?”
Bu Jaenab langsung menjawab dengan nada tinggi. “Buktinya Pak RT, tidak ada pesta pernikahan pernikahannya. Ndag ada juga undangan terus tau-tau sudah mi menikah. Apa kalau belum menikah itu namanya?”
Pak RT menghela napas panjang. “Tapi biar begitu jangki main hakim sendiri. Kau semua saja tidak mu kasih kesempatan orang bicara!”
Zahra langsung menyahut. “Benar pak RT. Dari mulutnya nyerocos terus gak jelas. Bahkan tidak membiarkan kami membuktikan.”
Ia lalu menatap tajam ke arah warga. “Kalian mau bukti, iya?!”
Zahra dan Althaf naik ke atas rumah panggung. Althaf masuk ke kamar, sementara Zahra keluar membawa sebuah figura besar. Ia turun kembali dan mengangkat bingkai itu tinggi-tinggi.
“Lihat ini, foto pernikahan kami. Kami membuat pesta di rumah saya di jakarta paham kalian?!” seru Zahra.
Warga terdiam. Mata mereka tertuju pada foto Zahra dan Althaf dengan pakaian pengantin, baju bodo maroon yang anggun. Beberapa orang mulai berbisik.
“Ih, iya tawwa ndag bohongi. Ada pernikahan na.”
“Iyo, sudah mi menikah tawwa nah.”
Namun tiba-tiba Pak Samsul bersuara. “Editan Ji itu jaman sekarang serba canggih semua bisa di edit.”
Pak Samsul tentu tak ingin melepaskan Zahra. Ia harus membuat Zahra keluar dari rumah Althaf, pikirnya.
Darah Zahra mendidih. “Editan gundulmu hah!”
Ia mengangkat figura itu, hendak memukulkannya ke arah Pak Samsul. Pria berkumis tebal itu langsung mundur ketakutan.
Saat itulah Althaf muncul membawa map cokelat. “Ini buku nikah saya. Lengkap sama suratnya sama kartu nikahnya.”
Semua langsung terdiam. Pak RT menerima buku nikah dan kartu itu, memeriksanya dengan saksama, lalu mengangguk.
“Lihat, sudah betulanmi menikah. Kalian ini hampir saja berbuat zalim sama orang ndag bersalah.”
Wajah warga berubah malu. Bu Mirna tampak pucat pasi.
Namun Bu Jaenab masih bersuara lirih penuh dendam. “Terus kenapa pale lumbung padiku terbakar pak RT kalau bukan ini?”
Zahra langsung menoleh sambil berkacak pinggang. “Eh, kalau lumbung padi mu terbakar lapor polisi, suruh cari penyebabnya. Siapa tahu ada yang iri. Bukan percaya sama takhayul.”
Wajah Bu Jaenab memerah.
Pak RT mengangkat tangan. “Bubar Meko semua.”
Warga mulai berbalik pergi, namun suara Zahra kembali menghentikan mereka. “Eh mau kemana kalian semua hah?”
Bu Mirna menjawab ketus. “Ya moki pulang lah.”
Zahra menatap mereka tajam. “Enak aja. Kalian sudah datang malam-malam begini mengganggu tidur dan ketenangan kami. Bahkan kalian memfitnah kami seenak jidat kalian. Lalu pergi begitu saja? Meminta maaf pun kalian tidak katakan. Oh tidak bisa!”
Bu Mirna mengerutkan kening. “Apa maksudmu Zahra.”
Zahra tersenyum sinis. “Saya akan melaporkan kalian semua ke polisi. Karena sudah mengganggu saya dan keluarga saya.”
Wajah-wajah itu seketika pucat.
Bu Raodah cepat-cepat berkata, “Eh Zahra. Tidak ada tindak pidananya begituan.”
“Oh ya?” Zahra mendengus. “Bagaimana fitnah kalian tadi. Itu sama saja dengan pencemaran nama baik.”
Bu Jaenab tersentak. “Eh Zahra jangko kurang ajar sama orang tua nah.”
Zahra membalas tanpa gentar. “Dan kalian orang tua bisa kurang ajar sama yang muda begitu?”
Pak RT mencoba menenangkan. “Nak Zahra tolong jangan dibesar-besarkan.”
Beberapa warga lain ikut bersuara lirih.
“Nak Zahra kami minta maaf.”
Mak Mia maju, mengusap lengan menantunya. “Nak, maafkan mi saja.”
Zahra menggeleng tegas. “Tidak bisa mak. Mamak jangan terlalu lembut dan pemaaf jadi orang. Makanya mereka selalu memandang rendah mamak. Dan aku gak akan biarkan mereka lolos. Mereka udah keterlaluan.”
Warga semakin gelisah mereka saling pandang.
Tiba-tiba Anida muncul dari kerumunan. “Zahra tolong maafkan mereka semua. Namanya manusia, pasti khilaf. Apalagi mereka orang tua. Kasihan.”
Beberapa warga mengangguk setuju. Zahra menoleh tajam. “Oh kalau kau kasihan, kenapa tidak kau saja yang menggantikan mereka untuk dipenjara bagaimana?”
Wajah Anida memucat.
Zahra melanjutkan ucapannya, “Bukankah kau merasa kasihan. Ya sudah, kau gantikan saja. Gampang kan?”
Anida terdiam, lalu menatap Althaf.
“Althaf, bujukki dulu Zahra. Terlalu keras hatinya. Padahal memaafkan jauh lebih baik.”
Ia berkata seolah ialah berbudi luhur dan Zahra gadis yang jahat.
Namun Althaf justru berkata tegas,
“Apa yang na katakan istriku benar. Kalian semua sudah sering mi fitnah dan tindas mamakku toh bahkan tidak ada salahnya mamakku. Dan sekarang sudah keterlaluan sekali mu sikap kalian semua.”
Semua orang merasa terkejut.
Zahra tersenyum tipis. “Sebentar lagi polisi akan datang. Dan Bu Jaenab, sekalian juga ibu suruh polisi selidiki apa penyebab kebakaran itu.”
Wajah Pak Samsul semakin pucat. “Tidak perlumi lapor polisi. Biarkan ini selesai.”
Zahra menatapnya dingin. “Tidak semudah itu.”
Tak lama kemudian, suara sirene polisi terdengar mendekat, memecah keheningan malam. Para warga saling pandang dengan wajah ketakutan.
Bunne tuh buah Buni ya thor
kapok sukurin kau hahaha
pak sul sul ketauan juga kan heh
awas kau pak sul sul ketauan baru tau rasa wkwkwk
aku ngebayangin nya aja enek loh, apa lagi yang jadi bu mirna pingsan dah🤣🤣
Alur ceritanya bagus dan konfliknya tidak begitu terlalu rumit...
pemilihan kosakata sangat baik dan mudah untuk dipahami...
terimakasih buat kk othor,
semoga sukses ❤️